Shara mematut diri di depan cermin. Setelan merah muda semi gaun membalut tubuh mungilnya. Pashmina yang dimodel sedemikian rupa menutupi kepalanya. Parasnya yang imut, dipoles riasan sederhana---oh, tentu Shara sendiri yang memolesnya, ia terlalu malas untuk mencari salon atau penata rias. Hari ini adalah hari wisudanya. Lebih tepatnya, hari ini sekolah mengadakan acara perpisahan untuk kelas sembilan.
Nilai UN belum keluar. Namun, berhubung UN tidak lagi menentukan kelulusan, dan tidak mungkin ada sekolah yang tidak meluluskan muridnya kecuali yang bersangkutan punya catatan kasus atau bodohnya keterlaluan, perpisahan ini bisa juga disebut perayaan kelulusan. Shara tidak pernah menyangka akan menyelesaikan masa putih birunya di SMP Negeri 1 Sumenep. Di kota yang bahkan tidak tercantum dalam peta Indonesia. Teman-temannya di Semarang sana barangkali merayakan kelulusan dengan lebih meriah, menyewa ballroom hotel mewah, bukan gedung murah. Apakah Shara menyesal pindah ke sini? Tentu, tidak. Dengan teman-teman dan pengalaman baru, masa putih birunya jadi benar-benar berkesan.
"Shar, jangan lama-lama dandannya! Nanti ditinggal Ayah, lho," teriak Bunda.
"Iya, Bunda. Ini juga sudah siap." Shara keluar kamar.
"Katamu dresscode-nya merah putih, kenapa kamu malah pink-pink gini?"
"Merah tambah putih kan jadi pink, Bunda." Shara menghampiri bundanya. "Sudah, ya. Shara pamit," katanya sambil mencium tangan Bunda.
"Hati-hati!"
Ayah sudah siap di depan rumah dengan motor besarnya. "Awas roknya," pesannya saat Shara naik.
"Berangkat dulu, Bun, Assalamualaikum!" salam Shara sayup-sayup ditelan deru motor.
*
Dera tidak butuh cermin untuk memastikan ia tampil menawan. Pakaian terbaiknya adalah baju silat hitam-hitam. Tidak perlu dandan, tidak perlu banyak riasan. Cantik bagi Dera adalah kekuatan.
"Kamu ini, kelas tujuh tampil silat, kelas delapan tampil silat, sekarang sudah lulus pun tampil silat," omel Ibu di pintu kamar, "Memang enggak bisa sekali-kali kamu jadi penonton yang duduk manis gitu?"
"Harusnya Ibu senang, dong, punya anak konsisten kayak aku."
"Seenggaknya bawa baju ganti, sana! Masa teman-temanmu pakai baju bagus-bagus, kamu pakai baju silat melulu."
"Enggak, ah, Bu! Ini kan identitas," tolak Dera. Padahal alasan sebenarnya, malas saja.
Ibu geleng-geleng sambil mengembuskan napas, lalu menutup pintu.
Dera mengucir rambut panjangnya hingga menyerupai ekor kuda. Peraturan mengenakan jilbab bagi siswi muslim di SMP Negeri 1 tak ubahnya peraturan siswa tidak boleh membawa motor ke sekolah, sama-sama hanya berlaku dari pukul tujuh sampai setengah dua. Di luar itu, bebas. Dera bahkan tidak pernah memakai jilbab waktu latihan silat. Punya teman alim seperti Izzati tidak membuat Dera seketika mendapat hidayah. Apalagi, gadis berparas keras itu punya prinsip untuk tidak melakukan sesuatu hanya karena tren atau ikut-ikutan. Pun ia tidak suka melakukan sesuatu karena paksaan.
Namun, kejadian akhir-akhir ini, terutama saat ia, Shara, dan Izzati menyusuri sekolah malam-malam demi mencari Izzat, seakan-akan memberi kode untuk segera berhijrah.
Mulai dari Shara yang istikamah berjilbab padahal baru memutuskannya tidak lama ini.
Lalu, Yudhis yang secara tidak langsung menyindirnya dengan kalimat, "Dera rambutnya panjang, ya."
Sampai Izzat yang dengan kurang ajarnya berkata, "Biasa Yud. Di sekolah muslimah, di rumah mus-- Aduh!" yang tentu saja ia respons dengan tonjokan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Putih Biru
Teen FictionKarya ini dipersembahkan untuk kalian yang masih berseragam putih biru tapi bacaannya jauh mendobrak batasan umur. Saatnya kembali pada cerita-cerita klise, mimpi-mimpi lama, nasihat-nasihat usang; menutrisi jiwa, mempertajam pikir, mengasah kepekaa...