I Wanna Be a Basketball Player (1)

49 6 6
                                    

"Oper, Bel!" seru Izzat.

Aku memosisikan bola di atas kepala. Over head pass. Bolaku melambung membentuk lintasan parabola. Izzat bersiap menangkap. Hap. Ternyata Farhan lebih sigap. Ia men-dribble bola dengan cekatan. Berebutan dengan Izzat.

"Tangkap, Yan!" serunya pada Ardhian.

Ardhian menangkap operan bola dari Farhan. Posisinya sudah dekat keranjang. Dengan tinggi badannya, mudah saja ia melakukan tembakan. Sial.

Priitt...
"Satu kosong untuk kelas IX-2!" Pak Iwan, guru olahraga sekaligus komentator pertandingan three on three dalam rangka mengisi kegiatan tengah semester itu berseru.

"Waa..." sorakan dan tepuk tangan siswa-siswi IX-2 membahana.

Aku menarik napas. Melirik rekanku, Izzat dan Diki. Pertandingan baru dimulai. Kami bersiap melakukan pembalasan.

*

Orang bilang aku tomboi, aku tak mengelak. Orang bilang aku keras kepala, aku menyebutnya berpendirian. Orang memanggilku Bela, penulisannya persis kata bela dalam bela negara, memang aku yang menghendaki begitu. Nama asliku jauh lebih indah, tetapi terlalu feminim: Salsabiila, mata air dari surga.

Permainan apa yang sering kalian mainkan waktu kecil? Masak-masakan? Bekel? Boneka? Sekolah-sekolahan? Petak umpet? Engklek alias dhiddik? Kalau aku: sepak bola. Waktu kecil aku suka main bola. Soalnya anak tetangga yang sepantaran denganku laki-laki semua. Jadinya, tiap sore aku ikut mereka tanding sepak bola di lapangan depan rumah. Saking seringnya main bersama, aku jadi punya sifat tak ubahnya anak laki-laki itu sendiri: cengkal, sudah diatur, dan sukanya keluyuran. Awalnya Abi dan Ummi tak masalah, toh, aku masih kecil.

Nyatanya sampai aku masuk SD pun aku masih gemar main bola. Pun lebih sering bergaul dengan anak cowok. Abi dan Ummi mulai protektif. Abi mulai melarangku main bola. Ummi mulai menyuruhku belajar memasak dan bersih-bersih rumah. Mulanya aku berontak, predikat tomboi itu telanjur mengakar. Sampai aku haidh kali pertama. Lalu istikamah memakai jilbab. Juga pemisahan kelas antara putra dan putri berlaku di sekolahku yang notabene sekolah Islam. Aku mulai menjauhi anak laki-laki.

Kemudian, aku masuk SMP. Kembali masuk kelas campuran. Untungnya, hijab adalah benteng yang kokoh. Meski kerap berinteraksi dengan lawan jenis, hijabku membantuku menjaga diri.

Selanjutnya, tentang basket. Pada tahunku, ekstrakurikuler sepak bola hanya untuk anak laki-laki. Sebagai gantinya, aku memilih ekskul basket putri untuk memuaskan jiwaku yang hiperaktif.

*

"Perkenalkan, nama Kakak Dinda."

"Udah kenal, Kak," sambut kakak-kakak kelas VIII dan IX.

Kak Dinda tertawa, memamerkan gigi kelincinya, manis. Lalu melanjutkan, "Mulai hari ini Kakak akan mendampingi kalian di ekskul basket putri."

Kak Dinda memimpin pemanasan, mengajari kami teknik-teknik dasar, lalu pola penyerangan dan pertahanan. Kak Dinda melatih kami dengan sabar sekaligus keras. Bila kami malas-malasan, ia tak segan membentak. Namun, bila diajak bercanda pun ia tak sungkan memamerkan gigi kelincinya. Setelah beberapa lama, aku baru tahu, Kak Dinda alumnus SMPN 1 yang sedang menempuh pendidikan di universitas swasta.

Ada baiknya, kukenalkan juga teman-teman seperjuanganku di ekskul ini. Yang paling senior ada Kak Fira. Sudah kelas sembilan. Karena telanjur cinta pada basket, masih aktif di sela-sela kesibukan mempersiapkan ujian akhir. Dari kelas VIII, ada Kak Veve, Kak Rani, Kak Sherly, dan Kak Vika. Dari kelas VII, ada sepuluh orang, aku belum hafal nama-nama mereka, tak ada yang sekelas denganku.

Begitulah, dalam beberapa kali latihan, aku semakin mahir, semakin bersemangat, dan semakin sadar: aku pun telah jatuh cinta pada basket.

*

Meskipun bukan pemuka agama, Abi menjunjung tinggi nilai-nilai agama. Oleh masyarakat pun beliau disegani karena perangainya yang taat. Tegas menyikapi hukum Islam, keras kepada semua yang menyimpang.

Suatu ketika, aku mendapat kaos basketku. Bernomor 7, di atasnya tertulis jelas namaku: B E L A. Warna dasarnya hitam dengan kombinasi putih. Membanggakan. Aku tersenyum mengagumi atribut baruku, sebelum Abi memasuki kamarku dan naik pitam mendapati kaos basketku.

"Abi sudah bilang jangan ikut ekskul basket! Sudah kerjanya lari-lari di lapangan, mau kamu pakai kaos kayak gitu? Tipis, nggak berlengan, celana cekak!" bentak Abi.

"Kan bisa pakai manset, Bi," aku membantah, lirih.

"Anak cengkalan!" Abi membanting pintu.

Aku diam.

*

Hari Minggu tiba. Jadwal kami berlatih pukul 08.00 WIB. Aku mengenakan kaos basketku, tak lupa kupakai manset, leging, dan jilbab hitam. Aku menghampiri Ummi yang sedang menyeterika, kucium tangannya hikmat, aku pamit. Kucari Abi. Rupanya beliau sedang mencuci Yamaha hitamnya. Kuhampiri juga. Abi menatapku, mengamati pakaianku dengan muka masam. Lirikan matanya mengisyaratkan: lihat, dengan pakaian seperti itu semua orang bisa melihat lekuk tubuhmu! Abi menghiraukan uluran tanganku.

Hari itu, untuk kali pertama, aku pergi tanpa mencium tangan Abi.

*

Putih BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang