Karya ini dipersembahkan untuk kalian yang masih berseragam putih biru tapi bacaannya jauh mendobrak batasan umur. Saatnya kembali pada cerita-cerita klise, mimpi-mimpi lama, nasihat-nasihat usang; menutrisi jiwa, mempertajam pikir, mengasah kepekaa...
Hari Kamis, Shara masih mengenakan seragam lamanya. Rambutnya masih bebas dikuncir kuda. Bukan ia menyepelekan uraian Nur tempo hari yang kualitasnya setara dai kondang, melainkan hatinya belum bisa diajak kompromi. Nur, mah, sudah alim dari sananya. Lah, Shara yang mengaji saja terbata-bata, gimana mau disuruh berhijab, coba.
Melihat Shara yang masih dalam kondisi galau, Izzati sebagai orang pertama yang dimintai tolong tempo hari merasa bertanggung jawab. Hari ini, wakil ketua kelas IX-2 itu berniat mengajak Shara menemui temannya yang lain. Masih teman satu SD-nya dulu, tapi ditempatkan di kelas IX-1.
"Tentang jilbab?" siswi berkacamata framelessitu mengonfirmasi pertanyaan yang diajukan kepadanya.
Shara dan Izzati mengangguk.
"Wow, biasanaorengatanyaka 'ngko' sobal Matematika, buru sateyaseatanya agama," gumamnya dengan bahasa yang tentunya tidak Shara mengerti. "Kenapa enggak ke Nur?" bisiknya pada Izzati.
"Sudah kemarin. Tapi, lihat sendiri, dia belum tercerahkan."
"Wow," netra gadis itu memicing. "Kalau gitu langsung aja, ya. Nur pasti sudah menjelaskan panjang lebar kali tinggi pakai dalil-dalil yang menyatakan kenapa muslimah harus berjilbab. Nah, sekarang, kenapa kamu belum pakai jilbab?"
"Pertama, aku... merasa belum pantas. Nur 'kan memang dari sananya baik, sementara aku belum. Jadi, aku mau memperbaiki hati dulu. Kedua, kalau memang tujuan berjilbab adalah untuk melindungi kehormatan perempuan, aku rasa meskipun nggak berjilbab, pakaianku sudah masuk kategori sopan dan harusnya sudah bisa melindungiku, lagian aku tahu batasan, kok. Terus yang ketiga, perintah berjilbab 'kan turun zaman dulu. Sekarang sudah modern, apa perintah itu masih relevan?" Shara memaparkan alasan yang tidak sempat disampaikannya pada Nur kemarin gara-gara bel masuk sudah berbunyi.
"Wow," siswi berkacamata itu mengekspresikan keheranan untuk kali ketiga, "pernyataan yang amat bertolak belakang, ya. Yang pertama menyatakan kerendahan hati, yang kedua dan ketiga menyiratkan kesombongan terhadap anjuran Ilahi."
Shara tersinggung. Di sampingnya Izzati memberi kode, dengarkan saja dulu.
"Mulai dari yang ketiga dulu. Bukankah pernyataan itu sama dengan kalimat: perintah salat 'kan turun zaman dulu, berarti sekarang nggak usah salat, dong? Jawabannya jelas, Al-Quran itu pedoman sampai akhir zaman. Jangan dengan alasan modern kita meninggalkan apa yang dianjurkan Al-Quran. Lalu soal modern itu sendiri, apa kamu lupa kalau manusia purba dulu nggak pakai baju. Lalu manusia mulai belajar membuat pakaian dari daun-daunan, lama-lama manusia bisa membuat kain, membuat pakaian, semakin tinggi tinggi status sosial manusia, semakin berlapis-lapis pakaiannya. Kalau sekarang, kerudung ditinggalkan, baju dipendek-pendekkan, lama-lama manusia balik lagi jadi enggak pakai baju. Mau?"
Shara mencerna, iya juga, ya.
"Terus, yang kedua. Kamu siapa yang merasa mampu melindungi diri sendiri. Apa kamu tahu bagaimana pikiran laki-laki? Ken Arok bisa nekad merebut Ken Dedes cuma karena lihat betisnya! Kalau kamu paham sejarah, kamu akan tahu kalau itu yang mengawali tragedi bunuh-bunuhan yang melibatkan Keris Mpu Gandring. Aku enggak menekankan pada mitosnya, sih, cuma contoh saja. Mungkin menurutmu pakaianmu sudah sopan, tapi setitik celah dari tubuhmu bisa membuat pikiran cowok ke mana-mana."
"Setuju, sih," Izzati menyela. "Aku punya saudara cowok. Kadang aku risih sendiri kalau dia keceplosan bilang yang enggak-enggak sekalinya lihat cewek. Padahal, menurutku pakaian ceweknya udah sopan."
"Terakhir, yang pertama. Mau sampai kapan memperbaiki hati? Yakin besok masih hidup?"
Jleb. Omongan gadis di depannya menusuk hati Shara.
"Bukan aku doain yang buruk. Tapi ajal memang nggak ada yang tahu, 'kan? Jangan menunggu jadi muslimah yang baik untuk mulai berjilbab, tapi berjilbablah untuk menjadi muslimah yang baik."
Shara menunduk. Semua alasannya dipatahkan dengan epik oleh gadis di depannya.
"Ada lagi?"
"Ngg... Kayaknya waktu istirahat mau habis, deh. Maaf, ya, waktu istirahatmu jadi kepotong," Izzati mengakhiri.
*
"Tadi itu siapa, sih, Za?" tanya Shara setelah mereka keluar dari kelas yang dikenal sebagai kelas terunggul di SMPN 1.
"Loh, tadi udah kenalan 'kan, namanya Azura."
"Maksudku bukan itu. Azura itu siapa, sih," rupanya Shara tertarik dengan pembawaan si kacamata frameless. Kalau Nur teoritis, Azura itu kritis. Alih-alih menggunakan dalil naqli, Azura lebih mengedepankan dalil aqli, dalil yang bisa diterima akal.
"Dia itu anak OSN Matematika, tahun lalu dapat medali perak tingkat nasional."
"Hah? Serius? Pantas," gumam Shara, "tapi orangnya asyik, ya? Blak-blakan, padahal awalnya kukira dia tipe-tipe anak pintar pendiam, gitu."
"Hahaha... Dari SD emang udah gitu, mungkin ibunya pernah ngerjain soal matematika sambil ngobrol sama tetangga."
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.