3 tahun kemudian.....
Berandalan. Adalah definisi yang tepat untuk seorang Arkan Xavier Pradana. Most wanted di kampus yang terkenal di Surabaya. Dengan berpakaian celana jeans sobek sobek, kaos putih dan jaket hitam. Tak lupa topi yang selalu dipakainya dan sepatu merah andalannya.
Tampilan seperti preman gitu aja banyak yang naksir bray...banyak yang ngejar juga. Tapi apalah daya Arkan bukanlah dirinya yang dulu yang selalu senyum dan menyapa balik orang yang menyapanya. Dia berubah menjadi urakan, nakal, dingin dan tak tersentuh.
Arkan juga menutup diri dari pergaulan, dia tidak ingin masuk ke lubang yang sama. Percaya atau tidak dia tidak punya teman sama sekali. Bukannya tidak ada yang mau berteman dengannya, tetapi banyak yang ingin menjadi pacarnya.
Baru satu tahun di kampus, banyak yang sudah mengenalnya. Apalagi dikalangan dosen yang sudah bosan akan kelakuan nakal Arkan yang melanggar aturan. Bahkan jika ada surat panggilan orang tua, dia tidak pernah memberikannya.
Para gadis ada yang terang-terangan mengenalkan diri bahkan meminta nomor ponselnya. Ada juga yang menjadi secret admirer nya dengan memberi surat, coklat, topi, kado dan lain lagi. Jangan tanya bagaimana sikap Arkan, dia tidak pernah menanggapi penggemarnya dan malah membuang semua pemberian fans-nya. Baginya itu hanya memenuhi loker nya saja dan berakhir di tempat sampah.
"Hai bro!" Tiba-tiba seorang cowok memegang bahu Arkan yang langsung di tepis keras olehnya.
"Woy santay! Lo mau apain barang ini ar? Mending buat gue aja."
Arkan sudah malas berurusan sama orang yang berusaha mendekatinya. Tanpa pikir panjang dia menyerahkan semua barangnya kepada cowok itu, lalu pergi begitu saja.
..⏰..
"Arkan!"
Seorang dosen memanggil namanya membuat Arkan malas karena sudah tahu apa yang akan terjadi. Arkan mengambil jurusan kesenian lebih tepatnya arsitektur. Entah dirinya lebih suka hal berbau seni, dia juga pandai menggambar.
Keinginannya sempat di tentang oleh orang tuanya, mereka hanya ingin Arkan belajar bisnis. Tapi Arkan tetaplah keras kepala, walau penampilan seperti preman tapi siapa sangka dia suka seni. Baginya belajar bisnis itu ribet, dan lebih mudah menggambar saja.
"Arkan! Sudah berapa kali saya bilang, jangan pakai topi di dalam kelas! Lepas topimu, kamu kira ini konser Rock N Roll apa?!"
Pusing sudah menghadapi mahasiswa seperti Arkan yang keras kepala, tidak ada sopannya sama dosen bahkan juga sering melanggar aturan. Kenakalan Arkan seperti membuat kampus kotor karena banyaknya sampah yang dia buang di sembarang tempat, ke kampus membawa gitar dan malah memainkannya di kelas saat jam berlangsung, bolos tiba-tiba dan tidak kembali lagi ke kelas, juga sering membuat rusuh dengan mahasiswa lain dengan berkelahi.
"Gak!" Hanya itu jawaban Arkan seperti biasa.
"Nanti sehabis ini kamu ikut ruangan saya!"
"Hm"
Tak sopan memang, tapi ya begitulah sifatnya semenjak dia berubah. Tapi Arkan tetap baik hati dan nurut sama ucapan dosennya, entah kali ini dia ingin sesekali menuruti ucapan dosennya. Arkan memandangi teman seruangannya yang sedang menatapnya sambil terheran, lalu Arkan pelototi dan mereka memfokuskan diri kedepan lagi. Dikelas itu diisi cowok dan cewek yang seimbang, mereka juga berminat kesenian seperti Arkan.
Cowok yang bisa dibilang jenius itu tidak mendengarkan ucapan dosen yang sedang menerangkan di depan. Dia sudah mempelajari semuanya dalam buku yang ia pinjam di perpustakaan dan semua isinya sama persis seperti yang di jelaskan. Ya tak ayal walau cap troublemaker kampus dia tetap menjunjung tinggi kemampuan otaknya, karena baginya tidak pintar makan dirinya tidak akan dihargai.
Arkan mengeluarkan earphone dan memasangkannya di kedua telinganya. Dia juga mengeluarkan buku gambar sedang dan mulai menggambar sesuatu disana. Dalam 20 menit gambar itu jadi walau hanya sebuah desain sederhana bentuk rumah yang minimalis namun terkesan mewah.
Brak!!
Pak Ripto yang melihat anak didiknya tidak memperhatikan segera di hampiri dan menggebrak mejanya dengan keras. Arkan tentu saja terkejut tapi segera dia menormalkan ekspresinya lagi. Ditatapnya guru itu dengan watados nya, hal itu membuat pak Ripto naik pitam.
"Kenapa kamu tidak mendengarkan saya Arkan!!"
"Udah tahu!"
"Tahu apa kamu? Cepat jelaskan kembali!!"
Arkan dengan santainya maju kedepan dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celananya. Pak Ripto duduk di kursi Arkan dan mulai mendengarkan. Arkan dengan santainya menerangkan materi itu lebih simple dan mudah di pahami oleh temannya. Dan itu sama persis seperti kesimpulan apa yang diterangkan pak Ripto tadi.
Semua orang bertepuk tangan dan makin mengagumi seorang Arkan. Pak Ripto mulai berdiri dan melihat buku gambar milik Arkan dimeja. Dia mengambilnya dan melotot melihat hasil karya indah dari seorang Arkan. Pak Ripto tidak menyangka ternyata Arkan sangat berbakat dalam hal kesenian, walau hanya sketsa desain sederhana tapi sanggup membuat pak Ripto, dosen tergalak tersanjung.
"Bagus Arkan, saya bangga sama kamu. Kamu berbakat!"
"Aduh bebeb gue keren banget!"
"Pak seharusnya yang jadi dosen Arkan aja pak, lebih simple dan mudah difahami. Jadi makin cinta!"
"Iya pak, bapak pensiun aja!"
Memang mahasiswa disini gak ada sopannya sama sekali pada dosen mereka. Ya memang begitulah serasa semakin hari penggemar Arkan semakin bertambah saja.
Materi telah usai disampaikan, yang berarti Arkan harus ke ruangan pak Ripto lagi. Memang dia berlangganan ke ruang dosen setiap minggunya bahkan setiap harinya untuk alasan yang ada saja. Dengan malas Arkan memakai tasnya hanya di pundak sebelah kiri. Dia melangkah keluar kelas dengan santai.
Banyak pasang mata yang mengarah kepadanya, Arkan hanya diam saja tanpa melirik sedikitpun. Banyak juga yang menyoraki namanya yang membuat Arkan jengah karena tidak suka terlalu diperhatikan. Arkan mempercepat langkahnya dan sampailah di ruang dosen tergalak itu.
Diketuknya pintu lalu masuk begitu saja tanpa menunggu jawaban dari dalam. Tanpa disuruhpun Arkan sudah duduk di kursi depan meja pak Ripto.
"Arkan kamu itu...."
"Time is money!"
Pak dosen langsung kicep saat Arkan mulai tak sabaran. Niatnya ingin memarahi karena tak sopan, malah pak Ripto yang dibuat kicep oleh kelakuan Arkan.
"Oke! Ada beberapa hal yang harus saya tanyakan. Kamu harus jujur sama saya Arkan! Kemana orang tua kamu?"
Arkan tak langsung menjawab, selain malas dia juga sudah bosan ditanya masalah orang tua yang tak pernah ada untuknya.
"Sibuk!"
"Jika kamu ada masalah kamu bisa cerita sama saya Arkan, saya akan mengerti masalah kamu."
Arkan mulai jengah karena tidak ada obrolan yang serius yang dikira. Dia hendak bangkit tapi pak Ripto menahannya.
"Oke saya gak maksa! Kenapa kamu selalu pakai topi didalam kelas?"
"Suka aja." Padahal itu bukan jawaban yang sebenarnya.
"Sekarang lepas topi itu!"
Karena nada pak Ripto naik satu oktaf membuat Arkan terkejut dan refleks melepas topinya. Pak Ripto terkejut melihat jelas goresan memanjang di dahi Arkan, mengetahui hal yang selama ini disembunyikan seorang Arkan. Arkan kembali memakai topinya dan hendak berlalu lagi.
"Arkan kamu juga harus membayar uang kuliah untuk semeter ini. Kalau tidak kamu akan mendapat surat panggilan lagi dan harus mereka yang datang."
Arkan berhenti sejenak dan menghela nafas berat kemudian kembali melanjutkan langkahnya menuju pintu ruangan dosen itu.
"Terima kasih pak!" ucapnya datar sebelum keluar.
⏰⏰⏰
Masih penuh rahasia ya..
Sorry for typo
And enjoy the story
KAMU SEDANG MEMBACA
ARKAN (Terbit)
Teen FictionTidak diperdulikan, sudah biasa Tidak punya teman, sudah biasa Dipandang buruk, sudah biasa Kesepian dan kesendirian yang selalu menemaninya Ini kisah Arkan dimana dia pernah memilih untuk mati karena hidupnya sudah tidak diharapkan, namun dia masih...