Pertemuan kami tak ubahnya adegan di novel-novel picisan. Aku berjalan dari barat, dia dari timur, kami bertabrakan dan setumpuk buku yang kubawa berserakan. Lalu, ia membantuku mengambil buku dan pandangan kami bertubrukan. Momen-momen selanjutnya berlangsung dengan klise. Jalan-jalan keliling kota, makan es krim berdua, sampai berbalas pesan via sosial media.
Sampai suatu hari, dia mengajakku bertemu. Pada malam yang bertabur bintang. Di taman dengan bunga-bunga bermekaran. Lalu ia datang, diiringi petikan gitar. Lagu diputar. Ia berlutut dengan setangkai bunga di tangan. Begitu romantis ia menyatakan perasaan.
Rasanya ingin aku bilang iya. Ingin aku terima setangkai mawar yang disodorkannya.
Namun, tidak.
Aku tidak bisa.
Raut kecewa tergambar jelas di parasnya, ketika penolakan itu kusampaikan. Aku bilang tempatku bukan di sini. Aku akan segera pergi. Katanya alasanku tidak masuk akal. Ia masih menuntut penjelasan.
Aku tidak bisa.
Maka, aku lari.
Ia tidak mengejar. Pengertian sekali.
Hari-hari berikutnya, ia masih bersikap manis. Barangkali harap di hatinya belum habis. Sampai pada hari saat aku benar-benar harus angkat kaki, meninggalkan kota yang penuh kenangan ini, kembali ke kampung halamanku yang asri. Jauh sekali.
Ia susul aku ke stasiun. Ia nyatakan perasaannya sekali lagi. Sama, tak ada yang berubah dari kata-katanya. Pun tak ada yang berubah dari jawabanku.
Suara roda kereta yang beradu dengan rel menjadi akhir cerita kami. Kulihat, ia masih berdiri di peron, melambai-lambaikan tangannya, meneriakkan namaku berkali-kali. Lalu aku, aku bisa apa? Hanya maaf dan seribu maaf terucap dari bibir. Entah akan sampai ke telinganya, entah malah hilang dibawa angin.
Tepuk tangan bergemuruh. Ucapan terima kasih menyudahi drama kami.
Apakah kalian tertipu?
"Good job, Yun!" Shara merangkulku dari samping.
"Argghh! Akhirnya selesai juga!" Berlian merangkulku dari sisi satunya.
Ujian praktik Bahasa Inggris memang luar biasa. Sempat-sempatnya menyuruh kami membuat drama. Untungnya, guru Bahasa Inggris kami objektif dan terbuka, membebaskan kami untuk berekspresi sekreatif mungkin, tidak menghujat walau kelompokku memilih tema romance, pun memberi nilai dengan adil, tentu mempertimbangkan vocab, grammar, dan pronounciation.
"Dilihat-lihat, Yunda sama Ardhian cocok juga, ya," gumam Shara.
Aku tidak berhak marah meski tidak suka Shara mengatakan itu. Dia murid baru dan tidak tahu apa-apa soal masa laluku. Namun, waktu Berlian menimpali,
"Bukan cocok lagi. Kan memang pernah---
Aku mendelik dan memasang muka masam yang membuatnya urung melanjutkan kata-katanya.
"Eh, maaf, Yun. Hehe," katanya sambil meringis.
Memalingkan wajah dari teman-temanku yang asyik mengobrol, aku malah tak sengaja menangkap sosok lawan mainku di seberang sana, Ardhian. Remaja jangkung itu tertawa-tawa bersama kawan-kawannya. Entah menertawakan apa. Melihat wajahnya yang seolah-olah diciptakan untuk selalu tersenyum, aku jadi ingat, pernah ada masa aku merasa senyum itu milikku seorang. Pernah ada saat hari-hariku diisi dengan ia dan segala perlakuan romantisnya. Pernah ada ketika sosial mediaku dipenuhi percakapan dengannya, pesan statusku diisi kode-kode tentang dia, dan foto profilku menampilkan siluetnya. Kalau ingat masa-masa itu, rasanya diriku menjijikkan sekali. Bagaimana bisa, aku membiarkan mekar perasaan yang tidak seharusnya ada? Bagaimana bisa, aku berharap pada hubungan yang tidak tercatat dalam hukum dan agama? Bagaimana bisa, aku yang masih berseragam putih biru sok-sokan bicara cinta?
![](https://img.wattpad.com/cover/218048262-288-k205113.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Putih Biru
Novela JuvenilKarya ini dipersembahkan untuk kalian yang masih berseragam putih biru tapi bacaannya jauh mendobrak batasan umur. Saatnya kembali pada cerita-cerita klise, mimpi-mimpi lama, nasihat-nasihat usang; menutrisi jiwa, mempertajam pikir, mengasah kepekaa...