Part 32 - Kabar Baik

32 4 0
                                    

****

Dua tahun sudah, Dareel sama sekali tidak pernah pulang ke Indonesia. Sudah sering kali aku tanya, namun jawabannya 'iya, gue pasti pulang. Tunggu aja'.  Selalu begitu. Tidak pernah ada jawaban lain.

Memangnya dia tidak rindu denganku, apa? Padahal rinduku padanya sudah menggunung. Memangnya apa lagi, obat rindu selain temu?

Aku termenung. Duduk di tribun lapangan utama. Fokus ke layar ponsel. Memandangi potretku dengan Dareel dua tahun yang lalu, waktu di bandara. Satu-satunya foto yang ku punya.

Dia lagi apa sekarang?

Sudahkah dia ujian?

"Angin, sampaikan ke Dareel, aku rindu padanya" bisikku pada angin yang berhembus. Aku tersenyum hambar.

"Ambil nih" ucap Jeje memberikan sesuatu kepadaku.

Aku mendongak, melihat apa yang ada di tangannya. Kemudian mengambilnya.

"Udaahh, ini hari bahagia lhoo. Ayolahh, jangan murung gituu. Simpen dulu hp nya."

Kini Jeje menarik tanganku, membawaku ke kumpulan manusia yang sudah berada di tengah lapangan.

"ARE YOU READY, GUYS??" teriak seseorang di depan sana.

"READY," teriak kami bersamaan.

" 1...2...3..."

Kami bersiap, mengacungkan smoke bomb ke udara, menarik talinya, daann..

Asap berwarna-warni itu keluar. Mengubah warna langit yang biru menjadi berbagai macam warna. Semua orang bertepuk tangan. Kebahagiaan jelas terpancar. Setelah tiga tahun tertatih-tatih. Puncaknya, satu Minggu yang lalu, di mana Ujian Nasional berlangsung. Beberapa saat lalu, kelas tiga SMA Razarda dinyatakan lulus 100 persen.

Bergurau dengan teman-teman yang sebentar lagi akan berpencar, membuatku lupa tentang rinduku. Semoga dia juga sedang bersenang-senang dengan teman-temannya.

"Ca, Ca, muterr,  Ca" Geska menyuruhku berputar. Bersiap menyemprotkan pillox yang ada di kedua tangannya.

Aku menuruti apa yang dibilang Geska. Dua pillox itu disemprot secara bersamaan. Selesai, Geska berpindah menyemprot temannya yang lain.

"Caaa, tanda tangan di sinii" titah Jeje semangat. Ia menyodorkan spidol permanen miliknya. Aku mengambilnya, kemudian membubuhkan tanda tangan dengan namaku disana.

"Gantian, Jee" ucapku. Jeje menurut.

"MOANA" pekikku. Dia sedang menyemprotkan pillox di bajunya Geska.

"Bentar, Ca" balasnya.

Tidak lama, Moana menhampiriku. "Apa, Ca?"

"Di sini" aku menyodorkan spidol. Lalu menunjuk bagian seragam yang masih kosong.

Moana terkekeh pelan. Kemudian tanda tangan di tempat yang ku tunjuk.

Aku keliling lapangan. Meminta siapa saja untuk tanda tangan di seragamku. Ahh, aku tidak membayangkan. Sebentar lagi, kemesraan ini akan berlalu. Dengan buru-buru aku mengeluarkan ponselku.

"Guyss, foto yuukk" ajakku. Kemudian aku berdiri di depan mereka. Sontak semuanya langsung tersenyum lebar kearah kamera.

Ada satu yang tertinggal. Kehadiran Dareel di sini. Harusnya dia ikut merayakan ini. Harusnya dia ikut bersenang-senang dengan kami.

Puas berfoto, aku kembali ke tribun lapangan. Rinduku kembali. Merindukan seseorang yang jauh di sana.

Tanganku tergerak untuk menelponnya. Di sana sekarang mungkin jam 4 subuh. Ah, biarin.

"Hmm, kenapa?" Suaranya parau.

"Reel, kamu nggak rindu aku, ya?" tanyaku.

"Rindu" ucapnya malas.

"Pulangg doongg" rengekku.

"Iya, gue pasti pulang. Tunggu aja."

"Iya, gue pasti pulang. Tunggu aja" ucap kami bersamaan. Sangking seringnya Dareel jawab seperti itu, aku sampai hapal.

Terdengar kekehan dari ujung sana. Aku mendengus pelan.

"Iya kapaannn, Reel? Kamu pasti nggak tau, kalau rinduku sudah mau pecah sangking besarnya. Nggak kuat nampung lagi, Reel" aku masih merengek. Mataku memanas. Pandanganku mengabur. Aku yakin, buliran bening sudah mengumpul di pelupuk mata. 

"Minggu depan."

Aku membulatkan bola mata. Hatiku berdesir mendengarnya. Dareel beneran? Ahh, aku tidak sabar ketemu dengannya.

"Beneran?" tanyaku girang.

"Hmm."

"Sumpah? Nggak boong?" tanyaku untuk memastikannya lagi.

"Iya."

"Janji ya Reel."

"Iya, Ca. Udah ya, gue capek. Ngerjain tugas baru selesai jam tiga tadi."

"Hmmm, iya udah deh kalo gitu" ucapku lalu mematikan sambungan telepon. Aku mengembangkan senyumku.

Seminggu lagi. Tidak terlalu lama. Aku pasti bisa menahannya.

Ca, ke rooftop sekarang.

Sebuah pesan masuk. Dari Kak Agam. Aku segera beranjak. Pergi ke rooftop sekarang.

***

"Selamaatt dedek maniissss," ucapnya merentangkan tangan. Aku mengernyitkan dahi.

"Ogaaaah Kakk, jangan aneh-aneh dehh" kesalku. Baru aja ketemu, udah buat kesal saja.

"Aku setia sama Dareel. Dan kakak juga harus setia sama kak Viola, tauuu."

"Aku aduin, kelar idup kakak", ancamku.

Entah sejak kapan, Kak Agam mulai lupa dengan perasaannya kepadaku. Berpindah ke Kak Viola yang sudah sejak lama menunggunya. Aku senang. Kini, semuanya akan berjalan sesuai dengan garisnya.

Kak Agam terkekeh pelan. "Gue bercanda, adeekkk."

Aku mendengus pelan. Kak Agam terus saja memanggilku Adek lah, dedek gemes lah, afek manis lah. Padahal sudah ku peringatkan berulang kali. Tapi, peringatan ku tidak lagi digubrisnya.

****

MICCA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang