Rival

148 13 8
                                    

Sehabis mencium tangan Pak Iwan, guru olahraga yang berjaga di pintu gerbang, Zidan menuntun sepeda tuanya ke kawasan parkir putra. Remaja berkulit gelap itu mengelap peluh hasil mengayuh sepeda berkilo-kilo jauhnya, lintas kecamatan pula. Namun, netranya memancarkan semangat yang berhasil dipertahankannya selama tiga tahun bersekolah di SMP Negeri 1, sekolah impiannya. Apalagi kemarin ia baru mengharumkan nama sekolah, menjadi juara satu dari lomba melukis tingkat kabupaten yang diadakan oleh sebuah lembaga kesenian. Tidak ada alasan untuk mengeluh, bukan?

Zidan bersyukur ia ditempatkan di kelas IX-10, sebab kelasnya tak jauh dari tempat parkir putra. Meski guru-guru mengenal kelasnya sebagai kumpulan anak-anak yang nilainya seringkali di bawal standar, toh, bagi anak penjual gorengan, bisa diterima di sekolah unggulan sudah merupakan suatu kebanggaan. 

Zidan meletakkan tas di bangkunya. Sedetik kemudian ia bergegas ke depan kelas IX-2, kelas partnernya, Zea.

Itu dia.

Zidan baru saja akan menyapa Zea. Sekaligus mengucapkan selamat atas juara dua di perlombaan tempo hari. Kemarin, ia pulang duluan, tak sempat bercakap-cakap dengan partner melukisnya itu. Tapi yang sang partner malah memasang muka masam. Lalu secepat kilat berlalu dari hadapan Zidan. Zidan bingung bukan buatan. Mau menyusul ke dalam kelas, tetapi urung. Kelas Zea ramai, dan tak ada satu orang pun selain Zea yang Zidan kenal. Siswa IX-10 itu pun kembali ke kelas sambil merenung. Apa dia berbuat salah sampai Zea menghindarinya?

Zea yang masih dilanda rasa kesal melangkahkan kakinya cepat-capat, sudah seperti orang ketinggalan kereta kelas eksekutif. Dengan kasar ia mendudukkan diri di bangkunya. Mukanya ditekuk sedemikian rupa, sampai-sampai Shara yang duduk di belakangnya merasakan aura mencekam yang menciutkan nyali untuk sekadar berbasa-basi. Kesambet apa, nih, orang?

"Assalamualaikum, Ze," rupanya masih ada yang berani menegur. Zea menoleh, ternyata Izzati, teman sebangkunya sendiri. Oh, iya, Izzati 'kan cuma takut sama Allah. Pantas aura mencekam Zea enggak mempan.

"Eh, waalaikum salam," Zea seperti api kena siram air. Mati kutu di depan wakil ketua kelas yang tersenyum penuh karisma.

"Cie.. Habis menang lomba, kok, malah cemberut," goda Izzati. "Ngomong-ngomong, selamat, ya!" 

"M-makasih," Zea merespons ala kadarnya.

"Kalau ada masalah cerita, Ze, jangan dipendam, nanti jadi penyakit," nasihat Izzati.

Zea menunduk. Izzati, ya. Anak emas sekolah yang tidak diragukan kebijaksanaannya. Sudah menjadi rahasia umum, kalau ada masalah, Izzati jadi tempat mengadu. Dijamin, kurang dari sehari masalah terselesaikan. Kali ini pun, Zea rasa Izzati bisa membantu.

"Aku memang mau cerita, kok," perempuan dengan tahu lalat di pipi itu menghela napas. "Sebenarnya..."

Sebenarnya Zidan dan Zea adalah kawan akrab, partner dalam urusan lukis-melukis. Zidan itu satu-satunya teman yang bisa memahami pola pikir Zea: seni rupa! Kalau teman-teman lainnya cuma bisa terkagum-kagum melihat lukisan-lukisan terkenal, Zea dan Zidan bisa menganalisis teknik-teknik yang digunakan si pelukis. Kalau anak-anak bertalenta memilih dance sebagai bahan ujian praktik mereka, dan anak-anak biasa memilih zona nyaman: menyanyi, maka Zea dan Zidan kompak memilih seni rupa: melukis! Kalau anak-anak zaman sekarang sibuk googling berburu gambar-gambar unik untuk kemudian di-posting di media sosial, Zea dan Zidan lebih suka membuatnya sendiri untuk dinikmati sebagai koleksi pribadi. Zidan itu satu-satunya orang yang nyambung kalau Zea bicara soal manga, bukan sebatas jalan ceritanya, melainkan ciri khas dan teknik menggambarnya. 

Akan tetapi, semua mulai tak sama ketika mereka mulai mengikuti perlombaan-perlombaan. Mulanya mereka merangkak bersama-sama, dari juara harapan menjadi juara. Lalu menembus juara satu dan dua, dengan Zea beberapa poin lebih tinggi dari Zidan. Zea yang lebih berpengalaman tak sungkan berbagi ilmu. Sampai pada suatu perlombaan, Zidan berhasil mengungguli Zea. Lalu sekarang, entah kali ketiga atau keempat, Zidan lagi-lagi mengalahkan Zea. Sejak saat itu, hubungan mereka mulai merenggang. Zea merasa Zidan jadi lebih angkuh. Tadi pagi saja, Zidan sengaja menyindir kekalahannya dengan menyebut juara dua. 

Putih BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang