"Aku ingin kau....... melenyapkan Ananya,"
Prakk!
Ponsel di tangan Kavya terjatuh, tangannya bergetar, keringat dingin terasa membasahi tubuhnya.
Melenyapkan Ananya? Apa tidak ada yang lain selain itu? Dia ingin balas dendam pada Priya, bukan membunuh orang. Apalagi Ananya, bahkan dalam mimpi pun Kavya tidak bisa membayangkan. Ananya sudah seperti adiknya sendiri.
Ponselnya yang saat ini bergetar-getar tidak ia pedulikan sama sekali. Kavya masih tidak memercayai semua ini. Iya, dia senang bayinya masih hidup, tapi melenyapkan Ananya? Itu tidak mungkin.
Kavya ingat betul bagaimana pertemuan pertamanya dengan Ananya, bagaimana ekspresi bahagia gadis itu saat menyambutnya, saat kata 'kakak' pertama kali keluar dari bibir Ananya, Kavya tidak bisa melupakan semua itu.
Sejak kecil, Kavya ingin sekali memiliki saudara, entah itu kakak atau adik. Tapi semua itu tak pernah terwujud. Hingga akhirnya ia menikah dengan Veer yang punya banyak saudara, dan otomatis semua saudara Veer juga jadi saudaranya.
Di satu sisi dia terpaksa menikah dan harus meninggalkan Abhi, tapi disisi lain impian kecilnya terwujud---punya saudara.
Ananya, Kavya sangat senang memiliki adik ipar seperti Ananya. Walau manja dan kekanakan, tapi gadis itu sama sekali tidak menganggap dirinya kakak ipar, maksudnya Ananya sudah menganggap Kavya seperti kakaknya sendiri—bahkan melebihi Veer yang jelas-jelas kakak kandungnya.
Dan soal Ananya membencinya beberapa waktu lalu, Kavya memaklumi itu. Sifat Ananya yang kekanakan dan bisa langsung marah dengan hal-hal kecil, membuat Kavya tidak heran sama sekali Ananya membencinya. Kavya sadar, kemarahan Ananya waktu itu tak lain karena rasa cintanya pada Abhi dan tidak ingin kehilangan pria itu.
Lupakan tentang masalah itu, sekarang katakan, bagaimana Kavya bisa melakukan hal tersebut? Atau jika ada cara lain, maka cara apa itu?
Cklek
Kavya terkesiap kala mendengar pintu dibuka. Dia mengambil ponselnya yang dibiarkan tergeletak beberapa saat itu, kemudian berdiri dan menoleh ke arah pintu.
"Kakak," Ananya tersenyum sambil berjalan ke arahnya.
"Aku kira kau dimana, ternyata di bawah sini. Sedang apa?" tanya Ananya.
"Ponselku tadi terjatuh, jadi aku mengambilnya," ucap Kavya.
"Kau pasti mengambilnya sambil melamun, karena sejak tadi aku mengetuk pintu, dan kau dengan kejamnya tidak membukakan pintu untukku. Lihat, tanganku sampai sakit rasanya," oceh Ananya.
Kavya terdiam, perkataan Priya tadi terngiang-ngiang di telinganya. Bagaimana dia bisa membunuh Ananya yang bahkan tidak terlibat sama sekali ini? Ya, saat ini Abhi memang tunangan Ananya, tapi saat Priya menyukai Abhi, saat itu Abhi masih kekasih Kavya.
"Kak, aku cuma bercanda. Tanganku tidak sakit, sungguh." Ucap Ananya karena merasa kakaknya itu diam saja.
"Kak, kau kenapa? Ada yang sakit?" lanjut Ananya.
Kavya tersenyum tipis sembari menggelengkan kepalanya. Bagaimana dia mengatakan hal ini pada Ananya?
"Ayo kita keluar, melihat orang-orang bermain warna," ajak Ananya.
"Baiklah," Kavya menurut tanpa banyak protes. Sendirian lebih lama di dalam sini bisa membuatnya gila memikirkan segalanya.
Ananya menuntun Kavya berjalan ke luar sambil terus tersenyum dan mengatakan bahwa ia senang Kavya selamat, atau dia akan merasa jadi orang paling berdosa di dunia ini dan merasa bersalah seumur hidupnya.
![](https://img.wattpad.com/cover/204475576-288-k280117.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
MUSHKIL PYAAR (End)
Romansa----- Sungguh aku tidak percaya, bagaimana aku bisa menikah dengan pria lain jika aku sendiri sudah punya seorang kekasih? Sepenuh hati dan jiwaku hanya untuknya, lalu kenapa hal konyol bernama 'perjodohan' harus datang menghampiriku lalu mengganggu...