Malamnya Arkan telah siap dengan jaket jeans biru muda dengan kaos putih, celana ripped jeans navy, sepatu putih dan tak lupa topi hitam di kepalanya. Arkan mau berpenampilan bagaimanapun pasti kece lah, semua cewek juga bakal terhipnotis.
Dia sedang di ruang tamu rumah Vania, memang selalu seperti itu mereka berangkat bareng. Vania sedang siap-siap di atas, sedangkan Arkan ditemani Sinta.
"Makasih lho nak Arkan, kamu udah ajak Vania manggung dan alhamdulillah gajinya lumayan untuk simpanan Vania kuliah nanti!" ujar Sinta.
"Udah rezeki ibu sama Vania. Lagian Vania itu pekerja keras banget bu, dia semangat banget kalau ada job manggung sama Arkan!" ungkapnya.
"Ya gimana lagi ya nak, penghasilan ibu jualan kue juga nggak banyak. Beruntung banget hutang almarhum ayahnya Vania sudah lunas. Entah siapa yang melunasinya, pihak bank juga nggak pernah nagih lagi kesini. Siapapun orangnya ibu harap rezekinya dilancarkan dan diberi kesehatan selalu!"
Arkan mengamini doa Sinta dalam hati. Bagaimanapun dia masih ingin berbagi kepada orang banyak dalam keadaan sehat.
"Siapapun orangnya baik banget ya bu, udah bayarin semuanya. Apalagi yang nominalnya besar." Seperti memuji diri sendiri, namun Arkan hanya mengikuti alur pembicaraan dari Sinta.
"Iya nak ibu harap suatu saat bisa ketemu orang itu dan mengucapkan terima kasih secara langsung." harap Sinta.
Arkan mengangguk, "Ibu pasti akan ketemu orang itu dan pasti orang itu merasa senang bisa membantu ibu sekeluarga!"
Perkataan Arkan sangat yakin karena dialah orangnya. Dia juga membalas setiap ucapan terimakasih dari Sinta tapi dalam hati. Hal itu menimbulkan kecurigaan Sinta pada Arkan, karena Arkan sangat yakin mengucapkan itu.
"Kamu kok bisa yakin gitu? Jangan-jangan kamu tahu sesuatu ya?" selidik Sinta dengan mata menyipit.
Arkan mulai gelagapan tidak menyangka Sinta sangat peka terhadap gerak-geriknya. Dia sedang berpikir bagaimana menjawab pertanyaan Sinta dengan tepat.
"Kak Arkan ayo. Eh pada ngomongin apa nih kok serius banget?"
Huft, untung Vania datang menyelamatkannya. Gadis itu berpenampilan sederhana dengan celana jogger berwarna hitam dan hoodie berwarna biru muda. Vania tampak manis mengenakan itu ya memang warna hoodienya ia samakan dengan jaket Arkan.
Kenapa nggak pakai dress? Satu, karena Arkan melarang takut kaki mulus kekasihnya dilihat banyak orang. Dua, dia tidak terlalu punya banyak dress. Tiga, tidak terlalu nyaman pakai dress dan sudah biasa pakai pakaian santai. Ya memang Arkan seposessif itu tapi Vania yakin itu juga untuk kebaikannya.
"Mm kita pamit dulu ya bu?" Arkan bangkit berdiri.
"Iya bu Vania sama kak Arkan berangkat ya assalamualaikum!" Vania mencium tangan Sinta diikuti Arkan.
"Waalaikumsalam hati-hati Kalian!"
⏰⏰⏰
Taman adalah tempat yang dituju Vania untuk menyelesaikan masalah dengan Ivan. Di salah satu bangku di sana ada seorang cowok yang duduk sendirian. Dilihat dari punggungnya aja Vania tahu kalau itu Ivan. Dia melangkah menuju Ivan dan langsung duduk disebelahnya.
"Assalamualaikum van!"
"Eh waalaikumsalam van, ada urusan apa lo ketemu gue? Kangen ya? Yeilah biasanya langsung ke rumah!" Dengan santainya Ivan merangkul pundak Vania. Tak tahu saja dia Arkan tengah menahan ingin menonjok Ivan.
"Eh suka-suka aku lah. Ini ngapa tangan disini ni?"
Vania sangat tidak nyaman dengan posisi seperti itu. Vania tahu mereka dekat tapi kadang Vania risih sama tingkah Ivan. Lagian mereka bukan anak kecil lagi yang mandi masih bareng, sekarang mereka sudah remaja beranjak dewasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARKAN (Terbit)
Fiksi RemajaTidak diperdulikan, sudah biasa Tidak punya teman, sudah biasa Dipandang buruk, sudah biasa Kesepian dan kesendirian yang selalu menemaninya Ini kisah Arkan dimana dia pernah memilih untuk mati karena hidupnya sudah tidak diharapkan, namun dia masih...