Pukul 18.00
Lokasi: Rumah IzzatiIzzati dan Shara menyimak bacaan Al-Qur'an Zea. Selepas Maghrib berjamaah, ketiganya tadarusan bersama di musholla rumah Izzati. Sementara Berlian dan Dera yang sedang dapat jatah libur, asyik menggulir layar ponsel diselingi obrolan ringan di ruang yang berbeda.
Dering ponsel mengambil alih atensi kelima remaja itu. Izzati tergopoh-gopoh menuju tempat telepon pintarnya diisi daya.
"Halo, Assalamualaikum..."
Tentu kalian bisa menebak itu suara siapa.
"Walaikum salam, Bunda."
"Kakak salat, nggak?"
"Salat, Bun. Ini lagi ngaji juga sama teman-teman. Kakak sudah cerita kan kalau teman-teman mau datang?"
"Iya, tadi Izzat juga bilang begitu."
"Bunda nelpon Izzat?"
Lega membuncah di hati perempuan lembut itu. Setidaknya ia tahu, saudaranya -yang sedari tadi tidak membalas pesannya- baik-baik saja.
"Iya. Kalian gimana, sih, ditinggal berdua malah asyik sendiri-sendiri."
Deg.
Nurani Izzati tersentil. Kenapa ia tidak memanfaatkan malam Minggu ini untuk membina hubungan persaudaraan yang baik dengan Izzat? Kenapa ia malah memilih mengajak teman-temannya, padahal mereka bisa saja punya agenda dengan keluarga masing-masing.
"Kak, Kakak..." Suara Bunda di seberang sana menyadarkan Izzati.
"Iya, Bunda."
"Ya sudah. Kakak baik-baik, ya, di rumah. InsyaAllah Ayah sama Bunda pulang Minggu depan."
"Iya, Bun. Assalamualaikum."
"Walaikum salam."
*
"Izzati bonceng aku, Shara bonceng Berlian," atur Zea.
"Kita naik sepeda motor?" tanya Shara.
"Iyalah, masa naik sepeda ontel," sahut Berlian.
"Memang kalian punya SIM?"
"Nggak, sih, hehe."
Berlian, Zea, dan Dera nyengir.
"Tenang aku bawa STNK, kok."
"Lagian kita juga sudah mahir. Aman, deh, aman."
Shara merengut. Inilah risiko keluyuran tanpa pendampingan orang tua. Pasti ujung-ujungnya ada satu-dua aturan yang dilanggar.
"Iya, tahu, yang anaknya polisi," goda Berlian, "sekaliii saja kasih toleransi, ya. Kita bakal hati-hati, kok. Pakai helm juga."
"Ya sudahlah. Aku ngikut," kata Shara pasrah.
*
Pukul 19.30
Lokasi: Taman Adipura Kota SumenepOrang Sumenep menyebutnya Taman Bunga.
"Kenapa?"
"Karena banyak bunganya kali."
Padahal, menurut Shara pribadi, bunga tidaklah menjadi objek utama di taman ini. Memang, sih, tempat ini rindang. Pohon dan tanaman hias ada di mana-mana. Tetapi tetap saja, tulisan megah di pintu masuk atau patung kuda di pintu satunya lebih mencolok.
"Dulu ... Taman Bunga nggak kayak gini," gumam Zea.
"Oh, ya?"
"Tempat ini sudah banyak berubah sejak terakhir kali aku ke sini," tambahnya.
"Jangan-jangan terakhir kali itu sudah bertahun-tahun?" tanya Dera.
"Iya. Terakhir kali aku ke sini waktu SD."
"Pantesan."
"Dulu gerbangnya nggak kayak gini." Zea mengelus gapura berbentuk sayap jingga menyala.
"Dulu enggak ada itu." Kali ini ia menunjuk tulisan besar berbunyi Taman Bunga.
"Dulu juga nggak ada ini." Ia menepuk air mancur mini yang pinggirnya dipagari semen.
Dulu pola lantainya tidak seperti ini. Dulu di tengah ada monumen. Dulu enggak ada patung kuda itu. Dan banyak dulu yang lain.
"Memang Taman Bunga dulu kayak apa, sih?" Penasaran, Shara mencolek Berlian.
"Mmmm... Seingatku dulu banyak orang jualan. Ada pecel lele, ayam penyet, pentol tahu, mie ayam bakso ..."
"Kamu, mah yang diingat makanan saja," ketus Dera.
Shara dan Izzati terkikik-kikik.
"Kok sekarang nggak ada orang jualan?"
"Sudah direlokasi, Shar," kata Izzati, "Katanya, sih, supaya tempat ini jadi lebih bersih dan kembali pada fungsinya sebagai ruang terbuka hijau."
"Jadi nggak bisa duduk-duduk sambil makan, deh," keluh Berlian, "Padahal tempat ini strategis banget. Jadi kasihan sama para pedagang."
"Makanya pemindahan itu sempat menuai pro-kontra," tambah Dera.
"Terus gimana, dong?" tanya Shara.
"Sekarang, sih, sudah nggak apa-apa. Kayaknya mereka sudah beradaptasi di tempat baru yang disediakan pemerintah. Taman Bunga juga sudah ramai lagi. Sekarang yang ada orang-orang yang jalan-jalan atau olahraga."
Shara memerhatikan sekitar. Anak-anak berkejaran mengenakan sepatu roda. Muda-mudi jalan-jalan menikmati pemandangan. Ada juga yang memanfaatkan peralatan olahraga yang disediakan. Atau sekadar berfoto ria untuk status sosial media.
"Duduk, yuk!" ajak Izzati.
"Kalian sendiri suka Taman Bunga yang dulu atau yang sekarang?"
"Dari sudut pandang seni, sih," Zea yang duduk di kanan Shara berpendapat, "lebih artistik yang sekarang."
"Tapi dari segi fungsi lebih bermanfaat dulu," Berlian di kiri menyanggah, "sebagai tempat rekreasi bisa, sebagai tempat transaksi jual-beli juga bisa."
"Aku tetap lebih suka Taman Bunga yang sekarang," tukas Dera, "kalau mau jual-beli ke pasar saja sana."
"Kamu gimana, Za?" Berlian meminta dukungan.
Tak ada respons dari empunya nama.
"Izza." Berlian menyikut Izzati yang duduk di sebelahnya.
"Y-ya!" Izzati tergagap. Ponsel di tangan jatuh ke pangkuan.
Keempat anak lain memindahkan perhatian kepadanya.
"Kenapa sih Za?"
"Tumben kamu sibuk sama hp?"
"I-ini ... " Ia menunduk, menyembunyikan sendu. "Izzat belum balas pesanku dari tadi."
"Positive thinking saja, Za. Mungkin low-bat?" hibur Berlian.
"Atau paketannya yang habis," tambah Dera.
"Iya." Izzati memaksakan senyum. Semoga saja memang cuma itu yang terjadi.
*
![](https://img.wattpad.com/cover/218048262-288-k205113.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Putih Biru
Genç KurguKarya ini dipersembahkan untuk kalian yang masih berseragam putih biru tapi bacaannya jauh mendobrak batasan umur. Saatnya kembali pada cerita-cerita klise, mimpi-mimpi lama, nasihat-nasihat usang; menutrisi jiwa, mempertajam pikir, mengasah kepekaa...