Part 22 - bolehkah menyerah?

30 4 0
                                    

"Sayangnya, nggak. Jika itu berhubungan dengan cewek ini," ucapnya lempeng.

Setelah itu, Dareel kembali menarik pergelangan tanganku. Meninggalkan Kak Agam yang masih berdiri di tempatnya.

Dareel mengajakku ke kantin sekolah. Sebelumnya ia mengantarku ke meja tempatnya biasa menyantap makanan siang dulu, kemudian berjalan ke arah kasir untuk memesan makanan.

"Makhluk Uranus kesambet apaan, dah?" Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri.

Tidak lama, Dareel membawa 2 mangkuk yang masih mengepul dan 2 gelas es jeruk.

Meletakkan nampan di meja, kemudian duduk di depanku.

Aku mengulurkan telapak tanganku, menempelkan di keningnya. Memeriksa apakah ada yang tidak beres. Tapi, aku rasa dia baik-baik saja. Apa yang salah?

Dareel menepis tanganku. Dahinya mengkerut. Alisnya menyatu jadi satu.

"Reel, kamu sakit?" tanyaku.

"Nggak!"

"Terus?"

"Apa?"

"Kenapa?"

"Apanya?"

"Kamu pinter nglambungin aku, Reel. Udah sampai ke awan, terus kamu banting aku ke bumi sekeras-kerasnya."

"Bisa jelasin maksudnya apa? Supaya aku bisa ngendaliin diriku sendiri" ucapku sembari mengaduk Bakso yang masih mengeluarkan asap.

"Nggak penting. Makan tuh, jangan lupa ganti duitnya" ucapnya lalu memasukkan bakso ke mulutnya.

Aku mengerucutkan bibirku. Tidak berminat dengan semangkuk bakso di depanku.

"Reel, kalau nanti aku gagal, kita masih bisa kayak gini, kan?"

"Jangan harap."

"Reel, plis. Runtuhin tembok raksasanya. Mustahil aku bisa masuk kalau bukan kamu sendiri yang buka gemboknya. Kasih aku kesempatan buat berusaha."

"Gue udah kasih kesempatan, kan? Lolos seleksi pertukaran pelajar."

"Kamu udah pernah bilang sama aku kan, Reel? Kemungkinan aku lolos berapa persen? 0,0001 persen. Jadi kamu udah tau, aku nggak mungkin lolos, Reel. Sedangkan waktu aku tinggal sebentar lagi. Ujian kenaikan kelas sudah di depan mata dan aku nggak ada peningkatan sama sekali."

Dareel menghentikan aktivitas mengunyahnya. Meneguk segelas es jeruk sampai kandas. Lalu pergi meninggalkanku yang masih ingin mengutarakan unek-unekku.

"Kamu selalu begitu. Tidak pernah mau menuntaskan apa yang sudah dimulai. Pergi dengan berjuta tanya" ucapku lirih menatap nanar punggungnya yang kian menjauh. Tak lama, aku menyusulnya keluar kantin. Meninggalkan semangkuk bakso yang sudah dingin dan es jeruk dengan es batu yang sudah mencair sempurna. Bukan untuk mengejarnya. Aku hampir menyerah. Sulit untuk menjangkaunya.

***

Aku berjalan lunglai ke kelas. Moodku sudah rusak sejak tadi pagi.

"Kamu bodoh, Ca." Pikiran itu terus saja berputar-putar di kepalaku. Tidak mau pergi. Meskipun untuk satu detik saja. Rasanya mau aku copot kepala yang tidak berguna ini. Ehh, tapi kalo manusia nggak punya kepala, serem banget. Tidak, tidak, tidak.

Memencet tombol lift. Menekan lantai tiga. Seseorang menahan lift dengan kedua tangannya supaya tidak tertutup.

Cewek berambut panjang, yang berantem dengan ku pagi tadi tersenyum miring ke arahku. Aku melihatnya acuh.

Pintu lift tertutup.

"Lo ada hubungan apa sama Dareel?" tanya Kak Viola langsung.

Deg. "Siapaa lagi iniiii?" Geramku dalam hati.

"Bukan siapa-siapanya."

"Gak mungkin."

"Emang kenapa?" tanyaku penasaran.

"Tadi gue liat, dia ngerapiin rambut Lo."

"Terus?'

"Nabrak kali, teras-terus."

Kenapa harimau betina ini bisa mengenal Dareel? Kalau gebetan, tidak mungkin sekali. Soalnya, tapi pagi aja dia ngelabrak aku perihal Kak Agam kemarin.

"Kakak kenal sama Dareel?" tanyaku.

Ting. Lift terbuka, tanpa menjawab pertanyaan dariku, Kak Viola ngeluyur pergi gitu aja. Emang resek sekali tu kakak kelas.

****

Sesampainya di kelas, aku langsung duduk ke bangku. Disana sudah ada Jeje yang sedang membaca buku. Rajin sekali.

"Ca, Lo baik-baik aja kan?" tanya Jeje menutup bukunya.

"Hmm" aku bergumam lirih.

"Lo bohong, Ca."

"Lo nggak sedang baik-baik aja, kan? Gue tau Lo sedang ada masalah. Terbaru tadi pagi sama kakak kelas" sambungnya.

Aku menyemburkan tawaku. Jeje tahu sekali dengan masalahku akhir-akhir ini.

"Selagi bukan aku yang memulai, itu bukan masalah Je."

"Ca, Lo nggak bisa bohongin Gue ya! Dilihat dari raut muka Lo aja, udah kebaca kalo Lo lagi ada banyak masalah. Cerita sama gue, Ca. Jangan buat gue ngerasa nggak berguna jadi sahabat Lo!"

"Oke, Je. Baikk. Aku bakal cerita."

"Tapi nggak sekarang, dan nggak di sini juga" sambungku.

"Oke, nanti habis pulang sekolah. Lo punya utang sama gue."

"Ca, ikut gue bentar yuk" Moana tiba-tiba berdiri di samping kursi tempatku duduk.

"Kemana?"

"Keluar bentar. Ada yang mau gue omongin sama kamu."

"Tentang?"

"Ada pokoknya. Ikut aja yukk" paksa Moana.

"Eits, tunggu. Gue ikut boleh nggak?" tanya Jeje.

"Nggak boleh, Je. Ini masalah hati" terang Moana kemudian terkekeh.

"Begitu ya?" Jeje tampak kecewa.

Apa lagi ini? Masalah hati? Kenapa harus dengan aku? Tanda tanya besar tergambar di otakku.

Apa mungkin?

****

MICCA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang