Karya ini dipersembahkan untuk kalian yang masih berseragam putih biru tapi bacaannya jauh mendobrak batasan umur. Saatnya kembali pada cerita-cerita klise, mimpi-mimpi lama, nasihat-nasihat usang; menutrisi jiwa, mempertajam pikir, mengasah kepekaa...
Kamis sore, semburat jingga menyusup lewat celah-celah jendela kelas. Menyoroti deretan meja dan kursi kayu yang penghuninya raib kecuali gadis dengan rambut dikuncir kuda yang menyibukkan diri dengan telepon pintarnya. Ping! Notifikasi muncul dari media sosial.
Berlian: Shar, sorry... Kelompoknya diganti besok aja, ya... Anak-anak banyak yang nggak bisa.
Shara: Yah, aku udah di sekolah nih ☹️ Kok nggak bilang dari tadi sih
Shara mendengus, merutuki kawan-kawannya yang inkonsisten.
Berlian: Aku udah nge-send dari tadi, cuma pending, sinyalnya lagi jelek. Sorry, ya, Shar
Gadis penyuka merah muda itu segera beranjak dari kelas. Padahal ia baru saja datang diantar Ayah. Tidak etis rasanya kalau langsung minta dijemput. Apalagi kalau ternyata Ayah sedang bekerja. Rumah Shara tidak jauh, sekitar satu kilo dari sekolah. Ia mulai memikirkan alternatif untuk pulang dengan berjalan kaki. Akam tetapi, satu kilo itu tidak dekat. Jangan-jangan kakinya keburu menyerah di tengah jalan. Lagi pula, apa nanti kata orang melihat anak gadis pulang sendirian.
Bug!
"Aduh!" latah Shara saat bola oranye itu mencium kepalanya. Rupanya sibuk memikirkan jalan pulang membuatnya tak sadar sedang berada di pinggir lapangan basket.
"Maaf," ucap singkat sekelebat sosok yang memilih mengejar bola basket yang menggelinding ke koridor alih-alih membantu Shara yang jatuh terduduk.
Shara menolehkan kepalanya, mencari-cari si pelempar bola. Berjilbab cokelat, bergamis jingga, bercelana panjang di balik gamisnya, membawa bola, dan melenggang tenang ke arah korban lemparan mautnya. Sejumput sakit di kepala Shara mendorong Shara untuk memaki,
"Kamu, ya, yang lempar bola! Gimana, sih, luarnya alim tapi kelakuan kayak preman! Gak malu apa sama jilbabnya!"
Si hijab cokelat berhenti di depan Shara, barangkali sebenarnya berniat minta maaf, tetapi makian yang disemburkan gadis kuncir kuda membuatnya urung.
"Bisa nggak, nggak usah bawa-bawa jilbab?" katanya singkat, sebelum berlalu ke tengah lapangan dan memberikan bola kepada teman-teman sepermainannya.
Shara tersentak, sadar. Ya ampun! Apa yang baru saja ia lakukan? Pasti gadis itu tersinggung. Shara mengingat-ingat ucapannya. Kenapa ia tidak bisu saja saat akan mengatakan itu?
*
"Bela," balas gadis itu ketika Shara memperkenalkan diri. Setelah sebelumnya, Shara nekad ke tengah lapangan, mengacau permainan, dan minta maaf berkali-kali, Bela akhirnya mau meluangkan waktu untuk meluruskan kesalahpahaman yang terjadi.
"Maaf, ya, kamu marah, ya, aku bilang gitu?"
"Enggak," jawabnya sarkastik. "cuma agak sakit hati."
Shara menunduk, menyesali kesalahannya.
"Tapi kamu enggak salah. Aku memang tomboi, brutal, kasar, jauh sekali dari image perempuan yang salehah." lanjut Bela. "Walaupun begitu, aku tetap berhak untuk memperbaiki diri kan?"
Shara tertegun.
"Guruku pernah bilang, jangan menunggu jadi baik untuk mulai menutup aurat–
"Tapi tutuplah aurat untuk menjadi muslimah yang baik," sambung Shara.
"Lah, itu tahu," Bela terkekeh.
Shara tersenyum, "Sebenarnya aku ada niatan mau berhijab, tapi hatiku masih belum mantap," akunya, "makanya tadi keceplosan nyinggung tentang jilbab."
Bela diam, mendengarkan.
"Menurutku kamu keren! Orang yang berani memperbaiki diri itu keren!" puji Shara.
Sekarang ia paham kenapa ceramah Nur belum mempan mengubah pola pikirnya, kenapa argumen Azura belum berhasil menggerakkan hatinya, karena Shara memandang nasihat mereka sebatas teori. Padahal, yang Shara butuhkan adalah contoh nyata, contoh nyata dari seseorang yang sama-sama belajar menjadi lebih baik. Belum se-alim Nur, tidak secerdas Azura, tapi mau berusaha, seperti Bela.
"Kamu juga, orang yang berniat memperbaiki diri itu keren," balas Bela. "Oh, ya, aku minta maaf soal kepalamu yang kena bola tadi. Pasti sakit, kan?"
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
*
Hari Jumat hari yang berkah. Berkah bagi semesta alam, berkah bagi umat muslim sedunia, juga berkah bagi Shara. Hari ini anak baru itu berangkat dengan tampilan baru: seragam Pramuka lengan panjang, rok cokelat semata kaki, kaos kaki berlogo SMPN 1, ikat pinggang berlogo SMPN 1, dan tak lupa kerudung segiempat cokelat berbordir SMPN 1 Sumenep.
Gerbang masih sepi, Pak Iwan yang biasanya berjaga sedang tidak di tempatnya. Sebagai gantinya, mobil sekolah bertengger di depan gerbang. Di dalamnya, ada tiga atau empat orang siswa dan satu supir sekolah. Mungkin hendak pergi lomba, Shara tidak ambil pusing.
"Hei, kamu anak yang kemarin 'kan?!" salah satu dari siswa tersebut berteriak mengejutkan Shara.
Shara menoleh, dikenalinya siswa tadi sebagai Azura.
"Assalamualaikum, namamu Shara, kan?!" teriaknya lagi sebelum ditegur teman-temannya.
Shara menjawab lirih salamnya, mobil silver itu mulai berjalan.
"Doakan kami, ya!" tidak kapok ditegur, Azura membuka jendela mobil, pesan terakhirnya masih sempat didengar Shara seiring hilangnya mobil silver itu dari pandangan.
Shara tersenyum, dalam hati tertawa, berpikir apakah ibu Azura pernah mengerjakan soal matematika sambil memanggil tukang sayur yang lewat di depan rumah.
Setelah memasuki gerbang depan, anak yang diantar-jemput orang tuanya itu beranjak ke gerbang kecil di selatan. Shara memandang deretan sepeda di tempat parkir putri. Rumahnya tidak jauh, mungkin kapan-kapan ia akan membujuk Ayah untuk membelikannya sepeda. Shara mengamati beberapa siswi yang memarkir sepedanya. Salah satunya menatap balik ke arah Shara. Pemilik sepeda jingga itu tersenyum simpul, sambil bergumam, "Keren."
Senyum Shara makin mengembang. Dari dua orang yang dikenal dan ditemuinya hari ini, keduanya memberi respons positif atas penampilan barunya. Ia jadi berharap bertemu Nur juga.
Doa Shara terkabul secepat ia berjalan. Di koridor, ia dan Nur sempat berpapasan. Nur tersenyum manis ke arahnya. Ya, Nur mengenalinya!
Shara masuk ke kelas IX-2. Kelas masih sepi. Berlian tidak datang sepagi ini. Namun di bangku depannya sudah ada Izzati. Wakil ketua kelas baik hati yang dengan ramah menyambutnya, "MasyaaAllah, Shara... Semoga Istikamah, ya!"
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.