Tidak ada gerimis maupun hujan di pagi ini. Rintik pelan dari hujan bulan ini pun sama sekali tidak terasa jatuh di tanah begitu saja.Namun, kini beberapa pepohan serta rumput-rumput yang berada di daerah perbukitan jelas sekali terlihat tetesan-tetesan yang jatuh mengenai permukaan daun tersebut.
Termasuk papan kayu sebagai alas tidur beberapa mahasiswa yang lain.
Itu bukanlah murni tentang hujan, tapi itu memang efek dari embun pekat yang memenuhi sebagian kawasan dataran tinggi ini.
Banyak sekali dari para pemuda pemudi ini yang bangun pagi-pagi sekali, bertepatan pada jam sebelum subuh tiba.
Salah satunya Dika. Cowok itu sudah terbangun ketika jam yang berada di ponselnya menunjukkan pukul setengah empat dini hari. Tadinya ia memilih untuk mengikuti Fadli yang meringkuk begitu saja dan terlalu masa bodo dengan suara ngoroknya.
Angannya begitu, namun kenyataannya ia justru terbangun lebih dulu dari Fadli.
Menjengkelkan memang.
Setelah selesai dengan kegiatan di mushola terdekat, ia lantas tidak langsung kembali ke atas. Tempat lapangan utama berada. Dika kedinginan, dan ia sudah tertunduk lemas di warung yang ia tempati tadi.
"Kenapa lo Dik? Kaya mabuk kepayang gitu."
Meledek.
Dika tahu saat temannya ini mencoba khawatir dengannya, ia tahu. Tapi mungkin kata-katanya saja yang kurang pas. Mabuk kepayang?
"Mules," sahut Dika ngasal.
"Yaudah cari toilet sono, emang lo mau berak di sini?"
Dika tidak sedang mules ataupun merasakan gejala sakit perut yang begitu melilit. Tidak. Dika tidak sedang bermasalah dengan perutnya.
Yang menjadikannya seperti ini ya akibat kepala serta dadanya saja yang tiba-tiba merasa berkunang-kunang, serta sedikit sesak.
Fadli duduk di samping Dika ketika cowok itu terlihat begitu pucat dan hanya bisa menunduk untuk bisa menetralkan kondisinya saat ini.
Tangannya menepuk bahu Dika pelan, "Serius lo sakit?" tanya Fadli sambil mendongakkan wajah Dika agar bisa terlihat jika tengah sakit ataupun hanya akting.
Dika tidak menjawab dengan ucapan, namun gelengan pelan dari cowok itu menjawab sudah segala pertanyaan Fadli yang bersarang di kepalanya.
Dika tidak sakit. Itu pikir Fadli, tapi setelah mereka memutuskan untuk berjalan menuju lapangan utama yang berada di atas. Tiba-tiba saja Dika yang berjalan di depan Fadli langsung mundur begitu saja saat sesak tiba-tiba saja menyerangnya.
Fadli sigap, namun dirinya sedikit terkejut dengan gerakan Dika barusan.
"Dika! Ngapa lo Dik?!"
Dika sudah memejamkan matanya, tangannya pun ia gunakan untuk menyentuh dadanya yang terasa begitu sakit. Sesak.
"Dik gue panik nih serius!"
Fadli memang terlalu panik, dia bahkan sudah berteriak hingga Purbo yang berada di jauh di belakangnya, datang untuk menghampiri Fadli. Dan segera membantu Dika ke tenda kesehatan agar ditangani oleh panitia yang berada di sana.
Yang Dika rasakan saat ini hanyalah sesak, tidak ada lagi selain itu.
Namun setelah ia berbaring dengan bantuan Purbo dan juga Fadli, tengkuknya serasa ditarik untuk mendongak. Ia menurut, keadaan matanya yang terpejam seolah tidak tahu apapun mengenai seseorang yang sudah membantunya menggunakn inhaler.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAHAR [Rani & Dika] TERBIT✅
Roman pour Adolescents[Sudah tersedia di shopee] Maharani dan Mahardika dijodohkan, lalu menikah selepas wisuda kelas 12. Kehidupan setelah menikah, dilalui keduanya dengan santai layaknya teman biasa. ----- "Kamu apain leher aku?" Rani bertanya sambil menatap Dika yang...