I Wanna Be a Basketball Player (2)

24 5 1
                                    

Aku naik kelas VIII. Kak Fira sudah lulus, tentu saja. Kak Veve, Kak Rani, Kak Sherly, dan Kak Vika sudah tidak aktif ekskul lagi. Teman seangkatanku yang tetap mengikuti ekskul ini tinggal lima orang: Ghina, Caca, Ami, Bryna, dan aku sendiri. Ada juga adik kelas VII. Pelatih kami masih Kak Dinda.

Sejak perang dingin dengan Abi waktu itu, kutinggalkan manset dan leging ketat; kuganti dengan kaos hitam lengan panjang, celana training longgar, dan jilbab hitam panjang, baru kurangkap dengan seragam basketku. Orang-orang melihatku aneh, tetapi Abi masih memasang sikap antipati. Aku tak acuh. Yang penting sudah berusaha.

Minggu itu kami berlatih seperti biasa. Aku berhasil mengalahkan rekorku sebelumnya, memasukkan 25 bola dalam satu menit. Kak Dinda mengajari kami teknik lay-up. Sejauh ini belum ada yang melakukannya dengan benar.

Matahari semakin tinggi. Sudah masuk bulan September, tetapi hujan belum juga turun, cuaca malah semakin terik dari hari ke hari. Priitt... Kak Dinda meniup peluit. Kami segera menghentikan aktivitas. Kulihat salah seorang juniorku berusaha mengejar bola yang lepas dari jangkauannya.

"Oke, hari ini cukup sampai di sini," kata Kak Dinda segera setelah anak tadi berhasil mendapatkan bolanya.

Kami berbanjar mengerubungi Kak Dinda.

"Sebelum pulang, Kakak mau tanya, kalian mau nggak ikut pertandingan?"

Kami diam, saling melirik.

"Bulan depan ada Bupati Cup. Tadi Kakak dapat titipan dari Pak Iwan, beliau tanya: tim cewek siap tanding, nggak? Kalau cowok sudah pasti ikut," jelas Kak Dinda.

"Saya mau, Kak," aku mengawali.

"Aku juga."

"Aku juga." Teman-teman menyusul.

*

Awalnya, aku memang menganggap basket sebagai hobi. Namun, setelah sekian lama bergelut dan jatuh cinta pada basket, aku mulai berpikir untuk menjadikannya profesi.

Aku mulai berani bermimpi, mulai berani menulis: I WANNA BE A BASKETBALL PLAYER. Kutulis di sela-sela catatan Matematika, di status-status sosial media, kupajang di tembok kamar, kulihat tiap kali terjaga di pagi hari.

Tentang caraku berpakaian yang kujelaskan sebelumnya, Kak Dinda pernah berkomentar, "Kamu yakin Bel, sama kostummu?"

"Memang kenapa, Kak? Enggak boleh, pemain basket pakai kerudung?" tanyaku retoris.

"Boleh, boleh aja, sih. Tapi dobelanmu itu, lho. Kan bisa pakai manset sama leging."

"Biar lebih tertutup aja, Kak. Kalau leging terlalu ketat, tipis juga, sama aja nggak menutup aurat, dong," kataku memberi alasan. "Eh, maaf, Kak. Nggak bermaksud menyinggung," aku buru-buru menambahkan. Kak Dinda memang belum berhijab.

"Iya, aku ngerti. Aku cuma mau ngingetin. Sumenep itu kota kecil, Bel. Aku lihat kamu punya potensi. Kamu nggak boleh tetap di sini. Aku yakin kamu bisa pergi ke kota-kota besar, tembus ke nasional, bahkan internasional. Di luar sana, Bel, peraturan basket macam-macam. Belum tentu pakaianmu yang nggak biasa itu diperbolehkan. Aku nggak mau kamu gagal main, cuma gara-gara salah kostum," jelas Kak Dinda.

Aku merenungkan perkataan Kak Dinda.

"Jangan kira, Bel. Temanku ada yang nggak boleh main gara-gara, kan dia pakai pelindung lutut gitu, warnanya beda sama ketentuan panitia. Peraturan basket itu kadang suka aneh-aneh, kok."

"Bisa gitu, ya, Kak?"

Aku diam cukup lama.

"Kata guru SD-ku, kalau kita mengikuti perintah Allah, InsyaAllah ada saja jalannya untuk Allah mengabulkan impian kita. Aku percaya, meskipun sekarang belum, akan ada saat ketika para muslimah bangga menunjukkan identitasnya," kataku kemudian.

Kak Dinda tidak menimpali, malah menatapku lamat-lamat.

"Kamu tomboi tapi alim, ya?"

"Aamiin, deh, Kak. Aamiin," kataku, padahal dalam hati menggerutu, aku jelas masih jauh untuk mendapat julukan orang berilmu.

*

Suatu hari, sepulang ekskul kudapati Abi sedang membaca majalah di ruang tamu. Kuucap salam, kuhampiri beliau sambil mengulurkan tangan. Suatu keberuntungan, Abi balas mengulurkan tangannya, kucium tangan Abi.

Aku masih menunduk ketika Abi bertanya, "Gimana tadi latihannya?"

Aku cepat-cepat mengangkat kepala, menatap tidak percaya. Abi diam, menunggu jawaban.

"Alhamdulillah, lancar, Bi."

"Latihan yang benar, jangan asal main," pesan Abi tanpa melirik.

Hari itu aku tahu, Abi telah memberikan restunya.

Putih BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang