A~29

586 31 0
                                    

Dua minggu sudah berlalu sejak terakhir kali Arkan menjemput Vania. Memang Arkan menjadi super sibuk hingga tak bisa meluangkan waktunya sedikitpun pada Vania. Tapi beruntung mereka masih bisa komunikasi lewat ponsel. Bukan apa, Arkan sibuk bolak-balik ke rumah sakit.

Bahkan sekarang Arkan sedang bersama ibu panti menemui dokter yang menangani penyakitnya. Di ruangan itu hanya ada mereka bertiga tidak ada siapapun lagi. Beruntung Lucky tidak lagi curiga kepadanya.

"Jadi gimana keadaan Arkan dokter?" tanya ibu panti.

Memang selama Arkan chek up rutin seminggu sekali ibu panti selalu menemani. Beliau memaksa agar Arkan pergi chek up bersamanya sekalian mengetahui perkembangan Arkan.

"Kondisi Arkan semakin parah bu, bahkan leukemianya telah di tahap stadium akhir. Kami harus melakukan tindakan sebelum sel kanker itu menggerogoti seluruh tubuh Arkan. Apalagi jika sampai ke otak itu sudah sangat fatal bu. Arkan harus menjalani kemoterapi setidaknya beberapa kali untuk melihat perkembangan lebih jauh," jelas dokter Irwan.

Ibu panti menatap Arkan kasihan, bahkan tubuh Arkan semakin kurus dan fisik Arkan menjadi lemah. Sementara Arkan masih mempertimbangkan saran dokter, memikirkan biaya kemoterapi yang tidak murah. Arkan dapat uang darimana bisa kemoterapi beberapa kali nanti.

"Gak bisa dirawat biasa aja dok? , bisa mati perlahan saya disini," celetuk Arkan.

Biasalah Arkan itu pintar tapi kadang di situasi seperti sekarang entah kenapa menjadi lemot. Padahal kan sudah tahu kalau leukimia itu berbahaya dan harus segera ditangani tapi Arkan seakan mengulur waktu.

"Hus kalau ngomong." Ibu panti menggeplak pelan lengan arkan.

"Gak bisa Arkan paling tidak kita lakukan 3 kali kemoterapi untuk bisa memantau perkembangan kamu!" ujar sang dokter.

"Kenapa Arkan? Ikut kata dokter aja ya, biar maksimal pengobatannya?" ibu panti masih berusaha membujuk Arkan.

Arkan menggeleng tegas, "gak bisa bu Arkan gak punya uang, biaya kemo kan mahal belum biaya yang lain. Kebutuhan Arkan juga masih banyak bu!"

"Pakai uang ibu aja nak. Uang dari kamu masih utuh ibu simpan dan jumlahnya juga banyak. Kamu pakai uang ibu aja ya nak, itu kan juga uang dari kamu!"

"Nggak bu, uang itu buat anak-anak, itu hak mereka. Kalau ibu tetep nglakuin itu Arkan marah dan gak mau ketemu ibu lagi. Kalau cuma rawat biasa insyaallah Arkan masih ada uangnya."

"Lagian uang dari donatur pejabat tinggi masih banyak untuk anak panti, uang yang kamu beri digunakan aja dulu untuk membantu pengobatan kamu!" Tak lelah, ibu panti terus membujuk Arkan.

Karena terus di desak, Arkan akhirnya mau untuk di kemoterapi lagi tetapi harus pakai uangnya sendiri, dia masih memiliki uang di tabungannya.

"Silahkan Arkan kamu bisa mulai besok untuk mengurus prosedurnya. Jangan lupa obat yang saya kasih harus rutin di minum. Dan hindari sesuatu yang bisa menimbulkan luka agar penyakitnya tidak bertambah parah." Dokter kembali mengingatkan, karena dia tahu Arkan sangat keras kepala.

Arkan mengangguk lemah, mengetahui harapan hidupnya yang tinggal sedikit lagi. Arkan hanya bisa pasrah saja, selama ini dia  sudah berusaha dengan berobat dan sering chek up ke dokter.

Arkan dan ibu panti menebus obat di apotek terdekat. Sekedar informasi, obatnya saja sangat mahal, Arkan hanya beli obat untuk dua minggu ke depan. Obat 15 butir seharga Rp. 3.750.000 sangat mahal kan? Belum lagi biaya lainnya rasanya Arkan udah gak sanggup lagi.

"Kamu bener masih punya uang Arkan?" tanya ibu panti setelah mereka keluar dari ruangan dokter.

Arkan mengangguk ragu, setengah tidak yakin. "Insyaallah masih ada bu Arkan kan juga kerja lagi nanti!"

ARKAN (Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang