21. Tersesat

215 23 7
                                    

"Kau?? Kau anak baru itu, kan?" Naina hampir berteriak, karena niatnya tadi memang berteriak.

"Namaku Ayan, bukan anak baru." si anak baru itu—Ayan, mengulurkan tangannya pada Naina.

"Aku Naina." ucap Naina tanpa membalas uluran tangan Ayan.

"Oke." gumam Ayan sambil menarik lagi tangannya yang tergantung tak berguna itu.

"Belum pulang?" tanya Ayan.

"Masih disini artinya belum pulang," ketus Naina.

"Maksudku,, kenapa belum pulang?"

"Menunggu kakak." jawab Naina.

"Kakakmu mau kemana memangnya?"

"Pulang. Kemana lagi?!" kesal Naina.

"Okee.." gumam Ayan.

Ayan diam, memikirkan sesuatu untuk bisa membuat gadis galak di sampingnya ini bicara lagi, tidak tidak, lebih tepatnya mengomel lagi.

"Mau ku antar pulang?" tawar Ayan.

"Tidak perlu." jawab Naina, singkat dan cuek.

"Kakakmu tidak akan datang, sebaiknya ku antar pulang saja. Daripada nanti kau sendirian, bagaimana kalau ada penculik, atau--"

"Apa kau tidak bisa diam?" Naina menatap horor Ayan.

"Baiklah. Tapi biarkan aku tetap disini,"

"Terserah."

Setengah jam berlalu, dan belum ada tanda-tanda Sheila datang. Naina sendiri sudah berkali-kali menelfon dan mengirim pesan, tapi sama sekali tidak ada jawaban. Entah pergi kemana kakaknya itu.

"Sudah sore, Naina. Ayo pulang, aku janji tidak akan menculikmu. Apa aku terlihat seperti penculik? Tidak, kan? Aku terlalu tampan untuk jadi penjahat. Ayo pulang, ya..." oceh Ayan yang masih berdiri disitu, di samping Naina.

Naina tidak menjawab, kedua matanya justru fokus menatap jalanan—siapa tahu Sheila datang.

"Naina.. Ayolah, kau mau menginap disini? Tidak ingin pul--"

"Diam, Ayan! Apa kau terlahir ke dunia ini untuk bicara terus? Diam sebentar, please.." Naina mengatupkan kedua tangannya di depan dada.

"Sekarang aku mau telfon kakak, kalau mau tetap disini maka diamlah, atau pulang saja jika mau mengoceh."

Naina mengambil ponsel dalam tasnya ingin menelfon Sheila lagi untuk kesekian kalinya. Namun sebelum Naina menekan nomor kakaknya, Sheila sudah menelfon terlebih dahulu.

Ayan melihat itu sebagai kesempatan bagus, langsung direbutnya ponsel itu dari tangan Naina, dan mengusap layar untuk menjawab panggilan.

"Halo?" ucap Ayan.

"Siapa ini?"

"Ranbir Kapoor."

"Apa?"

"Temannya Naina."

"Dimana Naina?"

Naina membuka mulut bersiap menyahut, namun kalah cepat dengan tangan Ayan yang membungkam mulutnya.

"Naina ke toilet, kak." jawab Ayan.

"Beritahu Naina aku tidak bisa datang, Aafia demam dan aku di rumah sakit sekarang. Kalau bisa antar Naina pulang, ya.. Atau carikan taksi saja. Ok, jaga Naina."

Telfon dimatikan, Naina melepas paksa tangan Ayan dari mulutnya dan menggeram kesal.

"Apa maksudmu, ha? Siapa kau seenaknya mengangkat telfonku? Keterlaluan, kurang ajar!" maki Naina tanpa ampun.

MUSHKIL PYAAR (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang