A~7

714 54 17
                                    

Pagi-pagi sekali Arkan melamun di kamarnya, dia terus memikirkan berbagai hal. Dimulai dari kelalaiannya kepada panti asuhan, kesibukannya dan tentang Vania. Arkan memutuskan untuk turun dan sarapan bersama bibi, tapi diujung tangga dia melihat kedua orang tuanya yang sedang menatapnya dengan marah.

Kesalahan apa lagi kali ini di mata mereka? Bukan lagi sapaan hangat dari keduanya yang dia dapat, tapi tatapan marah yang dilayangkan. Arkan masih punya sopan santun hanya bisa menyapa keduanya dari ujung tangga hendak menuju dapur.

"Pagi ma, pa!"

Tak ada jawaban dari keduanya, bukannya mereka sepagi ini sudah pergi kekantor? Itu keheranannya. Mereka itu workaholic banget, pasti ada hal penting yang akan disampaikan kalau sudah seperti ini. Bahkan mereka tidak ingat kalau sudah punya anak yang harus diberi kasih sayang. Tapi Arkan sudah tidak butuh apapun dari mereka, dia sudah mendapatkan semuanya dari keluarga barunya.

"Sini kamu Arkan!" titah papanya tegas.

Arkan hanya mengangguk dan menurut dengan berjalan menuju ruang tamu. Sampai dihadapan papanya dia dikejutkan oleh kelakuan orang yang selama ini dia sebut papa.

PAAR!!

Arkan memegangi pipinya sebelah kiri dengan tangannya. Awalnya dia sudah berkaca-kaca tapi segera dikendalikan sesak yang menjalar dihatinya. Dilihat mamanya yang hanya menyaksikan saja tanpa mau membela. Orang tua macam apa itu, Arkan tetap santai dengan kilatan amarah dimatanya.

"Dasar anak gak tahu diri!! jangan permalukan nama keluarga!!" ucap Timo, papanya.

Arkan hanya mengeryit bingung tak mengerti, drama apalagi ini. Dilihatnya bibi yang sedang menatap Arkan kasihan, hendak membela tapi takut.

"Kamu itu keluarga pradana!! wajah kamu itu sudah terkenal di kalangan bisnis papa!! kamu jangan permalukan keluarga ini dengan kerjaan kamu itu Arkan!!" Lagi Arkan hanya bisa diam.

"Jangan pernah muncul di cafe saat ada kolega bisnis papa!! jangan manggung di cafe lagi!! kamu kira orang orang gak bakal tahu kalau kamu itu anak keluarga pradana?" Imbuhnya lagi.

"Kamu itu anak orang terpandang Arkan!! cari pekerjaan yang sederajat! jangan jadi penyanyi cafe yang gak seberapa itu! memalukan keluarga aja!!"

Arkan tetap diam dalam hati dia menjawab semua perkataan orang tua nya itu, memang apa salahnya bekerja di Cafe? Selagi halal akan Arkan lakukan. Kalau tidak menjadi penyanyi, mau jadi apa dia. Arkan sama sekali tidak ingin masuk kedunia bisnis seperti kedua orang tuanya. Mereka pikir selama ini Arkan kuliah uang darimana kalau gak hasil nyanyi?

Apakah pernah mereka memberikan Arkan uang lagi? Mereka hanya bisa mengatur, memarahi dan mencari kesalahan Arkan tanpa pernah memandang satu pun kebaikannya. Arkan lelah? pasti, sangat malah. Tapi dengan janjinya dia akan menepati untuk seseorang disana.

"Arkan pamit, mau sarapan ma, pa." Hanya itu yang bisa Arkan jawab.

Dia kembali kedapur dengan menghela nafas pasrah. Arkan sangat ingin melawan dan mengungkapkan semua rasa sakit yang ia pendam sendiri, tapi apalah jadinya dengan janji itu.

"Bi, temani Arkan makan ya?" pinta Arkan pada bibi.

"Tapi den tuan dan nyonya—"

"Gapapa bi, ini maunya Arkan."

Bibi dan Arkan makan bersama di meja itu, sesekali Arkan bermanja untuk diambilkan lauk dan sesekali disuapi bibi. Baginya ibu yang sebenarnya adalah bibi, sedari kecil tangan dia yang selalu menjadi tumpuan Arkan tumbuh besar. Dia tahu segalanya tentang Arkan, bahkan yang kedua orang tuanya tidak ketahui.

ARKAN (Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang