19. Senyum yang Tak Bisa Dikagumi

995 133 62
                                    

Tiara menyeka air matanya. Meskipun ia sudah berusaha kuat – setidaknya selama dua jam sepanjang mengikuti les tadi – namun, tidak dapat dipungkiri bahwa perasaannya masih terluka setelah kembali berbicara dengan mamanya melalui sambungan telepon.

Tiara melihat ke arah jalan raya yang selalu dipenuhi oleh lalu lalang kendaraan. Saat itu, ia berada di sebuah Jembatan Penyeberangan Orang atau yang biasa disingkat dengan JPO di daerah Thamrin.

"Teh matcha kesukaan lo udah datang!" ujar Iqbal yang seraya membawakan dua cup minuman.

Tiara tersenyum tipis. Sementara itu, Iqbal memberikan cup teh matcha panas pada Tiara.

"Kita turun, yuk. Cari tempat duduk," ajak Tiara.

"Nanti aja, minumannya masih panas," sahut Iqbal.

Tiara menurut. Lalu, ia kembali melihat ke arah jalan raya. Hingga kemudian, matanya tertuju pada ondel-ondel yang sedang beratraksi di sebuah sudut jalan. Gadis itu pun menyunggingkan senyumnya. Entah mengapa, ia merasa sedikit terhibur melihat atraksi tersebut.

"Kapan lagi jadwal check up lo?" tanya Iqbal.

Senyum Tiara memudar dengan sendirinya setelah mendengar pertanyaan Iqbal. Lalu, ia memutar badannya hingga berhadapan dengan Iqbal yang saat itu berdiri di belakangnya.

"Rencananya sih besok. Tapi, kayaknya gue nggak bakalan dateng," jawab Tiara.

"Loh kenapa?" tanya Iqbal lagi.

Tiara kembali memperlihatkan senyumnya meskipun sedikit bercampur dengan nanar yang ia alami.

"Entah kenapa, semakin gue ke dokter, gue malah merasa semakin lemah. Lebih baik...semuanya berlalu dengan sendirinya," jelasnya.

Iqbal tersenyum kecil. Ia benar-benar tidak paham dengan jalan pikiran sosok yang ada di hadapannya tersebut.

"Bagaimana mungkin lo ngomong kayak gitu dengan kondisi lo akhir-akhir ini?" balas laki-laki tersebut.

Tiara menghela napas panjang. Ia sadar, jalan pikirannya memang aneh. Namun, ia selalu punya alasan untuk membuat hal itu masuk akal.

"Gue cuma butuh bersikap bodo amat aja, Bal. Penyakit ini timbul karena pikiran gue sendiri. Gue nggak benar-benar sakit," ujar Tiara. Ia berusaha meyakinkan Iqbal dengan tatapan mata teduhnya.

Iqbal tidak langsung menanggapi pernyataan Tiara. Ia terus menatap sosok di depannya tersebut. Sementara itu, Tiara mulai terlihat tidak nyaman dan mengalihkan pandangannya dari Iqbal.

"Lo nggak bisa nyepelein penyakit mental, Ti. Dampaknya bisa lebih berbahaya dari penyakit fisik karena orang bisa dengan mudah nyembunyiin hal itu. Lagipula...gue bener-bener nggak tega ngeliat lo harus nahan rasa sakit ini sendirian. Gue pengen lo bahagia," kata Iqbal dengan suara pelan.

Tiara kembali melihat ke arah Iqbal. Lalu, ia menyunggingkan senyum tipisnya. Untuk kesekian kalinya, ia berusaha menunjukkan pada Iqbal mengenai keadaannya yang baik-baik saja.

Sementara itu, Iqbal hanya bisa pasrah dengan jawaban Tiara. Untuk saat ini, ia tidak mungkin 'menceramahi' Tiara lagi. Gadis itu baru saja terluka setelah mendengar kabar bahwa mamanya mengandung seorang adik untuknya. Mirisnya, Tiara harus tahu hal itu di saat hubungannya dengan sang mama masih belum benar-benar membaik.

Hingga tiba-tiba, Iqbal melihat keberadaan seseorang yang tengah berjalan di trotoar sambil membawa plastik besar berisi belanjaan. Sosok remaja laki-laki itu beberapa kali terlihat sedang berusaha menelepon seseorang.

Iqbal tersenyum kecil. Matanya terus tertuju pada sosok yang saat itu tengah mengenakan kaos hitam dipadu dengan celana berwarna khaki. Hingga kemudian, kedua mata mereka saling tertuju.

Tanya HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang