Bayangkan jika hidup ini sebuah film. Atau novel. Atau komik. Atau apa sajalah. Kalau film itu bergenre religi, tokoh utamanya pasti Nur. Kalau film itu bergenre pendidikan, bintang filmnya, kalau bukan Azura, ya, Kayla, atau anak-anak berprestasi lainnya. Kalau genrenya keluarga, mungkin Izzat-Izzati cocok jadi pemeran utama. Nah, kalau aku? Apa ada genre yang cocok untukku? Karakterku saja tidak jelas. Pintar, enggak. Religius, enggak juga. Cantik, enggak. Jelek, enggak juga. Unik? Enggak sama sekali. Sepertinya, semesta memang menggariskanku menjadi tokoh pembantu. Aku hanya deutragonis di hidup Nur yang religius. Hanya figuran di kelas IX-3. Hanya seorang Khairul Aulia.
"Kok, melamun, Li? Nanti kemasukan jin, lho!" tegur Nur, "Salat Dhuha, yuk!"
"Yuk." Aku mengiyakan.
Tuh, kan, aku cuma tokoh sampingan yang kebetulan Nur temui dalam perjalanannya menjadi pendakwah. Ngomong-ngomong, cita-citaku apa, ya? Tuh, kan, cita-cita saja tidak punya. Punya sih, aku mau jadi dokter, tapi itu kan karena disuruh Mama. Jadi ingat sebuah kutipan dari komik yang pernah kubaca: ada dua macam anak manusia. Pertama, anak-anak yang terlalu sering menghadapi pahitnya kenyataan sehingga takut untuk bermimpi. Kedua, anak-anak yang hidup dalam manisnya mimpi sehingga tidak bisa bermimpi lagi. Sepertinya, aku masuk dalam kategori yang kedua. Aku bukan orang kaya, tetapi hidupku serba mudah. Segala kebutuhanku terpenuhi tanpa kurang suatu apa. Maka cita-citaku cuma: aku harap hidupku selalu seperti ini, baik-baik saja.
*
"Nur, siapa yang ngizinin kamu baca buku?" seruku saat kupergoki Nur membaca diary-ku.
"Ma...Maaf. Tadi bukunya nggak sengaja kebuka, terus Nur penasaran, jadi Nur baca. Lia jangan marah, ya," katanya dengan penuh sesal.
Nur, Nur, siapa yang bisa marah sama orang sebaik kamu? "Aku nggak marah, kok." Aku mengamankan catatan harianku.
"Ehm... Tadi aku baca tulisanmu tentang Main Character," lapornya.
"Terus?"
"Menurut Nur, setiap orang adalah tokoh utama dalam hidup kita masing-masing. Jadi, jangan pernah merasa kalau kamu diciptakan hanya untuk membumbui hidup orang lain," tuturnya.
Aku tersenyum. "Makasih, Nur, nasihatnya. Sebenarnya aku belum nemu aja tujuan hidupku, aku mau hidup yang seperti apa?"
"Bukannya tujuan Allah menciptakan manusia sudah jelas: untuk beribadah kepada Allah dan bermanfaat bagi sesama manusia."
"Nah, itu dia. Beribadah, tahu lah caranya. Sejak ketemu kamu ibadahku meningkat, kok. Tapi bermanfaat? Setahuku cara orang bermanfaat itu beda-beda, tergantung perannya dalam masyarakat. Dokter bermanfaat dengan membantu menyembuhkan orang. Guru mendidik siswa. Pengusaha bisa membuka lapangan pekerjaan. Ustadz-ustadzah mengajarkan ilmu agama. Kalau aku?"
"Bukannya Lia mau jadi dokter? Kamu fokus saja sama cita-cita kamu."
"Itu mah disuruh Mama
Aku justru merasa enggak ada panggilan hati buat jadi dokter. Bukannya aku enggak mau menolong orang, aku merasa enggak mampu aja, aku enggak suka Biologi, takut darah juga.""Terus, kamu maunya jadi apa?"
"Lha itu! Aku saja nggak ngerti bakat dan minatku apa. Kalau kamu jelas, pintar berdakwah, bisa qiraah, nilai di atas KKM."
"Astaghfirullah, jangan ngomong gitu lah, Li!" Kebiasaan, Nur selalu mengucap istighfar bila dipuji. "Susah juga, ya?" gumamnya. "Aku doakan kamu segera nemu bakat dan minatmu."
"Aamiin..."
"Aku jadi ingat cerpennya Izzati yang menang lomba kemarin," gumamnya tiba-tiba, "kasusnya mirip ceritamu. Coba baca, deh, siapa tahu dapat inspirasi."
*
Sepulang sekolah aku menyempatkan diri mengecek Mading, mencari cerpen Izzati yang direkomendasikan Nur. Judulnya The Leader. Panjang enam halaman dengan font Time New Roman, spasi 1.5, ukuran huruf 12.
Karena panjang, aku sampaikan sinopsisnya saja:
Qanitatul Aulia –namanya mirip namaku– atau yang akrab disapa Qani, adalah siswi di SMP Harapan Bangsa. Qani adalah siswi yang biasa-biasa saja, tanpa bakat yang menonjol, tanpa karakter yang berkesan –aku banget. Qani menjalani kehidupan normal dan datar, tanpa konflik, tanpa drama.
Warna baru muncul ketika Pak Iwan –ini sih nama guru olahraga. Izzati nggak kreatif, ah– guru Matematika-nya –Pak Iwan ngajar Matematika? Wkwkwk– membagi murid-murid ke dalam kelompok-kelompok untuk mengerjakan proyek, dan kebetulan, menunjuk Qani sebagai ketua salah satu kelompok.
Mau tidak mau, Qani harus berhadapan dengan beragam karakter dari anggota kelompoknya. Ada si pintar yang apatis, si tukang sok ngatur yang egois, si pemalas yang tidak sadar diri, si rajin tetapi tidak punya inisiatif, si kreatif tetapi tidak realistis, dan si pelawak yang tidak tahu kapan harus berhenti bercanda. Ada tujuh warna dan Qani harus menyatukan tujuh warna itu menjadi seberkas sinar putih. Tugas ini memunculkan potensi tersembunyi Qani: kepemimpinan.
Bagus. Kalau boleh memberi nilai: empat koma sembilan dari lima. Minus nol koma satu untuk nama guru dalam cerita. Cerita garapan Izzati itu mengajarkan: setiap orang punya bakat terpendam, potensi tersembunyi yang menunggu untuk digali dan ditemukan.
"Cerpennya bagus," pujiku.
"Juara satu, lho. Ngalahin punya Azizi," tambah Nur.
"Deskripsi karakter tokoh-tokohnya kuat banget. Kok bisa, ya, Izzati tahu banyak tentang karekter manusia. Apa dia belajar psikologi?"
"Mungkin. Dia kan banyak baca buku. Kamu tertarik sama psikologi?"
"Enggak tahu. Bisa jadi," kataku ambigu, "Pokoknya aku mau belajar yang rajin saja, enggak lucu kalau sudah tahu mau jadi apa tapi nggak bisa gara-gara nilai jelek," kataku pada akhirnya.
Namaku Khairul Aulia. Kata guru agama, Khairul artinya baik. Aulia bisa berarti para wali, pemimpin, atau teman setia. Barangkali minatku bukan menjadi dokter seperti kata Mama. Barangkali bakatku bukan kepemimpinan seperti tokoh utama dalam cerpen Izzati. Namun, sebagai pelajar tugasku adalah melahap semua ilmu yang tersebar di alam semesta. Siapa tahu, dalam proses menuntut ilmu ini aku menemukan profesi yang membuatku bisa bermanfaat kepada sesama manusia.
Lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan
Lebih baik memperbaiki masa kini daripada memusingkan masa depan
KAMU SEDANG MEMBACA
Putih Biru
Fiksi RemajaKarya ini dipersembahkan untuk kalian yang masih berseragam putih biru tapi bacaannya jauh mendobrak batasan umur. Saatnya kembali pada cerita-cerita klise, mimpi-mimpi lama, nasihat-nasihat usang; menutrisi jiwa, mempertajam pikir, mengasah kepekaa...