Tak nyaman itulah yang Arkan rasakan, sedari tadi tangannya sangat gatal ingin mencabut infus yang menempel di tangannya. Semua seakan berlebihan, padahal dia sudah tidak apa-apa tapi kenapa seakan dia sakit parah. Seakan Arkan lupa kalau leukimia tidak bisa disepelekan, bisa merenggut nyawa nya kapan saja.
Sedari tadi ibu panti selalu menjaganya, saat ini beliau sedang mengupas apel yang dibawanya untuk Arkan makan. Akan hanya menurut saja, sambil berpikir bagaimana caranya bisa keluar cepat dari neraka ini.
"Assalamualaikum!" salam dari seseorang membuat mood Arkan menjadi lebih baik.
"Waalaikumsalam! Masuk van."
Vania masuk bersama ibunya, tak lupa Arkan mencium tangan shinta.
"Kakak gak papa kan? Gak ada sakit yang serius kan? Gak amnesia kan? Masih inget Vania kan?"
Arkan terkekeh, sumpah melihat ekspresi Vania yang sedang mengkhawatirkan nya membuat Arkan gemas. Apalagi matanya mengerjap lucu menunggu jawaban dari Arkan. Tangan Arkan mencubit kedua pipi Vania yang membuat pemiliknya kesakitan.
"Aw! Kebiasaan deh, kalau ditanya itu di jawab kak!. Ibu panti kak Arkan gak papa kan?.
"Sebenarnya Arkan—"
"Sebenarnya kakak itu gak papa kan bu, kakak itu khawatir sama kamu. Kamu gak dilukai mereka kan? Terus gimana ceritanya kakak bisa ada disini?" Arkan segera menyela ucapan ibu panti, dia mengisyaratkan lewat mata yang dipahami ibu panti.
"Vania cuma diiket aja di kursi lalu gak diapa-apain kok kak. Tadi waktu Vania denger suara tembakan, Vania sudah berhasil lepasin diri. Lalu Vania langsung pencet musik sirine polisi dan mereka untungnya percaya lalu kabur. Vania langsung lihat kondisi kakak sama temen kaka itu. Vania telpon ambulance yang untungnya cepet dateng." Ceritanya panjang lebar membuat Arkan gemas.
"Wah hebat nya pacar siapa sih?" Arkan mengacak rambut Vania.
"Ish! Ya pacar kakak lah. Emang siapa lagi?" jawabnya kesal.
Karena merasa tidak ada yang perlu mereka bahas, ibu panti dan shinta mendadak ijin keluar. Hal itu semata-mata untuk memberi ruang dua orang yang sedang kasmaran di dalam. Ibu panti dan shinta mengobrol diluar tepatnya di kursi tunggu.
"Van suapin dong..."
Vania hanya melongo saja, ternyata Arkan yang seorang berandalan bisa manja juga ketika sakit. Sumpah dia manis banget kalau lagi manja.
"Sejak kapan kak Arkan manja? Punya tangan kan? Ga usah manja deh!" Vania hanya mengerjai Arkan saja, tidak benar-benar mengatakan itu.
"Kamu gak lihat tangan aku diinfus? Aku ngambek sama kamu kalau gak mau nyuapin." Arkan memalingkan mukanya.
"Hahaha...kakak lucu deh. Sering-sering aja sakit biar manja kan tambah lucu. Sini Vania suapin, mau bubur atau buah?"
Arkan melirik buah buahan, dengan peka Vania mengambilnya dan menyuapkan ke Arkan. Sesekali Arkan menghentikan tangan Vania dengan mengecupnya atau mengelus rambut Vania pelan.
"Kak diem deh, kapan habis apel nya kalau tangan aku dipegangin terus".
"Eh iya suapin lagi dong. Van kakak mau pulang sore ini, kamu habis ini bilang ya sama dokternya." Arkan teringat rencana the GB malam ini.
"Yakin udah gapapa? Eh temen kak Arkan yang di sebelah gimana keadaanya?" tanya Vania yang teringat dengan Lucky.
"Iya, itu pelatih kakak. Untungnya dia udah mendingan, kakak berhutang banyak padanya. Cepet gih panggil dokter biar kakak bisa pulang cepet!"
KAMU SEDANG MEMBACA
ARKAN (Terbit)
Teen FictionTidak diperdulikan, sudah biasa Tidak punya teman, sudah biasa Dipandang buruk, sudah biasa Kesepian dan kesendirian yang selalu menemaninya Ini kisah Arkan dimana dia pernah memilih untuk mati karena hidupnya sudah tidak diharapkan, namun dia masih...