Duduk bersandar ditemani secangkir kopi mungkin akan lebih baik daripada duduk bersila di pinggiran kolam dengan disuguhi tatapan mata serius dari orang di hadapannya.
Jika disuruh memilih, Dika jelas lebih memilih opsi pertama.
Tapi, hal itu sepertinya tidak berlaku untuk sekarang. Lantaran saat ini, dirinya harus melewati masa-masa pembahasan obrolan yang tadi sempat pria paruh baya di depannya ini bicarakan.
"Mungkin akan lebih baik kalau kamu nggak ngerjain Rani kaya tadi."
Helaan napas keluar dari hidung Dika, pertanda ia sudah lumayan malas kala menghadapi situasi seperti ini.
Bukan maksud untuk malas membahas mengenai Rani, hanya saja di sini, Rani pintar sekali membuat orang tua mereka memihak padanya. Seakan memang Dika yang salah.
Bahkan, saat cowok itu tadi tidak sengaja beradu argumen lantaran Rani yang tiba-tiba saja ngegas saat Dika merebut ponsel gadis itu. Rani langsung cemberut dan meminta Monika untuk menjitak Dika agar cowok itu tidak sembarangan merebut ponselnya.
Sangat lancang, bukan?
Niat awal Dika hanyalah ingin bercanda, mengerjai Rani agar cewek itu tidak terfokus pada ponselnya saat orang tua sedang berbicara. Hanya itu. Bukankah itu tujuan yang baik?
"Kamu tuh bukan anak kecil lagi Dik."
Dika hanya bisa diam, mendengarkan setiap ceramah dari Anjas walau di lubuk hatinya yang terdalam ia ingin mengejar Rani saat gadis itu tertawa di balik jendela belakang Anjas.
Dika tahu jika gadis itu tidak marah padanya, hanya saja ingin menguji kesabaran Dika.
Rani cekikian di balik jendela, dengan menjulurkan lidahnya mungkin akan membuat Dika semakin menatapnya tajam. "Haha.. maaf Dika," gerutunya sambil mengangkat jempolnya ke udara, seolah dirinya menyukai kejadian yang membuat Dika nyaris menjitak gadis itu.
"Dika, dengar apa kata Papa kan?"
Dika langsung terperanjat saat pria paruh baya di hadapannya mengagetkan dirinya dengan menepuk pelan bahunya.
"Ah, iya Pa dengar."
Anjas menatap penuh selidik anaknya yang sedari tadi tidak fokus mendengarkannya, dan malah sibuk memperhatikan di lain arah.
Pria itu lantas membalikkan tubuhnya ke belakang, mencari tahu soal keterdiaman Dika dan titik fokus cowok itu sedari tadi. "Ada siapa sih?" batinnya saat tidak menemukan siapapun di belakang.
"Dika dengar Pa, nggak usah curiga gitu."
"Gimana Papa nggak curiga, pandangan kamu dari tadi tuh merhatiin belakang Papa," ucap Anjas ketika sudah berbalik badan, berhadapan kembali dengan putranya.
Dika menunduk, tersenyum kecut sambil menggaruk hidungnya yang tidak gatal. Ia gugup.
"Jangan pernah jahilin Rani sampai dia kesal kaya tadi," peringatnya lagi, hingga membuat Dika mendongakkan kepalanya dan mengangguk pelan. "Iya, nggak akan."
Selepas mengatakan itu, Dika tidak lagi mendengarkan ucapan Papanya. Pria itu malah terfokus dengan menyuruput kopinya yang tadi sempat diantar oleh sang Mama. Mumpung Anjas tengah sibuk dengan dunianya sendiri, Dika memanfaatkan hal itu dengan mengecek ponsel miliknya yang tadi sempat mengeluarkan sebuah notif.
From : Maharani
Dika, lagi dimarahin sama Papa ya?
Mencari masalah lagi. Dika bahkan tidak mengerti dengan istrinya yang satu ini. Senang sekali membuatnya menderita.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAHAR [Rani & Dika] TERBIT✅
Подростковая литература[Sudah tersedia di shopee] Maharani dan Mahardika dijodohkan, lalu menikah selepas wisuda kelas 12. Kehidupan setelah menikah, dilalui keduanya dengan santai layaknya teman biasa. ----- "Kamu apain leher aku?" Rani bertanya sambil menatap Dika yang...