Aku Seorang Detektif [Kasus Dibuka]

15 2 0
                                    

"Wk wk wk ... " Yudhis tertawa mendengar cerita Izzat perihal mimpinya waktu itu.

"Ba'na terro ya, ka Izzati? (Kamu suka, ya, sama Izzati)" ledek Izzat.

"Nja' lah. Kan perak e mempena ba'na (Nggak lah. Kan cuma di mimpiku)," balas Yudhis.

"Tapi tapi mimpi bisa jadi pertanda. Jangan-jangan nanti ...."

"Ca'na ba'na lah! (Apa katamu lah!)" sela Yudhis. "Ngko' le-melleya. Noro' nja'? (Aku mau beli-beli. Ikut, nggak?)"

Yudhis merogoh tasnya, hendak mengeluarkan dompet.

"Jat," panggilnya.

"Hn."

"Tang dompet tadha'! (Dompetku nggak ada!" serunya.

"Sia ... Ongguan? (Sia ... Beneran?)" Izzat tak percaya.

"Ongguan, Cong!" Yudhis menaikkan suaranya, menggemparkan seisi IX-5.

*

Usut punya usut, minggu itu bukan hanya Yudhis yang kehilangan dompetnya. Bela kehilangan jam tangannya. Arini kehilangan jas hujannya. Salma kehilangan botol minumnya. Bayu, Dhani, dan Rama mengaku kehilangan uang. Namun yang paling parah, Maya, bendahara kelas, kehilangan dompet tempat ia menyimpan uang kas. Keluhan demi keluhan membuat Bu Yuli, wali kelas IX-5, harus turun tangan.

"Ibu heran, deh. Kok bisa di kelas ini banyak yang kehilangan barang?" Bu Yuli membuka diskusi. "Coba siapa saja yang barangnya hilang?"

Sejumlah siswa mengacungkan tangan.

"Yudhistira, apa yang hilang?"

"Dompet, Bu."

"Kapan? Di mana?"

"Saya sadar waktu istirahat habis pelajaran olahraga. Saya taruh di tas, Bu."

"Yakin nggak ketinggalan di rumah?"

"Yakin, Bu. Kemarin saya sudah cari di rumah juga."

"Kamu, Salsabiila."

"Jam tangan, Bu. Di musala, waktu jadwal kelas kita salat Zhuhur berjamaah kemarin. Saya taruh di dekat tiang waktu wudhu."

"Astaghfirullah, musala? Masa ada yang berani nyuri di musala? Jatuh kali."

"Saya juga mikir gitu, Bu. Tapi saya cari nggak ketemu ketemu."

Bu Yuli lanjut menginterogasi. Keluhan demi keluhan tersampaikan. Meski belum ada titik terang. Sampai giliran Maya ....

"Uang kas?"

"Iya, Bu." Maya takut-takut menjawab. "Saya taruh di atas meja. Tahu-tahu hilang."

Bu Yuli menghela napas. Geram.

"Tolong, ya, tolong," katanya dengan tiap kata penuh penekanan, "siapapun yang merasa mengambil yang bukan haknya," beliau memberi jeda, "tolong, sekali lagi, tolong. Kembalikan."

Siswa-siswi IX-5 menelan ludah. Kalau sedang serius, Bu Yuli seram sekali.

"Kalau malu mengembalikan ke pemiliknya, datang ke Ibu! Ibu janji akan menjaga rahasia kalian. Paham?"

"Paham, Bu."

***

"Menurutmu, kasus-kasus kehilangan akhir-akhir ini wajar, enggak?" tanya Izzat sambil membereskan barang-barangnya.

"Maksudnya?" respons Yudhis.

"Kalau hilang biasa, kenapa cuma kelas kita?"

"Mungkin anak-anak kelas kita kalau naruh barang suka sembarangan."

"Menurutku gak sesederhana itu," tukas Bela yang bangkunya di depan mereka, "Kalau jam tanganku, okelah, memang aku yang naruh sembarangan. Kalau dompetmu, kamu nyimpen dompet di tas 'kan? Nggak mungkin hilang kalau nggak ada yang ngambil."

"Nah, setuju Bel," sahut Izzat. "Jangan-jangan ada pencuri di kelas kita!"

"Ish, awas saja kalau malingnya ketemu," geram Maya, "bakal kusuruh bayar kas dua kali lipat."

Maya mengambil tas. "Eh, aku pulang dulu, ya," pamitnya.

"Hati-hati," pesan Bela pada teman sebangkunya.

"Eh," Izzat berbisik, "gimana kalau kita selidiki?"

"Jangan sok jadi detektif, deh!" hardik Yudhis.

"Namanya juga ikhtiar. Demi kelas kita," bela Izzat.

"Ikhtiar itu, ya, bantu cari barangnya."

"Kalau barangnya diambil orang, harus cari orangnya."

"Tapi-"

"Woi, kalian mau pulang, nggak, sih? Pintunya mau dikunci," seru Rama, ketua kelas.

"Entos (Tunggu), Ram!"

"Kelas kita kan dikunci setiap pulang, berarti malingnya ...."

"Mara lah molè. Tokang khayal! (Ayolah pulang. Tukang khayal!)"

"Tapi aku setuju, sih, sama Izzat," kata Bela tiba-tiba.

"Lho, kamu belum pulang, Bel?"

"Ai', ditungguin malah ngobrol. Ngomongin apa, sih?" Rama mendekati mereka.

"Izzat, nih, katanya mau nyelidiki pelaku yang ngambil barang-barang kita," adu Yudhis.

"Wah, boleh juga, tuh," komentar Rama.

"Lah, kok kamu malah setuju," protes Yudhis.

"Tuh kan ideku memang brilian." Izzat besar kepala.

"Masalahnya cara nyelidikinya gimana?" tanya Yudhis.

"Emm... Pasang CCTV?" celetuk Izzat.

"Sembarangan."

"Pakai kamera hp saja," usul Rama.

"Kan ta' ollé ngibâ hp, Cong." (Kan nggak boleh bawa hp).

"Kalau izin nggak papa, kok. Izin ke Bu Yuli saja," timpal Bela.

"Tapi-" Yudhis kehabisan kata. Ia tak mengerti jalan pikir teman-temannya.

"Tapi, siapa yang mau bawa hp?" tanya Rama.

" lah. Ngko' bhâi." (Ya lah. Aku saja). Akhirnya Yudhis memutuskan untuk terlibat.

"Oke. Kasus. Dibuka!"

*

Putih BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang