Sepi. Istana Yudhistira selalu sepi. Empunya seorang pengusaha, pemilik toserba tempat beragam kebutuhan mulai dari pakaian, alat-alat rumah tangga, perlengkapan sekolah, sampai mainan anak-anak tersedia. Cabangnya di mana-mana, tersebar di sepanjang pulau Madura sampai Surabaya. Omzetnya jutaan, cukup untuk membangun rumah tingkat dua, luas belum ditambah halamannya, dengan mobil mewah di garasi dan motor matic keluaran terbaru. Yudhistira, putra satu-satunya, hidup dalam kemewahan ini.
Kemewahan yang sepi.
Sepi karena Papa-nya lebih sering menghabiskan waktu mengurus anak-anak perusahaannya, menghitung untung-rugi. Mama pun lebih sering menghadiri acara-acara yang Yudhis tidak mengerti faedahnya, menambah relasi. Orang tua yang penuh ambisi. Maka Yudhis hidup dengan kasih sayang berupa materi, bukan interaksi. Broken Kid, maybe.
Lantas, mengapa Yudhis tidak terjerumus ke dalam kenakalan remaja; nongkrong di jalan, bolos ke warnet, merokok, mencicip alkohol, atau menonton video asusila?
Barangkali. Karena Yudhis temannya Izzat, anak yang tumbuh dengan limpahan kasih sayang, bimbingan moral, dan nuansa keagamaan yang kental. Teman satu SD, satu kelas pula di SMP. Maka Yudhis mengisi sepi dalam hidupnya dengan bermain dan belajar bersama Izzat. Mengasah kepekaannya dalam akidah. Menajamkan otaknya --yang sepertinya lebih rasional daripada Izzat. Bahkan, Yudhis sudah menganggap Ayah-Bunda Izzat seperti Ayah-Bunda-nya sendiri.
Jadi. Ketika Sabtu sore itu Izzat mengunjungi rumahnya dengan muka ditekuk, menyatakan kekesalannya pada keluarga, Yudhis tertawa.
"Manja kamu! Ditinggal training seminggu saja ngambek," hardik Yudhis, "aku ditinggal tiap hari aja gapapa kok."
"Bukan cuma itu, Yud! Akhir-akhir ini Ayah jarang ngajak aku main sama jalan-jalan. Kerja terus!" keluh Izzat.
"Ba'na kan dah besar, Jat! Masa maen malolo?"
"Bunda juga jarang di rumah. Masa aku pulang, Bunda sudah berangkat kerja, pulangnya malam lagi."
"Mungkin shift-nya memang jam segitu kali."
"Sekarang juga kenapa training-nya harus berdua, sih?"
"Namanya juga seprofesi. Jadi di rumah kamu cuma berdua sama Izzati, atau?"
"Ada Tante, sih. Tapi kemarin Tante tiba-tiba ada urusan. Jadi malam ini aku cuma berdua sama Izzati. Tapi Izzati malah asyik main sama teman-temanya. Aku kan kesel jadinya!"
"Kebanyakan tapi sama jadi, ah!" ledek Yudhis, "Terus, ke sini mau ngapain?"
"Pokoknya malam ini aku nggak mau pulang ke rumah!" Izzat menggembungkan pipi.
"Ngawur kamu! Izzati kamu tinggal sendiri?"
"Teman-temannya pada mau nginep. Kalau aku di rumah malah aku yang cowok sendiri."
"Ya sudah. Kamu nginep aja di sini."
"Nggak. Sudah sering. Kalau aku di sini, Izzati pasti tahu. Niatku kan mau kabur dari dia."
"Ckckck..." Yudhis menggeleng-gelengkan kepala. "Kesimpulannya kamu mau kabur dari rumah?" katanya sinis.
Izzat mengangguk. Wajahnya masih masam.
"Lah, ngapain ke sini?"
"Ngajak kamu lah."
Yudhis terkejut. "Enja'! Pokokna ngko' ta' noro'-noro'. (Enggak! Pokoknya aku nggak ikut-ikut)" tolaknya.
Izzat tambah masam. "Ya sudah. Aku pergi sendiri saja!" ketusnya dengan nada tinggi. Ia beranjak dari duduknya.
"Eh, eh, tunggu!" cegah Yudhis. Yudhis berpikir, bahaya kalau anak ini keluyuran sendirian. "Iya, iya, aku temenin."
Izzat tersenyum lebar.
*
![](https://img.wattpad.com/cover/218048262-288-k205113.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Putih Biru
Teen FictionKarya ini dipersembahkan untuk kalian yang masih berseragam putih biru tapi bacaannya jauh mendobrak batasan umur. Saatnya kembali pada cerita-cerita klise, mimpi-mimpi lama, nasihat-nasihat usang; menutrisi jiwa, mempertajam pikir, mengasah kepekaa...