19. Lancang!

119 15 0
                                    

•••

"Kakek gak minta Alres menjauh dari Indri, kan?"

"Dia masalah, Res.."

"Dia manusia, Kek." Sangkal Alres cepat, "Dan manusia... gak jauh jauh dari masalah."

Ponsel yang tadinya menempel di pipi, kini ponsel itu jatuh di lantai saat pemiliknya merasa dunia berhenti berputar. Bulir demi bulir air mata mengalir di pipinya dengan pandangan kosong lurus ke depan.

"Kamu menentang ayahmu, menyingkirkan orang yang kakek kirim untuk mengawasimu, berkelahi dengan sepupumu, masuk ke sisi gelap dunia bisnis, menggali masalalu yang berbahaya, hanya untuk gadis seperti indri? Kapan kamu akan berhenti dan sadar apa yang kamu lakukan ini diluar batas?!"

Indri, gadis itu jatuh di lantai kamarnya yang dingin. Ucapan demi ucapan tergiang di kepalanya. Hanya untuk gadis seperti Indri? Sakit, kata hanya itu menusuk hatinya dalam.

Indri memejamkan matanya. Iya benar, dia hanya masalah yang menyusahkan siapapun yang berada disekitarnya. Iya benar, dia adalah perempuan yang tidak pantas di perjuangkan sebanyak itu. Iya benar, kenyataan bahwa hidupnya ini memang amburadul. Tapi, iya ada tapi. Salah jika dia ingin sembuh? Apa salah jika dia berharap seseorang membantunya? Salah jika dia ingin keluar dari zona menyesakkan ini? Apa salah jika dia berharap pada Alres untuk mengakhiri pertunangannya dengan Leon?

Indri cuma gadis yang penuh harapan untuk bahagia dan baik baik saja, apa itu salah?

Indri berdiri, menghapus air matanya dan bergegas keluar sebelum ayah dan Bunda keluar kamar dan menghentikannya.

●●●

Sesuatu muncul dibenaknya. Apa yang sebenarnya Alres lakukan dibelakangnya sampai berubah misterius dan penuh teka teki lagi? Jika ini masalah pertunangannya dengan Leon, bukankah Alres bisa membaginya? Tidak harus sembunyi sembunyi, kan?

Mobilnya masuk ke pekarangan rumah besar Leander. Indri keluar mobil dan berlari masuk ke rumah itu.

Pintu terbuka, Indri tersenyum simpul menatap Bibi. "Alres ada?"

"Ada. Masuk, non."

Indri melangkah masuk, matanya bertemu dengan Alrafel yang duduk di sofa. "Duduk, Ri." Pintanya ramah. "Tumben lu datang malam,"

Indri diam, tidak duduk ataupun membalas perkataan Alrafel. Matanya tajam menatap ke depan membuat Alrafel tidak membuka pembicaraan lagi.

Indri menatap Bibi yang turun dari tangga, "Naik ke kamarnya aja, Non."

"Dia bilang gitu, Bi?"

Alrafel di sofa terkekeh pelan, "Lu bar bar gitu takut juga ya naik ke kamar cowok?" godanya membuat Indri memutar mata malas lalu bergerak naik.

Indri mengetuk pintu Alres. Benar-- tidak ada jawaban. Indri perlahan membuka pintu.

 Indri perlahan membuka pintu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
ALRESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang