5. Tolong...

276 54 10
                                    

●●●

Indri menatap ayahnya tidak percaya. Semua ini terasa seperti mimpi untuk Indri, semua tiba tiba dengan kenyataan kenyataan yang tidak bisa ia terima. Pertunangan dua hari lagi?

"Ayah gila, huh?" Cukup kesabaran Indri, dia tidak bisa terus terusan menerima permintaan ayahnya. Indri bukan gadis yang menurut setiap kali seseorang ingin ini itu padanya. "APA AYAH GILA?!"

Plak

Aerindri mendengus, tangannya bergerak menghapus bercak darah yang berada di sudut bibirnya. "Ah, ini adalah keahlian ayah dari dulu. Menampar jika kalah,"

Plak

Kali ini Indri tersungkur di lantai, kepalanya tiba tiba pening ketika terbentur hebat. Belum selesai rasa peningnya, sang Ayah langsung menarik rambutnya. "Kau sudah kelewatan!"

"AYAH YANG--AHH!" Kepalanya kembali dibenturkan dilantai setelah cengkeraman tangan Ian menjauh. "Sekarang jika kau tidak menurut dan membangkang setiap permintaan ayah--- bukan hanya kau yang mendapatkan akibatnya tapi juga Dira, kau mengerti?"

Indri diam masih mencerna setiap kata ayahnya. Salah satu alasan Indri tidak lari dari rumah terkutuk ini adalah Dira, Dira akan kesepian jika ia melangkah pergi. Tapi disini--- menyakitkan.

"KAU MENGERTI?"

Plak

"Iya ayah..." lirihnya. Matanya mulai tertutup beriringan langkah ayahnya yang menjauh. Tangannya di penuhi darah yang keluar melalui hidungnya.

Ponselnya tiba tiba menyala, tertera nama..

Leon...


"Indri--"

"Tolong, tolong gue..."

"Ah shit!"

●●●

(Luka di gambar hanya editan!)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

(Luka di gambar hanya editan!)

"Sejak kapan darah ini keluar?"

"Tadi, dok."

"Apa dia pelakunya?" Dokter menunjuk Leon.

"Bukan." Jawab Indri. "Jika terus terusan otak kamu akan bermasalah,"

Akhh

Dokter memegang kepala Indri lalu menatap sudut bibirnya, "Kamu terbentur ditembok setelah ditampar hebat. Saya benar?"

Indri mengangguk ragu melirik Leon lagi--- yang menatapnya tajam.

"Saya akan berikan obat." Lalu dokter itu diam, memperhatikan wajah Indri dalam dalam lalu bergumam, "Kamu mengingatkan saya dengan seseorang."

Seseorang? Batin Leon bertanya.

Setelah kepergian dokter, Leon mendekat. "Makasih banyak, lo bisa pulang, Gue bisa sendiri."

Leon bernafas lelah, mereka sudah hampir tukeran cincin dan Indri masih menganggapnya orang asing.

"Kita bakal tunangan---"

"Gue tau."

"Setelah tunangan kita bakal nikah, lo juga tau kan?" Sarkas Leon, lalu ia membuang nafasnya kasar, lagi lagi ia harus menambah kesabaran lebih menghadapi gadis di depannya. "Sekarang gue tanya baik baik, siapa yang giniin lo?"

"Gue pusing!" Suara Indri meninggi.

"Kenapa lo minta tolong sama gue? Kenapa enggak minta tolong sama Alres?"

Alres bakal ribut sama ayah, dalam situasi seperti ini--- Indri tidak ingin mereka ribut. "Bentar lagi lo jadi tunangan gue, salah gue minta tolong sama lo?" Tanya Indri seperti--- mengembalikan perkataan Leon.

"Lo gak pernah nganggap gue Ri, Jadi jangan harap gue percaya sama lo!"

"Gue kecewa. Gue kira lo bakal kerja sama bareng gue, kita sama sama batalin semua ini tapi gue salah.."

"Untuk apa gue batalin?"

"Karna ini salah! Mereka semua jadiin gue alat--- untuk perusahaan."

"Its not drama!"

"I know!" Bentak balik Indri, rahangnya bergetar. Ia tidak ingin menumpahkan air matanya di depan sembarang orang, rapuhnya dia--- hanya dia dan tuhan yang tahu.

"Lo gak bakal bisa ngerti gue, hidup gue terlalu berwarna buat bisa lo ngerti yang kehidupannya hanya abu abu. Hanya ada dua warna: ikut dan patuh, iyakan?"

Leon menatap tajam lalu membalikkan badannya bergerak keluar. Aerindri, omongan lo kayak pisau--- itu menyakitkan.

●●●

Pria berumur sekitar 40 tahunan itu memijit pelipisnya, "Bagaimana bisa berita pertunangan Leon dan gadis itu belum terdengar ditelinga Alres?"

"Aerindri tidak mengatakannya--"

"Umumkan di sosial media atau apapun agar berita itu mengguncang Alres--- untuk meminta mahkota Leander. Aku butuh dia mengambil alih Leander." pintanya yang di balas anggukan mantap. "Aku terlihat lemah, tapi itulah kenyataannya. Selama Aber Leander yang memegang Leander-group, perusahaan itu tidak akan bisa jatuh di tanganku."

"Baik, tuan."

"Siapa cucu pertama Aber?"

"Atlas..."

Kening pria itu berkerut, seperti barusaha mengingat namun tak bisa. "Jangan sampai dia masuk dalam rencana ku."

"Siap, tuan.."

"Perhatikan semua langkah gadis itu, kemanapun lapor kepadaku. Kau tahu dia adalah jackpot."

"Hari ini Aerindri berada dirumah sakit, Sebastian Hill membuatnya tidak berday---"

Pria itu mendengus menghentikan ucapan tangan kanannya. "Sebastian selalu melakukan seenaknya, lain kali jika kau melihat kejadian itu terulang--- hentikan. Ini perintah, dengar?"

"Iya, tuan."

"Aurora Ashton memasuki Indonesia, kita harus memberinya hadiah." Senyum licik terlihat lagi, pria itu membuka gorden menatap atap atap bangunan kota jakarta. "Bagaimana kalau foto putrinya?"

●●●

VOTE DAN COMMENT!

ALRESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang