16. Sedikit Curhat

6.9K 563 9
                                    

Selagi masih bisa dijangkau ataupun dilakukan, Dika pasti akan menuruti segala yang diinginkan gadis di sampingnya ini. Ia masih kuat mental jika saja Rani memarahinya terus-terusan lantaran tidak becus untuk sekadar melipat baju, dan menatanya di lemari.

Dika menyadari hal itu.

Ia bahkan tidak merasa keberatan ketika mendapat chat dari Rani yang memang mengharuskan dirinya bertatap langsung dengan istrinya.

Karena, Dika tidak pernah merasa keberatan sama sekali.

"Minggu lalu sebenarnya Bang Heru bilang kalau dia suka sama aku Ka."

Rani mulai dengan ceritanya, kini Dika hanya menjadi pendengar dengan posisi senyaman mungkin jika nanti akan berlangsung hingga dini hari.

"Terus, aku langsung geleng-geleng aja waktu dia ngomong kaya gitu."

Saat ini, keduanya tengah di posisi menidurkan badan masing-masing. Dengan, mata yang saling menatap langit-langit plafon kamarnya.

Lebih tepatnya, ini seperti pillow talk.

"Dia bilang apa lagi?" ucap Dika pada akhirnya setelah memberanikan diri untuk bertanya demikian. Ia takut sewaktu-waktu Rani akan marah ataupun tersinggung.

Rani menggeleng, gadis itu memilih untuk memiringkan badannya, menghadap ke arah Dika. "Cuma tadi dia bilang lagi ke aku, buat mastiin kalau ucapannya waktu itu serius," kata Rani seraya memainkan lengan baju Dika dengan dipelintir-pelintir kecil.

"Suka itu wajar, berjuang juga sewajarnya. Tapi, kalau ingin berjuang sama orang yang sudah punya suami, itu yang nggak wajar."

Rani mendongak, ia merasa tersindir oleh ucapan Dika barusan. Dirinya memang tidak memberitahu sekalipun kepada teman-temannya jika ia sudah memiliki suami. Hanya Rere dan juga Dimas, itupun Rani menyebut Dika sebagai pacarnya.

"Aku harus gimana?" Rani mendongak, diikuti tatapan Dika yang juga tengah mengarah padanya.

"Ya, tetap konsisten buat anggap dia sebagai kakak kamu lah."

Rani merubah posisinya, yang tadinya menyamping kini kembali menatap lurus langit-langit kamarnya.

Pikirannya seakan beradu dengan ucapan Dika barusan. Ia tidak menuntut Heru bersikap seperti itu padanya, tapi cowok itu sendiri yang berucap demikian hingga membuat mulut Rani gatal untuk tidak menceritakan hal ini pada Dika.

Rani sepertinya harus mengingat kata-kata Dika, konsisten. Iya, ia akan berusahan akan tetap bersikap ramah dengan Heru. Namun dengan artian jika dia memanglah Rani anggap sebagai kakak sendiri.

Gadis itu lantas bangkit dari tempat tidur, ia baru ingat jika seragam kerjanya untuk besok masih setia bertengger di belakang pintu.

Dika memilih diam, ia mengamati setiap gerak-gerik Rani yang hendak menyetrika bajunya tersebut. Dirinya merasa juga harus mengatakan hal yang sebenarnya dengan Rani soal permasalahan dari keluarga Keira, hingga pertemuannya kemarin dengan Risa.

Dika harus mengatakan hal itu.

Tapi, Dika tetaplah Dika. Cowok yang hanya memiliki secuil nyali untuk mengatakan kebenaran soal dirinya.

Katakanlah cowok itu cemen, tidak semua yang ia gumamkan dalam hati bisa dengan mudah ia sampaikan secara langsung.

Dika bangun, lantas menegakkan tubuhnya dan berjalan ke arah sofa sembari menunggu Rani selesai dengan urusannya. "Kamu sudah makan belum Ka?" Dika melirik gadis yang senantiasa juga menyetrika bajunya itu, tadinya ia sedikit terperanjat. Dika merasa tidak enak, ia pun memilih untuk menghampiri Rani.

MAHAR [Rani & Dika] TERBIT✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang