Acara dimulai pukul tujuh, oleh pembawa acara yang memperkenalkan diri sebagai Putra dan Putri, dibuka dengan basmalah supaya berkah, tidak lupa qiraah. Kemudian, beragam hiburan memanjakan mata: modern dance, tari tradisional, drama, dan tentu saja, silat. Para penonton, baik wisudawan maupun adik kelas tujuh dan delapan, berdecak kagum ketika Dera dan rekan-rekannya mempertontonkan gerakan-gerakan indah tetapi sadis; kuda-kuda, tonjok sana, tendang sini, tangkis, banting, berguling, loncat, terbang; seru tetapi bikin meringis. Dera membuktikan hijab tidak menghambat wanita dalam menekuni keahliannya, malah ujung pashminanya yang berkibar tiap ia melakukan gerakan menambah kesan keren juga manis.
Setelah hiburan usai dipertunjukkan, saatnya memasuki acara inti. Putra dan Putri undur diri. Bu Yuli mengambil alih peran sebagai Master of Ceremony. Kepala sekolah disilakan untuk memberi sambutan. Sementara anak-anak normal terkantuk-kantuk, anak-anak pintar mendengarkan, dan anak-anak cerdas mengkritisi. Usai kepala sekolah, tiba giliran perwakilan siswa. Remaja berpakaian rapi percaya diri naik ke podium, dengan luwesnya memberi ucapan perpisahan, lalu turun dihujani tepuk tangan.
Bu Yuli mendekatkan pengeras suara ke mulutnya. "Pengukuhan Wisudawan-wisudawati secara Simbolis."
Paduan suara mulai membawakan lagu pengiring. Dari arah pintu masuk, rombongan perwakilan siswa berjalan dengan langkah tegap maju. Paling depan, laki-laki dengan setelan jas resmi membawa Garuda Pancasila di tangan. Di belakangnya, dua perempuan dengan busana tak kalah rapi ditugaskan membawa nampan berisi medali dan selempang. Baru di belakangnya lagi, pasukan inti, sepuluh siswa-siswi dalam balutan toga, masing-masing perwakilan kelas IX-1 sampai IX-10. Derap langkah pasukan dan nyanyian paduan suara membentuk harmoni. Kemeriahan dan kebahagiaan merasuk dalam tiap-tiap hati.
Sampai di atas panggung, kepala sekolah mengalungkan medali dan memasangkan selempang kepada masing-masing perwakilan. Tak lupa memindah tali toga dari kiri ke kanan. Tanda siswa-siswi telah lulus dan siap menghadapi tantangan zaman. Tentu, dengan membawa identitas SMP Negeri 1 yang berkebudayaan.
"Mau digituin juga," gumam Shara di bangku penonton.
"Kalau semua siswa digituin sehari juga nggak bakal kelar, Shar," timpal Ayunda, "makanya ada perwakilan kelas, 'kan?"
"Dan yang dipilih pasti yang cantik atau ganteng macam Ardhian," sahut Berlian, "muka pas-pasan kayak kita nggak usah berharap jadi perwakilan kelas."
"Hush. Jangan gitu! Mungkin yang dipilih yang punya pengalaman baris-berbaris. Lihat 'kan tadi mereka jalan kayak apa."
"Ah, kamu positive thinking terus, Yun. Kalau pun bulan jatuh ke bumi kayaknya kamu bakal bilang, bulan cuma mau berkunjung sebentar, nanti balik lagi," gurau Berlian disambut tawa Shara.
Rombongan perwakilan siswa sudah turun dari panggung, kembali ke arah kedatangan dengan langkah tegap maju, lalu bubar sebelum pasukan mencapai pintu. Bu Yuli selaku MC menyampaikan acara selanjutnya, "Penghargaan Siswa-siswi Berprestasi."
Berbeda dengan pengukuhan perwakilan kelas yang menggunakan gaya resmi, penghargaan siswa-siswi berprestasi penuh nuansa tradisional. Suara gamelan mengiringi langkah kemayu dua belas---jumlahnya berubah-ubah setiap tahun---siswa-siswi berprestasi. Membuka jalan, cucuk lampah melenggak-lenggok dengan luwes, siapa sangka kalau yang memerankannya adalah siswi SMP. Rombongan siswa-siswi berprestasi tak ubahnya rombongan bangsawan. Dua belas anak beruntung itu mengenakan busana tradisional warna hitam. Para cebbing tampak anggun, dengan kedua tangan saling menutup di depan perut. Para kacong tak kalah gagah, satu tangan dengan jempol menunjuk ke atas diletakkan di posisi serupa. Kaki-kaki berselop itu langkahnya diatur sedemikian lambat, menyesuaikan iringan gamelan.
"Mereka mau lewat, Rinne! Cepat rekam!" seru A Yen.
"Sabar, Yen-Yen! Ini juga lagi ngerekam," sahut Corrine sambil mengarahkan kamera ke arah rombongan, tepatnya ke arah Azura dan Kayla.
"Pfffttttt," Corrine tiba-tiba cekikikan. "Yen, perhatikan deh, gerakan mereka berdua."
Gadis bermata sipit itu menurut. Dibandingkannya kedua sahabatnya. Kayla melangkah dengan gemulai, persis tuan putri di dongeng-dongeng. Tapi Azura,
"Azura kaku banget, ya?" terkanya.
"Wkwkwk," Corrine tertawa sampai bahunya berguncang. "Kamu sadar juga."
Berlaku lemah lembut, jalan pelan-pelan, tangan disimpan di depan perut, sama sekali bukan Azura. Belum lagi jarit sempit, pakaian tradisional berbahan beludru hitam---duh, pasti panasnya minta ampun, dan kerudung hitam-emas yang ditumpuk-tumpuk di kepala. Dua gadis oriental itu yakin, sahabat mereka yang satu ini sangat menderita.
Rombongan sampai di depan panggung. Cucuk lampah menyingkir seakan menyilakan mereka naik. Corrine masih merekam. Azura naik paling awal. Harap-harap cemas, semoga kakinya mau diajak bekerja sama. Pelan-pelan ia meniti tangga. Dug.
"Wkwkwk, lihat nggak Yen, dia hampir jatuh tadi."
"Ish, Corrine jangan jahat-jahat sama teman sendiri," tegur A Yen.
Azura yang hampir saja tergelincir menyumpah-nyumpah dalam hati. Untung ia masih bisa mengendalikan diri. Perasaan kemarin lancar-lancar saja waktu gladi. Kenapa ia hampir jatuh tadi? Ah, pasti gara-gara jarit dan selop sialan ini. Dengan penuh perjuangan, Azura berhasil naik ke panggung dan menempati posisinya di ujung kiri. Kayla naik tanpa hambatan. Salah satu tangannya dilenggokkan ke samping kalau hendak berbelok. Ia memosisikan diri di kanan Azura.
Dua belas siswa-siswi berprestasi berjajar rapi di atas panggung. Tidak hanya sains, seperti Azura, Kayla, atau Aqilla; ada juga yang berprestasi di bidang bahasa, seperti Azizi dan Izzati; atau seni, seperti Zea dan Zidan; bahkan olahraga. Ada banyak anak berprestasi di SMP Negeri 1. Namun, yang berdiri di panggung saat ini adalah dua belas siswa dengan prestasi tertinggi, masing-masing sedikitnya memenangi tiga kejuaraan baik tingkat Kabupaten, Provinsi, atau Nasional.
"Inilah siswa-siswi berprestasi SMP Negeri 1 Sumenep," kata Bu Yuli disambut tepuk tangan hadirin. Beliau kemudian membaca data di kertas yang beliau pegang. "Azura Azkiyannisa."
Begitu namanya dipanggil, Azura melangkah ke depan, pelan-pelan mengikuti irama gamelan. Sampai di tengah panggung, ia memosisikan kaki kanan di depan, kiri di belakang, menekuk lutut, mendhak, kemudian melakukan gerakan nyembah, mengatupkan kedua tangan di depan muka. Setelah itu, ia diam di tengah panggung sampai pembawa acara selesai membacakan seabrek prestasinya. Satu-persatu siswa-siswi berprestasi dipanggil namanya, disebut juga nama orang tua mereka, dibacakan daftar prestasinya, lalu kembali ke tempat semula bersama riuh tepuk tangan.
Di bangku penonton, Izzat resah. Sudah sampai inti acara, tetapi Ayah dan Bunda belum juga tampak wujudnya. Oh, lihatlah saudarinya di depan sana. Cantik dan membanggakan. Satu-satunya perempuan yang wajahnya tidak dipoles riasan tebal. Satu-satunya yang khimar-nya tidak dimodel macam-macam. Haruskah ia juga menjadi satu-satunya yang orang tuanya tidak datang? Pembacaan prestasi sudah sampai siswa kedua belas. Izzat tambah gelisah. Bibirnya komat-kamit. Tangan dan kakinya bergetar.
Puk!
"Hwaa!" Izzat menjerit kaget ketika seseorang menepuk pundaknya.
"Maaf, maaf, Ayah belum terlambat 'kan?" kata seseorang itu yang tak lain adalah Ayah Izzat.
"Ayah kenapa baru datang?!" Raut terkejut segera berganti ekspresi cemberut.
"Apa kabar, Om?" Malah Yudhis di sebelahnya menyapa akrab sambil mencium tangan Ayah.
"Orang tua dari siswa-siswi berprestasi dimohon naik ke panggung untuk melakukan foto bersama."
"Dipanggil, tuh! Naik sana!" suruh Izzat dengan alis menukik.
Ayah dan Bunda masih mengenakan seragam kerja saat bergegas menuju panggung. Sebelum itu, Bunda menyempatkan diri mencium pipi putra kesayangannya.
"Bunda!!"
Yang tentu saja mendapat protes dari remaja labil yang malu-malu kucing itu.
*

KAMU SEDANG MEMBACA
Putih Biru
Novela JuvenilKarya ini dipersembahkan untuk kalian yang masih berseragam putih biru tapi bacaannya jauh mendobrak batasan umur. Saatnya kembali pada cerita-cerita klise, mimpi-mimpi lama, nasihat-nasihat usang; menutrisi jiwa, mempertajam pikir, mengasah kepekaa...