Tim kami resmi terdaftar di Bupati Cup. Anggotanya terdiri atas semua anak basket kelas VIII ditambah Naya dan Tania. Aku terpilih sebagai kapten secara aklamasi. Frekuensi latihan kami bertambah menjadi hampir tiap hari. Tidak tiap kali Kak Dinda bisa hadir. Kalau Kak Dinda berhalangan, kami akan berlatih sendiri.
Jadwal pertandingan semakin dekat. Aku berlatih kian giat. Akan tetapi, aku mulai merasa ada sesuatu yang salah. Ada sesuatu yang tidak pada tempatnya. Tapi apa?
Suatu kali, kutegur Ghina yang datang terlambat, "Telat, Ghin?"
"Sorry, Bel. Tadi ketiduran. Yuk, latihan." Ghina hendak mengambil bola, tetapi kutahan.
"Kita jadi tanding, nggak, sih?" tanyaku retoris.
"Jadilah, minta'na," jawab Ghina.
"Terus kenapa latihan masih semaunya?!"
"Maksudmu apa, Bel?" sekarang Caca menimpali.
"Sekarang aku tanya, apa ada di antara kalian yang selama ini nggak pernah bolos latihan?" tantangku.
Mereka berenam diam. Aku tahu apa yang salah. Selama ini, jarang anggota kami lengkap saat latihan. Ada saja yang absen. Pun latihan kami tak pernah maksimal. Baru sebentar di lapangan sudah minta istirahat. Apalagi kalau ada yang telat. Tahu-tahu sudah sore saja. Setelah itu pulang, tanpa ada yang berkembang. Boro-boro mau bicara formasi, kemampuan masing-masing orang saja masih rendah. Sebagai kapten, aku bahkan tidak mengerti, dia bagus di bagian mana, dia yang lain berpotensi sebagai apa. Jujur, aku jadi ragu, benarkah kami teman seperjuangan? Atau jangan-jangan, selama ini aku berjuang sendirian?
"Kita juga punya kepentingan lain, Bel. Gak setiap saat buat basket," jawab Ami.
"Oke, aku ngerti. Tapi waktu latihan, tolong sungguh-sungguh. Aku sering merasa kalian belum optimal. Kalian masih ragu mengeluarkan kemampuan terbaik yang kalian punya. Kenapa? Kalau ada sesuatu, ngomong aja sekarang."
Hening mengambil alih.
"Kok pada diam?" pancingku.
Hening masih mendominasi.
"Bel," panggil Ami. "Yang buat kita ragu-ragu itu, karena kamu yang terlalu jago. Kita nggak bisa kayak kamu."
"Terus, kamu itu suka sok ngatur. Begini salah, begitu nggak boleh. Kita jadi takut buat ngapa-ngapain. Mau nangkap bola, takut salah, mau ngoper, takut salah, terus kamu marah kalau caranya salah," aku Caca.
Sekarang aku yang diam. Apa benar aku sejahat itu?
"Ada lagi?" tanyaku.
"Aku sama kayak mereka," timpal Ghina. Yang lain pun memasang muka setuju.
"Oke," aku menghirup napas banyak-banyak. "Terima kasih atas kejujuran kalian."
Ternyata sesuatu yang salah itu aku sendiri. Aku yang otoriter. Aku yang terlalu fokus pada mimpiku dan melupakan mereka yang di belakangku. Kalau boleh meminjam bahasa penulis favorit Abi, aku lupa kalau ukuran sepatu kami tak sama. Lalu aku, dengan otoritasku, memaksa mereka memakai sepatu kebesaran atau mungkin kekecilan yang malah menghambat langkah mereka. Yang tidak pada tempatnya itu aku. Aku yang menzalimi mereka.
"Aku minta maaf, kalau selama ini ada banyak salah sama kalian," aku menunduk. "Aku pengin banget jadi pemain basket," curhatku, "Makanya waktu Kak Dinda nawarin ikut pertandingan, aku langsung setuju. Tapi.... Aku sadar, basket bukan tentang kemampuan individu, basket itu tentang kerja sama tim.
"Aku cuma berharap kita bisa jadi tim yang kompak. Kalau menurut kalian aku kurang bisa memahami kalian, aku mundur jadi kapten." Aku mengangkat kepala, menatap Ghina, Caca, Ami, Bryna, Naya, dan Tania. "Besok, kita pilih lagi kapten yang benar-benar kalian rela dia jadi kapten kalian."
"Gak usah nunggu besok, sekarang saja kita voting," sahut Ghina.
Aku tersenyum kecut. Begitu cepat mereka move on. Barangkali ini saatnya melepas ego. Bukankah aku sendiri yang menyatakan: basket adalah tentang kerja sama tim?
Ghina merogoh buku dan pena dari tas jinjing yang dibawanya kemana-mana. Ia merobek selembar kertas, merobeknya lagi menjadi bagian-bagian kecil. Potongan-potongan kertas dibagikan, pena dipakai bergiliran, nama-nama dikumpulkan, aku menawarkan diri membaca nama-nama yang tertera.
"Ini maksudnya apa?" pekikku memperlihatkan potongan-potongan kertas yang seluruhnya tertulis namaku. Kecuali punyaku, aku memilih Ghina.
"Itu maksudnya kamu tetap jadi kapten, Bel." Caca menjawab.
"Kami percaya kamu bisa memahami kami dan menjadi pemimpin yang baik bagi kami," timpal Ghina.
"Kalian nggak nyesel, nih?" aku memastikan.
Caca, Ghina, Ami, Bryna, Naya, dan Tania kompak menggeleng.
"Kita di sini karena kita juga mau jadi pemain basket. Jadi, ayo berusaha bareng-bareng," simpul Bryna.
Ah, barangkali Tuhan memang sedang mengujiku: mampukah aku menjadi pemimpin yang baik bagi teman-temanku?
*
Sorak sorai para suporter dari SMPN 1 dan SMPN 2 memenuhi stadion. Keringat membanjiri tubuh kami, tim basket putri, apalagi aku yang mengenakan kaos rangkap. Pertandingan memasuki ronde terakhir. Skor menunjukkan angka 31-30. Lawan unggul satu poin. Waktu tersisa 7 menit.
Bola berada di genggaman lawan. Caca dan Ami bermain strategi dan berhasil merebut bola. Ami men-dribble bola. Dua orang dari tim lawan menghadangnya. Ami memutar badan dengan satu kaki sebagai poros untuk menyelamatkan bola. Ia kemudian mengoper bola ke arah Caca. Caca hendak menggiring bola ketika kakinya terpeleset lantai lapangan yang licin.
"Aw!" ia mengaduh. Timer berhenti. Kami dan wasit segera menghampiri, memastikan ia baik-baik saja. Salah seorang dari tim lawan menunjukkan sportifitasnya dengan membantu Caca berdiri. Caca mencoba melangkah, tapi jatuh lagi. Cidera. Caca dipapah ke bangku cadangan, sebagai gantinya Tania masuk lapangan.
Kami kembali ke posisi. Kembali mengatur strategi. Kami mencoba mengamalkan ajaran Kak Dinda: berani, sportif, dan kerja sama tim.
Bola di tangan Ami. Ami mengoper ke Tania. Tania men-dribble ke lapangan lawan. Lawan dalam posisi bertahan, mengepung.
"Oper, Tan!" komandoku sambil menggerakkan dagu ke arah Ghina.
Tania menurut, bola dioper ke Ghina. Ghina mengamankan bola. Kami sudah berada di daerah lawan. Tim mereka mulai berpencar. Bola terus berputar.
3 menit tersisa.
Bola dipegang Bryna. Posisinya kurang menguntungkan. Jauh dari keranjang, dekat dengan lawan. Bryna mati-matian mempertahankan bola. Aku menginstruksikan Ami, Ghina, dan Tania untuk menempatkan diri di posisi mana kira-kira Bryna akan mengoper. Aku sendiri memosisikan diri lurus dengan tiang.
2 menit tersisa.
Tanpa instruksi, Bryna mengoper bola ke arahku. Untungnya aku sigap menangkap.
"Tembak, Bel!" teriak Ghina.
Aku mengerti. Sekarang atau tidak sama sekali. Kami tertinggal 1 poin. Dalam kondisi seperti ini hanya ada dua kemungkinan: aku berhasil memasukkan bola dan mencetak 2 poin; atau gagal dan menyebabkan kekalahan pada tim kami. Aku melirik teman-temanku yang lain: Ami memberiku anggukan kecil, Tania terengah-engah, Bryna tubuhnya kuyup oleh keringat, Naya di bangku cadangan memasang wajah cemas, Caca meringis, dan Kak Dinda tersenyum kecil. Sorot mata mereka berkata, kami percaya padamu.
1 menit tersisa.
Aku memasang sikap shoting. Pandangan kufokuskan pada ring.
*
Aku memasang sikap shoting. Pandangan kufokuskan pada ring. Aku melirik rekan-rekanku. Raut mereka senada, memberiku rasa percaya. Waktu sisa 1 menit. Kami tertinggal 1 poin. Adegan tujuh tahun silam terulang.
Aku masih konsisten dengan rangkapan kaos lengan panjang dan celana training longgar. Bedanya, aku tidak lagi mengenakan kaos hitam bertuliskan SMPN 1, melainkan kaos merah putih dengan lambang Garuda di dada. Aku sedang di negeri orang, membela nama baik perbasketan Indonesia di mata dunia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Putih Biru
Roman pour AdolescentsKarya ini dipersembahkan untuk kalian yang masih berseragam putih biru tapi bacaannya jauh mendobrak batasan umur. Saatnya kembali pada cerita-cerita klise, mimpi-mimpi lama, nasihat-nasihat usang; menutrisi jiwa, mempertajam pikir, mengasah kepekaa...