You Can Count On Me

30 2 0
                                    

Hai, aku Kayla Maulida, siswi SMPN 1 kelas IX 1. Sayangnya, kali ini aku tidak akan membahas ketiga sahabatku. Karena punya sahabat bukan jaminan selalu sekelompok waktu mengerjakan tugas. Seperti yang kusampaikan pada kesempatan sebelumnya, di bawah naungan sistem pendidikan Indonesia yang kadang tidak jelas ini ada beragam tipe guru. Guru Bahasa Indonesia kami termasuk tipe yang apa-apa sesuai nomor absen. Tempat duduk saat ulangan sesuai nomor absen, presentasi sesuai nomor absen, kerja kelompok pun sesuai nomor absen. Apesnya, A Yen bernomor urut 01, Azura 02, Corrine 06, dan aku 15, paling jauh dan tidak mungkin sekelompok dengan mereka.

Tadinya aku mau memberi judul tulisan ini: Nomor Absen Penentu Takdir. Tapi setelah kupikir ulang, yang berhak menentukan takdir hanya Tuhan. Lagipula, ini bukan tentang nomor absen. Ini tentang aku dan kelompok proyek Bahasa Indonesia-ku: Jendra (13), Hesti (14), Kinan (16), Nabila (17), dan Radi (18). Kejadiannya sudah lama, sih, kelas delapan akhir.

Jujur aku bingung dari mana harus memulai cerita ini. Dari saat kami memilih rumahku sebagai tempat berkumpul kah? Atau dari betapa sukarnya menentukan hari agar semua anggota bisa hadir? Atau mungkin aku beritahu intinya saja: Kelompok ini membuatku kesal dan tertekan.

Proyek Bahasa Indonesia kali ini adalah pembuatan Karya Tulis Ilmiah berupa makalah. Topik, tema, dan judulnya bebas. Jumlah halamannya juga tidak dibatasi, asal semua unsur terpenuhi. Masalahnya adalah aku merasa mengerjakan tugas kelompok ini sendiri. Topik, tema, dan judul aku yang menentukan. Aku juga yang membuat latar belakang dan tujuan. Aku bingung. Teman sekelompokku seperti tidak bisa diandalkan. Jendra hampir tidak pernah memberi bantuan atau setidaknya menyumbang saran. Kerjanya hanya melucu dan mengatakan yang aneh-aneh setiap pertemuan. Hesti dan Kinan lebih suka mengobrol atau bermain media sosial daripada membantu mengerjakan. Kalau pembagian tugas sukanya minta yang gampang. Radi, peraturan di rumahnya agak ketat, katanya susah dapat izin keluar, jadilah ia yang paling sering tidak datang. Lalu Nabila, mungkin yang paling bisa diharapkan. Kalau diberi tugas pasti ia kerjakan. Sayang, ia terlalu pasif dan pendiam untuk memberi pendapat atau saran.

Waktu yang diberikan satu bulan. Lima belas hari berlalu, baru selesai latar belakang. Aku pasrah dan menyerah. Daripada menunggu teman-teman mengerjakan bagian mereka, atau mengadakan pertemuan kelompok tetapi malah jadi ajang mengobrol atau main-main, lebih baik aku kerjakan semuanya sendiri. Aku mulai menyusun bagian pembahasan. Kami---ralat, aku---memilih tema toleransi antaragama. Rencananya, aku akan mengambil contoh tiga tempat ibadah yang berdiri berdekatan di Jalan Slamet Riyadi, jalan yang saban hari kulalui.

Mengerjakan sendiri? Tidak masalah. Aku yakin proyek ini akan selesai dengan baik. Nahas, ketika aku sedang semangat semangatnya mengerjakan tugas, aku jatuh sakit. Anemiaku kambuh, aku lemas, berdiri saja rasanya sulit. Seminggu aku absen sekolah, juga vakum dari mengerjakan tugas.

Baru sekarang aku bisa kembali menghadap komputer jinjing. Ketika kawan-kawanku membesuk.

"Hai, Kay! Masih hidup kan?" sapa Azura dengan kurang ajarnya.

"Assalamualaikum, Kayla. Kami bawa oleh-oleh, lho," sambung A Yen sambil menjinjing kresek minimarket.

"Kay, pinjam laptop, dong! Eh, lagi dipakai?" Corrine jauh lebih kurang ajar.

"Kayla lagi sakit kok main laptop?" tanya A Yen.

"Aku sudah sembuh tahu," sangkalku.

Azura menyentuh keningku dengan telapak tangannya. "Masih panas gini, kamu bilang sembuh. Istirahat, sana!"

"Iya, mending laptopnya pinjamkan ke aku saja," sahut Corrine.

"Enak saja! Lagian aku bukan lagi main game, aku lagi ngerjain tugas, tahu."

Putih BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang