Menurut komik singkat yang kubaca secara cuma-cuma, ada dua macam anak manusia. Pertama, anak-anak yang terlalu sering menghadapi pahitnya kenyataan sehingga takut untuk bermimpi. Kedua, anak-anak yang hidup dalam manisnya mimpi sehingga tidak bisa bermimpi lagi. Dulu, Zidan hampir masuk kategori yang pertama. Hampir, karena Zidan masih punya cita-cita.
Nama lengkapnya Ahmad Zidan. Ia tidak berasal dari keluarga intelek, juga bukan dari keluarga kaya. Uang sakunya pas-pasan, paling tinggi lima ribu rupiah. Wajar saja, ibunya hanya seorang penjaja jajanan pasar. Sedangkan ayahnya, Zidan bahkan tidak tahu rupa ayahnya.
Zidan dan ibunya tinggal di kontrakan murah di Kalianget Barat. Ada yang tahu di mana itu 'Kalianget'? Kalianget adalah nama kecamatan di Kabupaten Sumenep, sebelah timur Kecamatan Kota. Di daerah yang tidak tenar itulah, Zidan dibesarkan.
Dengan kehidupannya yang amat sederhana, bagaimana mungkin ia punya cita-cita?
Dulu, waktu Zidan kelas nol besar alias masih di Taman Kanak-kanak, ibu guru bertanya perihal cita-cita. Saat anak-anak lain riuh meneriakkan dokter, astronot, bahkan superman, Zidan hanya diam. Dalam benaknya, timbul tanya, "Cita-cita itu apa?"
Lalu, setelah ia mengerti, "Cita-cita adalah apa yang kamu inginkan ketika besar nanti."
–cita-cita pertama Zidan adalah, "Aku mau bantu Ibu jualan."
Jangan tertawa! Cukup ia ditertawai teman-teman sekelasnya yang tahunya cuma main saja. Zidan tidak pernah main-main dengan ucapannya, karena baginya hidup bukanlah permainan, melainkan medan perjuangan. Maka cita-cita mulia itu ia tanamkan dalam dada, ia usahakan dengan segenap raga.
Beberapa tahun berlalu dan Zidan duduk di bangku SD. Cita-cita pertamanya membuatnya jadi anak berbakti, bertanggung jawab, dan dapat dipercaya. Sering sudah ia membantu Ibu berjualan. Kadang ia bawa dagangan Ibu ke sekolah, tak jarang pula ia sambangi rumah demi rumah. Jadi, jangan sebut Zidan anak ingusan, karena ia sudah bisa menambah penghasilan keluarga. Meskipun cuma sedikit, sih.
Namun, itu berarti cita-citanya sudah tercapai. Pantaskah hal yang sudah kita dapatkan disebut cita-cita? Kalau tidak, berarti Zidan sudah tidak punya cita-cita. Zidan harus mencari cita-cita lain sebelum ia terombang-ambing di tengah samudera kehidupan.
Maka ia pun mulai mencari.
Pencarian itu membuahkan hasil ketika Zidan kecil iseng menyimak pembicaraan ibunya dengan tetangga.
"Ba'na tao, anakna Irma maso' SMP settong." (Kamu tahu, anaknya Irma masuk SMP satu).
"SMP 'tong Kalianget?" (SMP satu Kalianget?)
"Banne, SMP 'tong Songennep." (Bukan, SMP satu Sumenep).
"Siah. Penter onggu kana' rowa." (Pintar benar anak itu).
"Penter lakar, jha' la sering menang lomba." (Pintar memang, orang sudah sering menang lomba).
"Mon ana'na kaula, mator sakalangkong, bisa sakola bhai la Alhamdulillah." (Kalau anak saya, terima kasih, bisa sekolah saja sudah Alhamdulillah).
"Jha' ngoca' nga' rowa. Zidan kan penter keya." (Jangan bilang seperti itu. Zidan kan pintar juga).
"Penter bitong pesse." (Pintar menghitung uang).
"Hahaha..."
SMP 1? Mengapa tidak? batinnya. Akhirnya, Zidan kecil menemukan cita-citanya. Satu cita-cita sederhana, demi membanggakan Ibu tercinta. Zidan ingin bersekolah di SMP Negeri 1 Sumenep.
KAMU SEDANG MEMBACA
Putih Biru
Ficção AdolescenteKarya ini dipersembahkan untuk kalian yang masih berseragam putih biru tapi bacaannya jauh mendobrak batasan umur. Saatnya kembali pada cerita-cerita klise, mimpi-mimpi lama, nasihat-nasihat usang; menutrisi jiwa, mempertajam pikir, mengasah kepekaa...