Tipe Siswa Saat Ujian

45 6 7
                                    

Hai, kawan, masih ingat aku? Namaku Kayla Maulida. Siswi SMPN 1 kelas IX-1. Punya tiga sahabat bernama Azura, Corrine, dan A Yen.

Hari ini, guru IPA tersayang kami mengumumkan agenda penilaian harian yang akan diadakan pada pertemuan depan. Menilik jadwal, pertemuan berikutnya jatuh pada... jam pertama besok pagi! Baik, kuralat kalimat di atas: hari ini guru IPA tersayang kami mengumumkan bahwa besok akan ada ulangan.

"Hei, nanti sore belajar bareng, yuk!" ajak Azura.

"Oke, mau belajar di mana?" A Yen antusias menimpali.

"Di rumah Kayla saja, seperti biasa," usul Corrine.

"Siapkan cemilan yang enak, ya!" pinta Azura.

"Jangan lupa minuman juga," sambut Corrine.

Aku mendengus. "Iya, iya, tapi belajar lho, ya!"

"Siap, Bu Guru Kayla!" mereka kompak menjawab.

*

Omong kosong! Kami tidak pernah benar-benar belajar bersama. Satu-satunya orang yang datang karena niat belajar hanya A Yen. Sisanya, mengincar cemilan dan koneksi nirkabel.

Lihat Corrine, ia bahkan salah membawa buku. Besok ulangan IPA, yang dibawa buku IPS. Memang bisa mengisi tahap-tahap pembelahan sel dengan nama-nama kabinet zaman demokrasi liberal? Selain itu, bukannya belajar, gadis si sipit itu malah asyik bermain game online menggunakan laptopku. Itu lho, permainan tembak-tembakan dimana ada dua tim yang satu polisi dan satu penjahat. Kalau aku tegur, mengapa perempuan bertampang manis sepertinya bisa kecanduan game yang sewajarnya dimainkan anak cowok, Corrine akan menjawab dengan epik,

"Memang cuma laki-laki yang boleh jago main game? Sekarang itu zaman e-man-si-pa-si! Perempuan harus bisa sejajar dengan laki-laki!"

Lain Corrine, lain lagi dengan Azura. Anak perak OSN itu memanfaatkan WiFi di rumahku dengan berselancar ria di dunia maya. Bermodal smartphone biru metaliknya, entah apa saja yang sudah dijelajahinya. Semoga saja masih dalam koridor menggunakan internet secara positif. Kalau aku sindir, mengapa murid yang terkenal pintar sepertinya tidak belajar, Azura dengan kritisnya menjawab,

"Begini-begini aku juga sedang belajar, Kay! Ilmu itu tidak terbatas pada apa yang kamu pelajari di buku pelajaran kurang mendidik itu setiap hari. Apa kau tahu kalau yang baku itu 'silakan' bukan 'silahkan'."

Mereka berdua selalu kompak mengerjaiku.

"Azura, kalau soal ini jawabannya apa?"

"Oh, itu."

Ah, untung ada A Yen. Satu-satunya yang niat belajar. A Yen agak lama dalam mencerna pelajaran. Makanya, belajar bersama seperti ini sangat membantunya. Biasanya ia gemar bertanya padaku atau Azura. Tapi karena tahu aku juga butuh waktu untuk belajar sendiri, A Yen jadi lebih sering bertanya pada Azura yang sedang menganggur. Yang aku salut, Azura  bisa menjelaskan dengan telaten. Meski gayanya satu tangan menggenggam pensil tangan lainnya memegang ponsel.

*

Waktu berlalu secepat kita menghabiskannya. Kertas ulangan di depan mata. Kelas hening, guru IPA tersayang kami terkenal killer dan matanya secanggih CCTV. Aku? Sudah selesai setengah jam pertama. Semua soal-soal ini sudah pernah dijelaskan, pun bisa ditemukan di buku latihan.

Aku melirik A Yen yang karena nomor urut ditempatkan di depan. A Yen kebetulan juga melirik ke arahku. Wajahnya pias, kulitnya yang putih tambah pucat. Mata sipitnya tambah sipit seperti mau menangis. Mimik mukanya seakan menjerit, siapa saja tolong aku!

Putih BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang