***"Udah?" tanya Dareel saat Kak Viola menghilang dari pandangan.
Aku tidak mengerti maksud dari kata 'udah' di sini.
"Maksudnya?" tanyaku bingung.
"Foto dua bocah yang Lo tanyain waktu itu."
Aku ber-oh ria, paham maksud Dareel sekarang.
"Kenapa?" tanyaku penasaran.
"Kenapa, apa?"
"Kamu ngelakuin ini" ucapku langsung.
"Biar Lo nggak salah paham."
Lagi-lagi aku dibuat bingung dengan tingkah Dareel. Tarik ulur sembarangan. Kamu pikir hati aku layangan apa?
"Reel, maksud kamu apasihh??"
"Kenapa kamu repot-repot nyuruh Kak Viola jelasin semua ini? Terus emang kenapa kalau aku salah paham?" sambungku agak emosi.
Dareel berdehem. Gestur tubuhnya memberikan jawaban. Mengangkat bahunya. Aku berdecak kesal melihat tingkahnya.
"Makan, keburu dingin" ucap Dareel kemudian menyantap makanannya.
"Iya, dingin kayak kamu" celetukku sarkas.
****
"Aku aja yang bayar," ucopku saat selesai makan.
"Bayar yang kemarin" sambungku cepat sebelum makhluk di depanku ini membuka mulut.
Dareel tampak bingung.
Aku yang menangkap kebingungan Dareel berdecak sebal. "Isssh, yang di kantin kemarin lho" ucapku mengingatkan.
"Nggak usah" ucapnya lalu berdiri. Berjalan ke kasir.
Aku mengekor di belakangnya. "Katanya suruh ganti" cetusku pelan. Tapi aku yakin Dareel mendengarnya.
"Mau kemana lagi?" tanyaku saat membayar.
Dareel mengendikkan bahunya. Aku kesal setengah mati.
"Belajarnya gimana?" tanyaku.
"Nggak usah."
"Hahh?!" Yang benar saja. Aku menatap wajah lempengnya Dareel. Sungguh tidak menyangka.
"Reel," rengekku.
"Apa lagi?"
"Tau gitu, aku nggak bawa buku sebanyak ini! Beraaat tauuu, nanti aku nggak tumbuh ke atas, gimanaaa?"
"Sini" ucapnya lalu mengambil alih tas yang berada di punggungku.
"Ehh, nggak usah. Nggak usaah" cegahku.
"Salah gue" ucapnya lalu menenteng tasku. Jadi sekarang, Dareel membawa dua tas. Satu di punggungnya, satu lagi di tangan kanannya.
"Terimakasih" ucapku tulus.
Dareel menggumam.
Sekarang kami hanya berjalan tanpa tujuan. Hanya sekedar melihat apa-apa saja yang berada di dalam mall. Keheningan menemaniku. Meskipun banyak orang berlalu lalang, tapi cowok di sampingku ini sangat sayang jika suaranya dipakai untuk ngobrol.
"Mau nonton?" tawar Dareel tiba-tiba
"Hah!! Nonton??"
Dareel berdehem.
"Mauu mauuu" seruku. Kapan lagi coba nonton diajakin nonton dengan makhluk Uranus.
Aku dan Dareel langsung menuju ke bioskop. Sempat berdebat mengenai film yang mau ditonton. Tapi bukan Micca namanya kalau sampai kalah berdebat.
Mengantri tiket adalah tugasnya Dareel. Sedangkan aku memilih duduk di kursi tunggu.
***
Langit sudah berubah menjadi jingga. Selesai nonton, kami memutuskan untuk pulang kerumah. Sebelumnya, Dareel mengantarku terlebih dahulu.
"Nih," aku menyodorkan beberapa lembar uang.
"Buat?"
"Buat bayar bus pulang pergi, makan, nonton, sama beli popcorn tadi."
Ia tidak bergeming. "Nggak usah diganti."
"Gue pulang dulu."
"Nggak mau mampir dulu?"
"Nggak" ucapnya lalu balik badan, melangkahkan kaki. Aku menatap punggungnya yang kian menjauh. Tangannya terangkat hendak menutupi kepalanya dengan tudung hoodienya. "Dari belakang aja, kamu terlihat ganteng, Reel" ucapku lirih, masih memandangnya. Menunggunya hilang dari pandangan.
Dareel sudah menghilang dari pandanganku. Aku bergegas masuk ke dalam rumah. Disambut Mocca dengan senyum menggoda.
"Habis dari mana?" tanya Mocca. Senyum menggoda belum hilang dari wajahnya. Mocca pasti sudah tau dari Mama.
"Kamu pasti udah tau, Mo" ucapku.
"Cuman mau memastikan saja" godanya.
Aku tidak menjawab. Kulangkahkan kaki ke kamar. Badanku sudah lengket karena keringat yang menempel di badanku. Mocca mengekoriku dari belakang.
"Silahkan bersih-bersih dulu. Gue sama Molly nunggu di sini, siap mendengarkan cerita hari ini" ucap Mocca sambil mengelus Molly yang berada di dekapannya.
Aku tertawa mendengar ucapannya. Mocca juga tertawa. Sedangkan Molly? Sudah pasti dia hanya bisa mengeong.
"Sumpah, Moo. Kamu harus dengerin ceritaku dari aku berangkat sekolah sampaaaiii pulang tadi" ucapku tak sabar.
Aku bergegas menuju kamar mandi. Bersenandung pelan, menyalurkan kebahagiaanku hari ini.
****
"Siap, Mo?" tanyaku pada Mocca yang masih setia menungguku di kasur. Kasur tampak berantakan, tidak se-rapi saat aku masuk ke kamar mandi. Tidak salah lagi, pastiMocca dengan Molly!
Mocca menganggukan kepala antusias. Aku mulai bercerita. Dari awal mula kak Viola yang melabrakku tadi pagi, Moana yang menyerah atas sikap Dareel, kecemburuanku terhadap Kak Viola yang ternyata adalah kakaknya, dan Dareel yang mengajakku pergi keluar. Berbagai ekspresi ku tangkap dari wajah Mocca. Beberapa kali menyela, beberapa kali terheran-heran, bahkan sampai ekspresi kaget tergambar jelas di sana.
"Huaahhh, hari yang panjang sekaligus menyenangkan, Mo" ucapku usai bercerita.
"Gue ikut seneng, Ca. Tapi gue harap, Lo jangan terluka, ya? Sekalipun nanti gue yakin bakal ada hambatan. Gue yakin, ini baru permulaan, Ca."
"Iya, Mo. Perihal luka, siapapun tidak bisa memastikannya. Apakah bakal baik-baik saja. Jika pun terluka, aku pasti bisa menahan sakitnya, Mo. Kamu tau, aku anak yang kuat, kan?" ucapku mengendikkan sebelah mataku.
Mocca memutar bola mata jengah. "Kuat dari mana? Kena pisau aja teriak-teriak manggil Mama" ucapnya sarkas.
Aku dan Mocca tertawa terpingkal-pingkal. Sampai tidak sadar kalau Mama sudah berada bersama kami.
"Dua anak ini, kalau udah bareng mesti adaa aja ulahnya. Ayo, makan dulu" ucap Mama menarik tanganku dan tangan Mocca.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
MICCA [END]
Teen FictionMicca Lotenna, Gadis mungil yang memiliki kepribadian yang luar biasa. periang, usil, dan ceroboh. Awal masuk SMA, wajar jika ia bertemu dengan teman baru. Yang menarik perhatiannya adalah pria yang selalu memakai hoodie berwarna pink. Dia pendiam...