Rani akhirnya bisa bernapas lega tatkala mengingat jika hari ini adalah hari dimana dirinya off satu hari.
Bekerja memang harus menanggung yang namanya kelelahan. Bahkan, orang tidak melakukan apa-apa bisa mengalami kelelahan lantaran terlalu sering berdiam diri.
Apalagi orang yang tengah bekerja.
Rani tidak mementingkan itu sebenarnya, dirinya masih kuat jika soal menahan rasa capeknya. Namun satu membuatnya terkadang tidak kuat, saat mendengar keluhan yang biasa Rere lontarkan padanya, "Capek banget aku Ran, pengin jadi nyonya besar aja rasanya."
Selalu seperti itu yang Rere keluhkan.
Tapi syukurlah, hari ini dirinya terbebas dari belenggu embel-embel seorang karyawan.
Biarkan Rani membanggakan dirinya dulu.
"Yang ada di samping toko material itu kan?" tanya gadis yang kini sudah bersemangat dengan aksinya unboxing kantung kresek yang dibawa Dika.
Rani cukup tahu ketika dalam pikirannya terlintas jelas jika beberapa menit yang lalu ia meminta Dika untuk membelikannya satu porsi bubur ayam yang ia pesan kala Dika hendak pergi fotokopi.
"Iya, sesuai permintaan."
Rani mendongak, cengiran yang biasanya jarang sekali ia tunjukkan pada Dika kali ini tidak ragu lagi untuk ia tampilkan.
"Kenapa belinya satu? Oh, mau makan berdua?"
Kata-kata yang tidak asing lagi di telinga Dika. Ia bahkan baru ingat jika kalimat seperti itu pernah ia lontarkan saat Rani membawakan satu piring nasi untuknya.
Dan sekarang, gadis itu sepertinya mau main-main dengannya.
"Kalau iya kenapa?" jawab Dika dengan pasti. Kakinya melangkah lurus ke arah Rani yang kini justru melirik ke arahnya dengan sekilas.
Dika mengambil duduk di samping gadis itu.
"Beli sendiri aja ya," kekeh Rani sambil menepuk-nepuk pelan bahu Dika seolah menyuruh cowok itu untuk bersabar.
Dika mendengus, ia tadi membeli bubur permintaan Rani dengan sangat tulus. Tapi apa balasan yang Dika dapat? Rani benar-benar pelit, dan tidak sedikitpun membagi sarapannya pada Dika.
"Ran, aku beneran lapar loh."
Rani menoleh, mendapati raut wajah Dika yang sedang menahan kesal itu membuatnya terkikir geli. "Nggak usah diimut-imutin gitu deh, makin nggak selera makan jadinya," sahut Rani begitu sinis.
Sepertinya, penghargaan untuk istri paling pelit dan perhitungan sangat cocok diberikan untuk Rani.
Gadis itu melirik kembali ke arah Dika yang sejak tadi memang tidak mengalihkan pandangannya pada Rani. Bukanlah sikap salah tingkah seperti dulu yang Rani tunjukkan pada Dika. Tapi ia justru menunjukkan sikap yang membuat cowok mana saja merasa dipermainkan oleh pasangannya.
Kesal. Jengkel. Itu yang dirasakan Dika saat ini.
Terlebih saat Rani memasukkan satu suapan ke mulutnya dengan begitu pelan seolah itu adalah adegan slow motion di film-film.
Sudah dua kali Dika diperlakukan seperti ini. Ia sudah merasa jengah, lalu memilih untuk duduk bersandar pada sandaran ranjang sambil mengambil remote. Dan tontonan yang berada di layar televisi pun muncul.
Rani mengamati gerak-gerik cowok satu ini. Ia baru tahu jika kesalnya Dika lebih memilih untuk diam tanpa mengungkapkan sepatah katapun. Hanya saja, Rani menjadi ngeri jika sewaktu-waktu Dika tidak mau lagi membelikannya makanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAHAR [Rani & Dika] TERBIT✅
Teen Fiction[Sudah tersedia di shopee] Maharani dan Mahardika dijodohkan, lalu menikah selepas wisuda kelas 12. Kehidupan setelah menikah, dilalui keduanya dengan santai layaknya teman biasa. ----- "Kamu apain leher aku?" Rani bertanya sambil menatap Dika yang...