Hei, coba tebak, di neraka lebih banyak pria atau wanita? Wanita, kok bisa? Bukan! Bukan kerena para wanita malas beribadah. Bukan juga karena Allah enggak sayang sama para wanita. Melainkan karena sebuah penyakit yang kerap menjangkiti para wanita: gosip.
Di era modern ini, gosip sudah seperti pandemi yang menulari siapa saja. Dari remaja sampai anak-anak. Dari orang awam sampai pemuka agama! Tidak ketinggalan, kelas IX-3 pun demikian. Tiap hari ada saja yang digosipkan. Si anu begini, si dia begitu, Pak ini gini, Bu itu gitu.
Mending kalau yang dibicarakan fakta, jatuhnya ghibah, secara istilah artinya membicarakan tentang saudaramu (sesama muslim) yang dia tidak senang apabila mendengarnya. Kalau yang dibicarakan berita bohong, namanya fitnah. Nah, kalau yang dibicarakan bisa mengadu domba orang, namanya namimah. Tuh, 'kan, banyak sekali mudharat dari membicarakan orang. Coba, deh, buka Al-Hujurat ayat 12. Sudah puas makan daging saudara sendiri?
Untungnya, di kelas IX-3, ada seorang dai yang tidak pernah bosan menyeru, "Sudah, jangan ghibah!" Nur namanya.
Mendengar seruan ini, kelas IX-3 terpecah dari dua partai.
Partai pertama, yang ketika diseru menjawab,
"Iya, Ustadzah Nur..." terus ada yang ngambung,
"Subhanallah, salehah banget, deh," tapi kalau lupa, ya, ghibah lagi.Partai kedua, jawabannya hampir sama, tetapi di belakang mereka bilang,
"Sok alim banget, tuh, orang!"Dari partai kedua inilah, timbul berita simpang siur tentang Nur. Ada yang bilang, Nur itu antisosial. Waktu istirahat nggak pernah kelihatan. Ada lagi yang bilang, Nur itu berteman sama makhluk astral. Mulutnya sering komat-kamit dan sukanya duduk di pojokan. Paling parah, ada yang bilang, hati-hati Nur itu anak teroris. Ya Allah... apa mereka tak tahu kalau fitnah lebih kejam dari pembunuhan?
Menghadapi berita simpang siur ini, anak-anak partai pertama juga nggak bisa membantah. Pasalnya yang mereka bilang ada benarnya. Cuma Aulia yang bisa membantah. Cuma Lia –dan Allah– yang tahu, Nur kerap salat Dhuha waktu istirahat pertama, dan salat Zhuhur waktu istirahat kedua. Lia tahu, Nur juga sering puasa Senin-Kamis. Lia tahu, komat-kamit itu, Nur sedang membaca Al-Qur'an. Ya Allah... mengapa mereka tak pernah berbaik sangka?
Aulia itu teman sebangku Nur dari kelas VII dan tetap bertahan sampai kelas IX. Bukan, bukan karena tak ada anak lain yang mau sebangku dengan Nur. Melainkan Lia yang tidak mau kehilangan kesempatan mendapat siraman rohani setiap hari, mendengar suara yang mendekatkannya pada Ilahi, serta akhlak islami yang mengingatkannya pada mati.
Siapa bilang Nur itu antisosial? Sedangkan kalau Lia butuh sesuatu, Nur dengan senang hati membantu. Kalau Lia ajak berbincang, Nur dengan tangan terbuka menanggapi. Paling nanti ujung-ujungnya mereka membahas masalah agama. Gimana enggak adem, coba?
Pernah saat kelas VII dulu, Lia urung ke kantin gara-gara uang sakunya tertinggal. Saat itulah Lia pertama kali mendengar Nur melantunkan kalam-kalam Ilahi. Lirih, tetapi kalau mau menyimak, suara Nur merdu, sekali. Lia memberanikan diri menengok ke samping, cukup terkejut ia melihat Nur membaca dengan mata terpejam.
"Kamu hafizah Nur?" spontan Lia bertanya.
Nur menghentikan bacaannya, "Belum, Li. Masih berusaha," jawabnya.
Sejak saat itu Lia jadi sering mengikuti Nur. Lia jadi ikut rajin salat Dhuha, ikut salat Zhuhur berjamaah, dan rajin mendengar Al-Qur'an.
Nur selalu membaca Al-Qur'an dengan suara pelan di kelas. Pernah Lia memintanya mengeraskan volume, jawaban Nur, "Yang lebih pelan dari ini saja Allah dengar, kok."
Kalau dipikir-pikir, Nur itu bukan tipikal anak pendiam. Bahkan, kalau dibandingkan, justru Lia yang lebih pendiam. Nur tidak akan segan menegur bila mendapati hal yang menurutnya kurang tepat. Sampai hafal anak-anak IX-3 tentang nasihat- nasihat Nur, minumnya duduk; kalau janji jangan lupa bilang insyaAllah; kalau guru menjelaskan, dengarkan; Astaghfirullahal'adzim, kalimat thayyibah jangan dipelesetkan; ulangan nanti yang jujur, ya; kalian tadi ngobrol waktu berdoa, jangan diulang, ya...
Pernah Lia bertanya, "Nur, kalau mau hafal Qur'an, kenapa gak mondok aja?"
"Nur juga sebenarnya mau mondok, Li. Enggak tahu juga, kok, akhirnya malah masuk SMP 1. Qadarullah, kalau nggak masuk sini 'kan nggak ketemu Lia."
Adakalanya Lia iri. Iri melihat Nur yang hidupnya diliputi keberkahan. Iri melihat Nur yang sudah mengerti untuk apa ia diciptakan. Selama ini, Lia hidup ikut kata orang. Kata orang harus jadi orang baik, Lia enggak pernah neko-neko. Orang belajar, Lia ikut belajar. Orang main medsos, Lia ikut punya medsos. Kata orang, SMP 1 itu bagus, Lia masuk SMP 1.
Tentang ini, Nur pernah memberi nasihat, "Gak salah mengikuti arus. Tapi, jika arus itu mengalir ke arah yang salah, apa kamu akan tetap mengikutinya?"
"Karena itulah, dalam mengarungi kehidupan ini, kita harus punya pegangan. Pegangan ini disebut iman."
Jawaban Nur selalu membuat Lia terkesima. Makanya, Lia jadi semangat bertanya.
"Nur, kenapa sih, kamu agamis banget? Nggak takut dibilang fanatik?"
"Lho, Allah kan memerintahkan kita untuk masuk Islam secara kaffah, menyeluruh. Totalitas, agamis itu wajib. Lagipula, agama bukan sesuatu yang fana. Kenapa dibilang fanatik?"
"Tapi, Nur. Orang-orang jadi menganggap kamu berbeda. Mereka bilang kamu aneh. Penampilanmu, aktivitasmu, kamu bisa dikucilkan karena itu."
Nur tersenyum. "Kamu tahu, Li? Aku pernah membaca sebuah hadits. Aku lupa gimana bunyi persisnya. Intinya: Islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali dalam keadaan asing pula, maka beruntunglah orang yang dianggap asing itu."
"Orang yang dianggap asing?"
"Yaitu mereka yang berbuat kebajikan, sementara orang lain sibuk berbuat kerusakan."
"MasyaAllah, Nur..."
"Aku nggak tahu apakah aku termasuk orang yang beruntung, atau malah celaka karena amalku hangus oleh riya'. Makanya, aku minta tolong, Li. Seperti yang pernah dipinta seorang alim kepada sahabatnya, kalau kamu masuk surga dan tak ada aku di dalamnya, tolong mohonkan supaya Allah memasukkanku juga."
*
Karena yang langka, yang berharga.
![](https://img.wattpad.com/cover/218048262-288-k205113.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Putih Biru
Fiksi RemajaKarya ini dipersembahkan untuk kalian yang masih berseragam putih biru tapi bacaannya jauh mendobrak batasan umur. Saatnya kembali pada cerita-cerita klise, mimpi-mimpi lama, nasihat-nasihat usang; menutrisi jiwa, mempertajam pikir, mengasah kepekaa...