43. Jalan-jalan

151 15 75
                                    

Pukul 8.30 pagi, semua orang sudah berkumpul di ruang makan. Datangnya Sona bersama Ayan memang membawa kebahagiaan. Dengan tingkah Ayan yang sedikit-sedikit mengganggu Naina, semua orang seakan melupakan semua yang telah terjadi, dan kebahagiaan seolah kembali lagi dalam wujud baru.

Ayan juga membawa kebahagiaan untuk Kavya, orang-orang yang sibuk memperhatikan Ayan perlahan lupa pada rencana mereka mengadakan ritual terakhir itu.

"Hmmm... baunya enak sekali, siapa yang memasak?" celetuk Ayan.

"Tentu saja kakak ipar Kavya," ketus Naina.

"Ya ya, Bibi Naina yang galak," ucap Ayan.

Seketika percikan-percikan api kemarahan muncul lagi dalam diri Naina.

Sejak semalam, Ayan terus menggoda Naina dengan memanggilnya 'Bibi'. Dan Naina jadi sangat kesal mendengar itu.

Karena Sona anak pertama, dan Naina anak terakhir, maka Ayan adalah keponakan Naina. Meski begitu Naina benar-benar tidak mau dipanggil bibi, apalagi oleh manusia seperti Ayan.

"Aunty Naina, jangan marah, nanti cepat tua, benar 'kan, Aafia?"

"Benar sekali!" seru Aafia.

Sekali lagi Naina menggeram sebal. Gadis itu langsung mengangkat piringnya dan berpindah tempat di dekat Kavya dan Veer.

"Hei, dia pindah," Ayan tertawa, diikuti Aafia dan keduanya saling toss.

"Bu, lihatlah Ayan, dia sangat menyebalkan," adu Naina pada Madhuri.

"Menyebalkan? Nenek, aku ini sangat imut dan lucu, kan?" bela Ayan sambil berkedip manja.

"Iya, Nak, kau ini imut dan lucu." Balas Madhuri.

Naina melirik sinis laki-laki itu, dan beralih pada Veer yang ada di sampingnya.

"Kakak," rengeknya, saat seperti ini biasanya hanya Veer yang mau membelanya.

"Aunty Naina, diam dulu dan makanlah, " kata Veer sambil sibuk makan.

Naina mengerucutkan bibirnya dan semakin menatap sebal semua orang. Bisa-bisanya Veer jadi tim Ayan juga sekarang.

"Ayan, sudah, jangan menggoda Naina terus. Naina, maafkan dia ya, Ayan memang nakal," ujar Sona, sedetik kemudian menarik telinga Ayan.

"Aduh, Ibu... lepaskan telingaku yang tidak bersalah ini, atau aku tidak akan jadi imut dan lucu lagi jika dia lepas nanti," keluh Ayan sambil memegangi telinganya.

"Ibu akan lepaskan, tapi kau harus diam dan makan, jangan mengganggu Naina lagi, oke?"

Ayan mengangguk patuh, dan makan tanpa mengoceh lagi.

"Oh ya, dimana Ananya?" tanya Ranjeet, karena putri kesayangannya itu tak terlihat di meja makan.

"Ananya di dapur, membuat sesuatu untuk Abhi," jawab Kavya.

"Pasti makanannya asin," gumam Naina.

"Jahat sekali kau," ucap Veer sambil menahan tawanya. Dia ingin tertawa, tapi tidak mau Ananya mendengar dan marah-marah tidak jelas padanya.

Makanan di piring Veer sudah habis, ia mengintip ke piring Kavya yang makanannya tinggal sedikit.

Veer tersenyum manis sambil mengedipkan matanya pada Kavya, tapi Kavya malah mengerutkan keningnya sembari mengangkat tangan seolah bertanya, "apa?".

"Kalian ada di satu ruangan, di satu meja makan, kenapa masih main bahasa isyarat? Katakan apa yang ingin kalian katakan, Kakak-kakakku, jangan mempersulit diri sendiri," sindir Naina yang duduknya di tengah-tengah, Veer ada di depan kiri Naina, sedang Kavya di depan kanan Naina.

MUSHKIL PYAAR (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang