-16- To Be a Good Wife

1.8K 178 27
                                    

To Be a Good Wife

Merry tak bisa menahan kegembiraannya ketika mereka tiba di villa di tepi pantai pagi itu. Ini liburan pertama mereka setelah menikah. Dino sengaja berangkat dini hari dari rumah mereka agar bisa menikmati sunrise pagi itu.

"No, dari villa kayaknya kita bisa langsung lihat sunrise dan sunset di lautnya," sebut Merry riang.

Dino mengangguk. "Kamu mau ke pantai dulu? Biar aku masukin barang-barang kita."

Merry menggeleng. "Ayo kita masukin barang-barang dulu, trus jalan-jalan bareng," ajaknya.

Dino hanya tersenyum dan mengangguk. Meski begitu, Dino membawa dua koper berisi pakaian mereka ke dalam dan hanya membiarkan Merry membawa tas tangan Merry yang hanya berisi dompet dan ponsel.

Ketika mereka keluar dari villa untuk berjalan-jalan, Dino memberitahu Merry, "Di villa nggak ada air minum atau makanan. Jadi, nanti kita sarapan di luar, habis itu kita belanja dulu, ya?"

Merry mengangguk, lalu menggandeng tangan Dino. "Ayo buruan ke pantai. Aku mau ambil foto dan pamer ke Syvia."

Merry menarik Dino ke arah pantainya. Betapa Merry sudah menantikan ini. Semalam ia tidak bisa tidur karena terlalu gembira. Ketika Dino bangun tidur dini hari tadi pun Merry sudah bersiap-siap.

Namun, semakin mereka mendekat ke pantai, semakin kencang angin yang berembus. Merry sampai bergidik kedinginan. Ia hanya memakai one piece dress selutut tanpa lengan, membayangkan di pantai akan sangat panas.

"Udah kubilangin pakai jaket," sebut Dino.

Merry merengut. "Iya, iya, aku ambil jaket dulu."

Merry sudah akan kembali ke villa ketika Dino menahannya. Pria itu kemudian melepas hoodie-nya dan memakaikannya ke Merry, melesakkannya melewati kepala Merry.

"Duh, No, apaan, sih?" protes Merry. "Ini kenapa dipakaiin ke aku? Kamu nggak kedinginan?"

"Nggak. Tadi mau aku lepas di villa, tapi kelupaan," jawab Dino.

"Hm ... untung tadi belum kamu lepas. Makasih, No. Kita emang saling melengkapi ya, No?" Merry tersenyum lebar.

Dino tersenyum sembari merapikan rambut Merry yang sepertinya berantakan karena Dino asal memakaikan hoodie-nya tadi. Bahkan kacamata Merry juga melorot. Namun, Merry tak akan protes. Karena saat ini, berkat Dino, Merry tak lagi kedinginan. Hangat.

"Baunya parfummu, No," sebut Merry.

"Kamu nggak suka?" tanya Dino.

"Suka, kok. Cocok sama kamu aromanya," ungkap Merry. Ia memeluk tubuhnya sendiri dan bau parfumnya menguar. "Ini parfum yang kamu pakai dari zaman SMA, kan?"

Dino tampak terkejut. "Kamu ... hafal?"

Merry tersenyum geli. "Aku kan, sering pakai jaketmu. Apalagi kalau pas nangis. Kan, lap-lapnya pakai jaketmu."

Dino tertawa dan mengangguk.

"Jaket-jaket korbanku dulu masih ada, No?" Merry penasaran.

"Menurutmu?" Dino malah balik bertanya.

Merry nyengir. "Ngapain juga aku pakai tanya. Udah pasti dibuang lah, ya? Udah berapa tahun, coba?" Merry mendengus pelan. "Tapi, kita sahabatan beneran udah lama banget. Hampir seumur hidup ya, No?"

Dino mengangguk, tatapannya lurus ke depan.

"Dan kita akan terus sahabatan sampai nanti, seterusnya, selamanya. Selama-lamanya. Iya kan, No?" Merry meminta persetujuan pria itu.

Dino menoleh pada Merry, lalu tersenyum. "Kalau itu yang kamu pengen, ya, kita akan kayak gitu. Selamanya. Selama-lamanya."

Merry terharu mendengarnya, lalu memeluk lengan Dino. "Dino jjang (terbaik)! Saranghae, No." Merry menyandarkan kepalanya di bahu Dino sembari mereka melanjutkan langkah ke bibir pantai.

Di depan sana, Merry akhirnya bisa melihat cahaya matahari. Perlahan sinarnya seolah mewarnai laut di hadapan Merry.

"No, I think I'm in love," ucap Merry dengan tatapan terpaku ke depan.

Di sebelahnya, didengarnya Dino membalas, "Me too."

Merry tersenyum. Tentu saja. Siapa yang tidak jatuh cinta dengan pemandangan seindah ini?

***

Dino tersentak bangun ketika mendengar suara gedubrakan barang jatuh dari arah dapur. Dino yang tadinya tertidur di sofa, seketika bangun dan pergi ke dapur. Dino terkejut ketika melihat panci yang jatuh di lantai dengan air berceceran, sementara Merry memegang tangan kirinya yang meneteskan darah dari ujung jarinya.

Dino bergegas menyambar tissue di meja dapur dan menggunakannya untuk menutup jari Merry yang sepertinya tergores pisau. Merry tampak shock dan siap menangis.

"Sakit, Mer?" tanya Dino.

Merry menggeleng, tapi matanya berkaca-kaca.

"Pasti perih, kan?" Dino menatapnya penuh pengertian.

Merry mencebik sembari mengangguk.

"Nggak pa-pa, nangis aja kalau sakit," Dino berkata.

Namun, Merry menggeleng sembari merapatkan bibir, berusaha menahan tangisnya.

Dino lalu menuntun Merry meninggalkan dapur. Dino meninggalkan Merry sebentar untuk mengambil kotak obat di mobil. Ketika Dino kembali, ia sempat melihat Merry menghapus ujung matanya. Dino pura-pura tak melihat itu dan mengobati luka Merry sebelum menutupnya dengan plester.

Bahkan setelahnya pun, Dino tak mengatakan apa pun, tak bertanya apa pun. Ia hanya duduk di sebelah Merry sembari meniup tangannya yang terluka yang sudah tertutup plester.

"Aku pengen jadi istri yang baik buat kamu, No," ucap Merry kemudian.

"You already are," jawab Dino.

Merry menggeleng. "Ini nggak adil banget. Kamu udah ngelakuin semuanya buat aku, tapi aku masak buat kamu aja nggak bisa. Aku malah nyusahin kamu terus, No. Aku sedih ..." Merry menunduk.

Dino ikut sedih mendengar kata-kata Merry itu. Dino menangkup wajah Merry dan mempertemukan tatapan mereka.

"Mer, aku bersyukur karena kamu adalah istriku," Dino mengaku. "Kamu tahu sendiri, aku orangnya kaku, nggak bisa mengekspresikan diri dengan baik, nggak romantis. Kalau bukan kamu, mana ada cewek yang betah sama aku? Dan aku berterima kasih karena kamu bersedia jadi istriku, Mer," ucapnya tulus.

Merry menatap Dino penuh keharuan. "No, that's so sweet," ucap gadis itu. "Tuh, kamu juga bisa romantis, kan?" Merry tersenyum haru sembari menangkup wajah Dino juga. "Makasih juga buat kamu, No, karena udah bersedia jadi suamiku. Aku pengen jadi istri yang lebih baik buat kamu." Merry tampak berusaha keras menahan isaknya. "Aku akan rajin belajar masak dan nggak gampang nangis lagi. Aku juga ..."

"Mer," Dino memotong kalimat Merry. Dino mengetuk kening Merry lembut dan tersenyum. "Aku bisa nerima kamu apa adanya. Kamu nggak perlu berubah. Cukup jadi dirimu sendiri."

"Tuh kan, No, kamu tuh bisa sweet," balas Merry.

Dino tersenyum. "Nggak tahu kenapa aku cuma bisa kayak gini kalau di depanmu. Karena ini kamu," akunya.

Merry menatapnya iba kini. "Ya, karena kita udah lama banget bareng. Mungkin kamu ngerasa nyaman sama aku. Tapi, tenang aja. Nanti kalau kita sama-sama ketemu orang yang kita cinta dan berpisah, aku akan bantuin kamu. Kita kan, sahabat buat selama-lamanya, No." Merry tersenyum.

Dino ingin membantah itu, mementahkan kata-kata Merry. Berpisah? Apa hanya itu masa depan mereka yang dipilih Merry? Tak bisakah ... Merry jatuh cinta padanya saja?

Namun, Dino hanya bisa terdiam dan mengangguk.

***

My Bestfriend, My Husband (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang