Part 6 - Patah Terhebat

56 8 28
                                    

Jangan lupa tinggalkan jejak guyss!



Jantungku... Oh tidaakk... Dia mau lompat dari tempatnya. Aku tidak percaya dengan apa yang terjadi sekarang ini. Makhluk Uranus peka juga ternyata. Walaupun cuek setengah mati.

"Fix, aku sukaa si makhluk Uranus yang satu ini" ucapku girang dalam hati.

"Pipi Lo merah, Ca" celetuk Jeje saat kami tiba di meja.

Seketika, Kak Agam dan Dareel mengarahkan pandangannya kepadaku.
Aku langsung menutup pipiku dengan kedua tangan.

"Uap bakso nya panas, Je. Kena muka jadi merah gini" aku beralibi.

"Yang bawa nampannya kan dia, bisa-bisanya elo yang kepanasan." Kata Jeje dengan ekspresi muka yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Ahh, si Jeje. Kan aku jadi malu.

"Lo udah liat Mading?" Sambungnya.

"Belom, ada apa emang?"

"Kata kak Tommi, pembagian kelas udah ditempel."

"Nanti deh abis makan" lanjutku sambil menusuk bakso yang masih mengeluarkan uap panas. Moga saja aku sekelas dengan makhluk planet. Biar lancar PDKT nya.

***

Mading sekolah masih dikerubungi oleh anak kelas 10. Sampai tidak ada celah untukku. Dengan sekuat tenaga, aku menerobos maju ke depan. Karena tubuh mungilku ini tidak bisa melihat Mading dari belakang.

"Misiiii misiiiii" kataku sambil terus berjalan. Meski banyak yang berdecak, aku tidak perduli.

Begitu sampai depan, aku mencari namaku. Aku masuk kelas 10 IPA 3, bersama dengan Jeje. Giliran aku mencari nama Dareel. Ahh, kita berpisah. Dia di kelas 10 IPA 1. Tempat berkumpulnya siswa-siswa pandai. Huufftt, aku menghela napas, membuang dengan kasar. Tapi aksi PDKT ku harus tetap berlanjut.

***

"Caa, molly manaa?" Teriak Mocca membuka knop pintu kamar.

"Kok baru pulang Mo? Rapat?" Tanyaku sambil menggendong Molly. Heran sama ni kucing. Majikannya siapa, lengketnya sama siapa.

"Huumm" jawabnya singkat mengambil alih Molly dari gendonganku.

"Uuuhhh tayangkuuu" Mocca mengelus kepala Molly hendak keluar dari kamar.

"Moo, tunggu duluu" ucapku mencekal pergelangan tangannya. Lalu menariknya duduk di pinggir kasur.

"Apa Ca?" Mocca menatapku.

"Kaya nya aku suka deh sama Dareel."

"Dareel siapa?" Tanya Mocca mengerutkan dahi.

"Si hoodie pink." Ucapku melengkungkan bibir.

"Kenapa kok suka?"

"Banyak kejadian hari ini Mooo," teriakku girang. Sumpah, ini baru pertama kalinya aku merasakan hatiku berbunga-bunga.

"Buruuan cerita, kepo gue" ucap Mocca penasaran.

"Kaan t--ttaadii p-paas..." Sengaja ku perlambat bicaraku biar Mocca tambah penasaran.

"Caa, cepet ihhh" ia mencubit pinggangku.

Aku pun menjelaskan kronologi dari berangkat sekolah sampai kejadian yang di kantin. Mocca sepertinya mendengarkan penjelasan ku dengan seksama. Aku juga curhat tentang Kak Agam yang memaksa untuk menemaniku menjalani hukuman karena telat.

"Iya, tadi gue liat Agam ikut-ikutan jalan jongkok. Kurang kerjaan banget jadi orang." Sambung Mocca setelah mendengar semua ocehanku.

"Mo, Mooo, kak Agam tadi juga bilang katanya lebih cantikan aku dari pada kamu, Mo?" Ucapku nyengir.

"Halaahhhh, awal kalo sampe baper Lo."

"Modusnya dia aja tuhh." Sambungnya.

"Heeumm Mo,"

"Waitttt, tadi ngapa di koridor?" Sambungku setelah ingat kejadian yang di koridor sekolah yang Mocca mengabaikan panggilan ku.

"Kan gue udah bilaangg, jangan panggil-panggil guee. Lo buat ulah muluu deh Ca."

"Iih, Mooo. Kan tadi aku udah bilang, gara-gara ketemu Dareel di jalan mangkannya telaatt. Nyungsep juga malahan. Padahal aku udah pasang 2 jam alarm sekaligusss biar ga kena hukuman. Tapi tetep aja kena. Kesel banget." kataku mengulang apa yang sudah ku katakan sebelumnya.

"Yang salah siapa? Orang kalo bawa motor tu haeus fokus liat ke depan. lah elo, pakek noleh ke belakang segala."

"Untung aja, motornya nggak kenapa-napa ya Moo, aku bersyukur bangeet." Kataku kemudian berkaca-kaca. Motor itu adalah motornya Papa. Motor yang dulu selalu dipake keliling komplek tiap sore. Aku, Mocca, Papa. Bertiga. Kenangan dulu, sulit banget buat dilupain. Tapi sakit kalo diingat.  Sakit menerima kenyataan kalo kenangan bareng papa dulu nggak akan bisa terulang lagi. Baik sekarang, nanti, ataupun di masa depan. Papa terlalu berharga buat aku.

Mangkannya waktu papa pergi, saat itulah aku merasakan patah sepatah-patahnya. Cinta pertama ku pergi untuk selama-lamanya. Tapi hidup harus tetap berlanjut kan? Semoga Papa liat pertumbuhan anak-anaknya dari atas sana.

Aku terbiasa menceritakan apa yang ku alami ke Mocca. Jadi, Mocca tau segala sesuatu tentangku. Tidak ada yang terlewat sedikitpun.

"Udaaahh, nanti Papa juga ikutan sedihh." Ucap Mocca memelukku.

"Eehhh, Caaa. Menurut pandangan gue, dia orangnya baik. Mendingan Pepet aja terus, jangan sampe lolos" sambungnya mengalihkan pembicaraan sebelum beranjak keluar kamar.

"Siapa?"

"Si hoodie pink" ucapnya melenyap dari balik pintu.

"MOOO" teriakku.

"APALAGI CAAA?" Balasnya berteriak juga.

"MOLLY KETINGGALANN NEEHHH, GIMANA SIHHH."

"HAAA IYAA."

Mocca balik lagi menyembulkan wajahnya di balik pintu.

"Ni kucing kalo ditinggal majikannya, kok nggak ngintil sihh Mo? Heran dehh" ucapku menggelitik perut Molly.

"Gue juga heran banget sama Molly. Padahal gue yang sering kasih makan, gue yang mandiin, nyisirin, ngajak jalan, ehhh lengketnya sama elo."

"Terima nasib aja deh Moo."

"Sini, biar aku adopsi aja si Molly." Sambungku.

"Enak ajaa, ogah banget" ucap Micca seraya mengangkat dan menggendong Molly dari pangkuanku.

Aku menyemburkan tawa. Sementara Membawa Molly keluar dari kamar.




***


Hollaa, assalamualaikum guyyss. Makasih udah mampir❤
Jangan ninggalin jejak yaa, ku tunggu nihhh. Makasih sekali lagii. Salam sayang dari emaknya micca❤️

MICCA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang