Apotek adalah tempat singgah dua manusia yang sedang duduk di bangku depan. Bukannya hal mudah bagi Arkan untuk membawa gadis itu bersamanya, ternyata dia masih takut dengannya. Karena penampilannya yang seperti berandalan membuat gadis itu takut tapi tetap ikut sama Arkan karena dia sudah menolongnya.
Langit yang semula berwarna biru keemasan perlahan pudar dan di hinggapi warna kelabu yang semakin menghitam, membawa perasaan rindu Arkan kepada yang terkenang dan perlahan memudar karena atensinya beralih kenyataan. Bahwa dirinya sedang bersama gadis yang dengan beraninya mendobrak kembali dan menabuh genderang di jantungnya.
Arkan membawa kapas, obat merah dan plester untuk gadis itu yang ternyata terluka di pergelangan tangannya. Dia terkena cakar kuku preman itu yang sangat panjang. Arkan duduk di samping gadis itu bermaksud mengobati lukanya.
"Sini gue obatin tangan lo." Arkan mulai mendekat dan menarik tangan gadis itu pelan.
"A..aku aja," gadis itu menarik tangannya kembali tapi Arkan tetap menarik lagi dan mengobatinya pelan.
"Udah, gue gak akan nyakitin lo kok."
Gadis itu terus memandang wajah tampan Arkan di depannya yang sedang meniup tangannya. Dia akui Arkan sangat tampan walau terkesan berandalan, tapi cowok itu lah penolongnya. Kulit yang putih, hidung mancung, alis tebal, rahang yang tegas, bulu mata lentik, bibir merah alami sungguh pahatan yang terasa sempurna.
Gadis itu sangat beruntung bertemu cowok yang dia inginkan. Seorang penyelamat berwajah tampan, dia sampai tidak sadar telah tersenyum manis dan menatap wajah Arkan lama. Arkan seketika mengangkat wajahnya dan terpana akan senyum manisnya, Arkan terus memandang wajah cantik itu yang membuat jantungnya berlompat-lompat.
"Jangan senyum!" Suara berat Arkan terdengar merdu menyadarkan gadis itu dari lamunannya.
"Eh! Kenapa kak? Jelek ya?" Bahkan suaranya imut sekali.
"Takut diabetes senyum kamu terlalu manis." Entah kemana perginya sifat dingin Arkan, kenapa malah dia terkesan playboy karena menggombali cewek.
Entah perasaan apa gadis itu jantungnya tiba-tiba berdentum keras dan cepat. Pipinya juga memanas, jujur dia malu belum pernah sedekat ini sama cowok.
"Eh! Makasih ya kak udah nolongin Vania!"
Boom! Arkan sudah tahu namanya. Dia dengan cepat mengulurkan tangan bermaksud mengajaknya kenalan.
"Gue Arkan, anak kampus daerah sini."
"Revania panggil Vania aja, emang kakak ngambil jurusan apa?" tanya gadis itu sambil menerima uluran tangan Arkan.
"Gue ambil seni, tepatnya arsitektur, lo kelas berapa van?"
"Wah hebat banget kak, kelas arsitektur kan mahal, kalau aku kelas 12 kak."
Mereka terus mengobrol hingga bunyi ponsel Arkan membuat mereka berhenti sejenak. Arkan mengangkatnya dan seketika dia lupa nanti ada kumpul di basecamp sama anak-anak. Terpaksa dia harus mengantar Vania pulang.
"Van, gue anter pulang ya udah mau malem."
"Oh iya kak udah malem ya, ya udah ayo!"
Vania cukup sulit menaiki si merah, hingga harus memegang bahu tegap Arkan. Arkan melepas topi dan jaketnya kemudian diberikan kepada Vania.
"Buat apa kak?" tanya Vania bingung.
"Jaketnya buat nutupin paha lo dan topinya disimpan aja ya?"
Vania mengangguk dan meletakkan topi di dalam tasnya dan mengambil jaket menutupi pahanya yang kelihatan walau sedikit karena roknya cukup panjang.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARKAN (Terbit)
Genç KurguTidak diperdulikan, sudah biasa Tidak punya teman, sudah biasa Dipandang buruk, sudah biasa Kesepian dan kesendirian yang selalu menemaninya Ini kisah Arkan dimana dia pernah memilih untuk mati karena hidupnya sudah tidak diharapkan, namun dia masih...