Mimpi yang Harus Dibuang
Dino mengecek jam. Sudah lewat jam makan siang, tapi Pram belum juga kemari. Dino sudah akan menghubungi Pram ketika terdengar ketukan di pintu ruang kantornya dan Pram masuk. Pram tidak sendiri. Di belakangnya ada seorang gadis berambut pendek sebahu yang sudah dikenalnya, Wanda.
"Long time no see, No," Wanda berkata. "Dan aku nggak mau ngucapin selamat buat pernikahanmu. Kamu tahu aku masih suka sama kamu."
Dino menghela napas. "Dan kamu tahu jawabanku. Langsung aja, kenapa kamu muncul dan bikin masalah di kantorku?"
Wanda mengedik cuek, lalu duduk di sofa ruangan Dino. Dia menatap sekeliling ruangan. "Kamu mutusin ngebuang mimpimu buat duduk di ruangan ini seharian?" ucapnya sinis. "Ini bahkan bukan perusahaanmu, tapi perusahaan keluarga istrimu."
"Jangan ngalihin pembicaraan," putus Dino.
Wanda menelengkan kepala. "Istrimu itu pasti sama sekali nggak tahu apa yang udah kamu korbankan buat nikah sama dia, kan?"
Dino mengernyit.
"Kamu ngebuang mimpimu demi dia?" Wanda mendengus sinis.
"Mimpiku adalah bikin Merry bahagia," tandas Dino.
"Istrimu benar-benar egois. Dia nggak mencintai kamu, dia nggak tahu kamu cinta sama dia, dia juga nggak tahu kalau dia udah bikin kamu harus membuang impianmu sendiri."
"Berhenti ngomongin hal yang kamu nggak tahu dan jelasin aja alasanmu ke sini dan bikin keributan ini," ketus Dino.
"Aku bisa wujudin impianmu," Wanda berkata. "Kalau kamu mau sama aku, kamu bisa bebas ngelakuin apa yang kamu pengen. Kamu nggak perlu terjebak di perusahaan kayak gini."
Dino menghela napas, lalu menoleh pada Pram. "Bawa dia pergi dari sini. Kalau dia ngulangin kejadian kemarin, laporin ke pihak berwajib," Dino berkata.
Pram mengangguk, lalu menghampiri Wanda. "Aku antar kamu keluar."
Wanda mendengus kesal, lalu berdiri dan menatap Dino tajam. "Kamu akan menyesal, No."
Dino memalingkan wajah tak peduli. Begitu Wanda meninggalkan ruangannya bersama Pram, Dino menghela napas berat. Ia harus memastikan Wanda tak menemui Merry dan tak lagi mengganggu Dino.
Memikiran Merry, Dino jadi khawatir akan gads itu. Apa dia baik-baik saja di rumah? Dino mengambil ponselnya dan menghubungi Merry.
***
Merry tak berusaha menahan tangisnya ketika tokoh wanita di drama yang ditontonnya menangis karena harus berpisah dengan tokoh prianya. Lalu, ia mendengar ponselnya berdering. Masih sambil menangis dan tatapan tertuju layar, Merry mengangkat teleponnya.
"Halo?" Merry menyusut hidungnya, masih sesenggukan.
"Mer? Kamu nangis?" Suara itu ... Dino. "Kamu kenapa?" Dino terdengar cemas.
"No, aku cuma ..."
"Aku pulang sekarang. Kamu jangan ke mana-mana," kata Dino cepat sebelum memutus telepon.
Merry melotot kaget. Ia mulai panik. Apa?
Merry menelepon Dino, tapi dia tak mengangkatnya. Dino pasti buru-buru pergi. Merry ingin menelepon lagi, tapi ia khawatir akan membuat Dino semakin panik, mengingat pria itu pasti dalam perjalanan.
Merry segera menghentikan drama yang ditontonnya, lalu berdiri. Ia menatap sekitar dengan panik, lalu berusaha menenangkan diri. Okay. Pertama-tama ... hapus air mata. Merry menghapus wajahnya yang sudah basah karena air mata. Ia segera keluar dari home theatre dan pergi ke kamarnya. Merry berlari ke kamar mandi dan mencuci muka, lalu duduk di depan meja rias, memastikan tak ada bekas menangis di wajahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Bestfriend, My Husband (End)
Storie d'amoreFrom bestfriend to husband. Begitulah hubungan Merry dan Dino. Berawal dari perjodohan mereka, persahabatan mereka sejak TK merenggang. Namun, pada akhirnya mereka berakhir menjadi pasangan suami-istri. Merry berusaha memperbaiki persahabatannya de...