Setelah beberapa hari bertindak seperti penjaga yang kelebihan menggenggam tangan, Seokjin kembali pasrah diajak Namjoon mengunjungi restoran 'kecil'nya di Seoul.
Yang sama sekali tidak didefinisikan sebagai 'kecil' dalam artian kualitas.
Yoongi memeluknya erat karena khawatir, Yoonji sudah pasti memberitahunya perihal kejadian itu. Hanya sebentar mereka melepas rindu sebelum Jungkook mengingatkan jadwal keberangkatan. Berkat bantuannya, kepindahan Soobin hanya butuh waktu beberapa jam. Sudah tak ada kendala yang menghalangi untuk pergi.
Namun, mengabaikan chemistry teman baiknya dengan teman Namjoon yang ramah dan manis untuk segera ke bandara, Yoongi dan lainnya seperti ada perjanjian tak tertulis untuk meninggalkan Seokjin berduaan dengan Namjoon.
Di balkon resto makanan barat dan Korea itu, Namjoon menjamu Seokjin. Berlatar pemandangan pagi perkotaan Seoul, mereka duduk berhadapan.
"Ya?"
Namjoon tak sungkan lagi meraih tangan Seokjin dan meremasnya pelan. "Akan butuh waktu, sampai kita bertemu lagi."
"Baiklah."
"Apa ... tidak ada penundaan beberapa hari?"
Seokjin tersenyum. Rona menawan itu kembali bersinar. Terima kasih pada kegigihan Namjoon untuk jadi perawat juga penasehatnya belakangan hari.
"Soobin harus mengejar ajaran baru. Bisa terlambat jika menunggu lagi. Kasihan dia."
Namjoon mengangguk, merunduk ke tangan mereka yang bertaut. Seokjin mendapati mimiknya lucu, jadi tertawa. Namjoon melebarkan mata. "Ada apa? Kenapa, Jin-ah? Bercanda, ya, tadi? Iya, 'kan?"
"Boleh aku melakukan sesuatu?"
Namjoon bergumam tanya, dan Seokjin sudah menekan pelan telunjuknya ke hidung Namjoon yang mengerjap bingung. "Akhirnya bisa juga."
"Apa yang ...," kalimat tertelan oleh tangkupan ke pipi. Meja mereka tidak lebar, cukup untuk melihat mata bulat indah Seokjin berbinar sedekat tiga jari. Tersenyum.
Manis sekali.
"Aku pun butuh waktu menumbuhkan perasaan ini. Jarak yang memisahkan nanti, bakal cukup membuatnya kokoh, bukan? Atau, kau mau sebaliknya, Joon-ah?"
Namjoon segera meremas tangan ramping di pipi. "Tidak, tidak. Jangan. Aku rela. Iya. Ini demi Soobin. Aku menyayanginya juga."
Seokjin mengangguk, mencubit pipi Namjoon sejenak sebelum melepasnya. Mereka lanjut menyeruput kopi buatan Namjoon dengan sepiring penekuk beri biru juga stoberi segar.
Seokjin memakan lahap dengan lenguh bahagia. Namjoon yang menyaksikannya, seolah yakin baru saja masuk surga.
"Jin-ah. Aku pasti bermimpi."
Mendengarnya, Seokjin segera mencubit hidung Namjoon. Menarik ke atas sampai empunya mohon diampuni. Seokjin melipat lengan ke atas meja. Alis yang bagus itu menyatu serius.
"Jadi, kau mau ini semua cuma mimpi? Oke." Seokjin mengedikan bahu, menyeruput kopinya dengan anggun, sedang Namjoon memelas kikuk. Rasanya menyenangkan melihat perubahan menggemaskan itu. Seokjin jadi ingin lebih sering menggodanya. Apa itu boleh?
"Jin-ah, bukan begitu maksudku. Aku hanya tidak rela kita cuma sebentar bersama-sama seperti ini. Demi Tuhan. Ini yang sudah kutunggu sekian lama dan membayangkannya akan ditambah lagi, aku ... aku boleh egois, 'kan?"
Seokjin mengernyit. "Jangan besar kepala. Kau mau apa?"
"Entahlah. Dari tadi aku memikirkan jika sebaiknya kau kubawa lari atau langsung melamarmu sekarang juga, Jin-ah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Twitterpated | NJ ✔
Fanfiction[BTS - Namjin] Cerita yang manis-manis gula. Tidak boleh banyak, tapi nagih jua. Sama sekali tidak berhubungan dengan burung biru sosial di sana. Ini ketika cinta melanda dirinya. Dunia hanya berporos padanya. Akankah sama-sama merasa? Atau malah, b...