Pukul 21.00 WIB
Lokasi: Rumah IzzatiIzzati panik. Jam menunjukkan pukul sembilan tetapi Izzat tak kunjung pulang. Pun pesannya tak satupun dibalas. Logikanya meminta untuk tenang. Izzat pasti bisa menjaga diri. Enam tahun di sekolah islami, Izzat harusnya tahu mana yang benar dan salah. Namun hati anak perempuan itu berkata lain. Nuraninya bilang bahwa ia tak boleh berdiam diri. Bukan begini sikap saudara yang peduli.
Izzati masuk ke kamar Izzat. Berantakan. Selembar kertas tergeletak di atas meja belajar. Seolah sengaja mengundang perhatian. Bunyinya: Aku pergi, jangan cari. Seketika, Izzati tahu apa yang harus dia lakukan.
*
Pukul 21.45 WIB
Lokasi: SMP Negeri 1 SumenepMungkin karena selama ini Izzat selalu menemani Yudhis, menghiburnya kala kesepian, mendengarkan saat ia butuh tempat curhat, Yudhis merasa berutang budi. Atas nama balas budi dan setia kawan, ia menemani Izzat menyusuri jalanan Sumenep, bahkan sampai bermalam di sekolah. Meski ia masih heran, mengapa tiba-tiba Izzat ngambek sama Izzati, dan memutuskan kabur dari jangkauan saudarinya itu.
Yudhis membuka snack, menyodorkannya pada Izzat yang tidak bisa tidur.
"Ngakan, Jat?"
"Tao bhâi ngko' lapar (Tahu saja aku lapar)." Izzat tidak menolak.
Brakk....
Pintu dibuka dari luar. Yudhis terkejut, Izzat apalagi. Matanya tak berkedip melihat siapa yang datang: Izzati dan kedua temannya!"Izzat, kenapa belum pulang?" Izzati bertanya lembut.
Izzat termangu. Lidahnya kelu.
"Mau nginep di sini, ya?" kata Izzati retoris. "Hati-hati, Kakak pulang dulu."
Izzati membalikkan badan, mengajak kedua temannya meninggalkan kelas.
Izzat masih diam seperti pikirannya baru dicabut dari ubun-ubun.
Diadatangdiadatangdiadatangdiadatangdiadatangdiadatangdiadatangdiadatangdiadatangdiadatangdiadatangdiadatang!
Demi Allah, Izzati datang!
Apa ini jawaban dari pernyataan serupa nazar yang ia lontarkan sebelumnya, kalau dia saudaraku, dia akan datang.
"Jat," Yudhis menepuk pundaknya pelan, mengembalikan kesadaran.
Izzat —yang kesadarannya sudah kembali— segera membereskan barang-barangnya. Mencabut obat nyamuk elektrik dari stopkontak. Memasukkan sarung. Mencangklong ransel. Dan bersiap pergi. Tidak, kembali.
"Mau ke mana, Jat?" tegur Yudhis.
"Pulang, Yud, pulang!"
*
Barangkali semua bermula pada saat itu.
"Izzat, kamu pulang sendiri, ya! Aku ada kerja kelompok di rumah teman."
"Hu-uh. Oke," jawab Izzat singkat.
"Nanti malam kamu ada ... "
"Oh, ya! Nanti malam ada temanku yang mau nginap. Nggak papa, ya?"
"Harus banget, ya?"
"Eh, kenapa? Kamu nggak ..."
"Boleh, kok, boleh."
Harusnya, melihat wajah masam dan jawaban ketus Izzat tadi siang, Izzati paham, bahwa saudara laki-lakinya itu sedang ingin diperhatikan.
*
"Sudah gitu doang?" Shara heboh bertanya.
Ayolah! Mereka ke sini malam-malam, boncengan tiga, memanjat gerbang, menyusuri kegelapan, demi memergoki Izzat dan kawannya, lalu pulang? Sudah? Tidak ada adegan marah-marah, atau momen haru, atau penyelesaian epik?
"Yang penting kita tahu mereka baik-baik saja," begitu kata Izzati.
"Yakin cuma itu alasannya?" selidik Dera dengan matanya yang meruncing.
"Sebenarnya aku-"
"Izzati!" panggil Izzat yang berlari mendekat.
Kedua saudara kembar itu berjalan bersisian. Shara dan Dera melambatkan langkah, memberi mereka kesempatan untuk menyelesaikan kesalahpahaman. Dan Yudhis, berjalan paling belakang, mengekor rombongan yang tidak jelas wujudnya itu.
"Maaf." Izzat memulai pembicaraan. "Maaf buat pergi nggak bilang-bilang, dan nggak bales pesan."
"Aku juga minta maaf," balas Izzati.
"Untuk?"
"Seharusnya saat Ayah-Bunda tidak ada, kita bisa menghabiskan waktu sebagai saudara. Bukan sibuk sendiri-sendiri."
Sepertinya masalah sepele ini berakhir dengan baik.
"Ngomong-ngomong, kenapa kau repot-repot mencariku? Bukannya di kertas itu aku bilang jangan cari?"
"Maksudmu kertas ini?" Izzati mengeluarkan kertas yang ditemukannya di kamar Izzat. "Kamu lupa? Aku ini penulis! Aku paham bahasa tersurat dan tersirat. Tulisanmu ini memang berbunyi jangan cari, tapi goresan grafit yang bentuknya mirip cakar ayam ini menjerit, cari aku!"
Izzat tersentak. Kagum, Izzati benar soal makna tersirat itu.
"Terus kenapa bisa tahu aku di sekolah?"
"Yah, anggap saja," Izzati tersenyum bangga, "firasat perempuan."
Izzat ikut tersenyum. Sepertinya Izzat tahu mengapa Ayah-Bunda memanggil Izzati Kakak. Secara umur, Izzati hanya lima menit lebih tua, tetapi secara mental, ia lima tahun lebih dewasa.
*
"Oh, ya? Gerbangnya kan dikunci. Gimana cara kalian masuk?"
*
KAMU SEDANG MEMBACA
Putih Biru
Teen FictionKarya ini dipersembahkan untuk kalian yang masih berseragam putih biru tapi bacaannya jauh mendobrak batasan umur. Saatnya kembali pada cerita-cerita klise, mimpi-mimpi lama, nasihat-nasihat usang; menutrisi jiwa, mempertajam pikir, mengasah kepekaa...