9. Pulang

8.9K 627 2
                                    

Jika saja Dika tidak rutin mengecek jam yang melingkar di pergelangan tangannya, bisa dipastikan saat ini juga dirinya akan mendapat petaka.

Mengapa bisa begitu?

Iya, bisa jadi jika Dika lupa untuk tugasnya menjemput Rani, gadis itu mungkin sudah uring-uringan.

Tepat pukul 21.30

Masih ada setengah jam lagi untuk menunggu Rani keluar dari toko.

Jika saja Dika tidak memberi alasan pada Keira, sudah bisa ditebak ia pasti masih tetap berada di rumah gadis itu untuk belajar bersama.

Punggung yang sedikit nyeri itu ia sandarkan ke kursi kemudi. Hingga suara khas tulang dari seseorang yang kecapean pun terdengar, Dika menghela nafas panjang. Hari ini, badannya seakan remuk.

Drtt.. drtt..

Ponsel yang letaknya berada di dashbord itu pun berbunyi. Membuat tangan Dika reflek mengambilnya tanpa melihat dahulu siapa sang penelpon.

"Hallo, ada apa?" tanya Dika setelah menguap beberapa detik yang lalu.

"Ka, kamu sudah datang ya? Itu mobil kamu bukan?"

Seketika Dika segera menegakkan tubuhnya seraya mengamati ponselnya kembali.

Maharani.

Matanya membelak saat sadar jika Rani yang tengah menelfonnya. Ia pikir, gadis itu masih sibuk dengan pekerjaannya.

"Ah, i-iya Ran. Aku udah datang."

"Oh oke deh Ka. Tapi tunggu dulu ya, aku mau beli es dulu."

Dika tersenyum tipis disela-sela pikirannya mengenai gadis itu. Ia juga sedikit bingung, malam-malam begini Rani minum es?

-----

Rani dan juga Rere masih setia duduk di kursi starbucks. Cafe ternama itu memang kebetulan berada di samping supermarket tempatnya bekerja. Tak jarang pula kedua gadis itu sebelum pulang ataupun menunggu jemputan berkunjung ke sana terlebih dahulu.

"Pacar kamu udah jemput ya?" tanya Rere setelah mendengar Rani mengakhiri sambungan teleponnya dengan Dika.

Gadis yang saat ini tengah berada di sampingnya itu pun mengangguk sambil sesekali menyeruput minuman yang dibelinya.

"Aku pengen ketemu sama cowok kamu Ran. Boleh kan?" pinta Rere dengan wajah puppy eyes, lebih tepatnya terlihat seperti orang yang memelas.

Rani sontak melotot tajam ke arah temannya satu ini. "Dih enak aja! Nggak, kamu nggak boleh ketemu sama dia!" sergahnya cepat dan langsung membuat Rere begitu merana.

"Yaelah Ran, kok gitu sih."

"Nggak, nanti kamu naksir sama dia."

Rere mengerucut sebal, dirinya hanya ingin mewujudkan rasa penasarannya yang belum pernah bertemu dengan kekasih Rani. Ia hanya ingin memastikan saja yang di foto dengan yang asli.

Apakah sama, atau justru sama sekali berbeda. Alias zonk.

"Sekarang kan lagi musim, pacarmu semangatku."

Rani secara reflek menjitak Rere yang seenak jidat bicara tanpa filter tersebut.

"Aku bilangin Chiko ya kalau kamu naksir sama cowokku," ancam Rani sambil menunjuk Rere dengan jari telunjuknya.

"Ih Rani beraninya ngadu."

"Bodo amat!"

Setelah berucap demikian, ia pun memilih untuk beranjak dari sana selepas nelihat jam di pergelangan tangannya yang sudah menunjukkan pukul sepuluh kurang lima belas menit.

MAHAR [Rani & Dika] TERBIT✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang