Part 31 - Tuntaskan sekarang!

21 3 0
                                    


***
Suasana sekolah terasa beda tanpa kehadiran Dareel. Yang biasanya ke kantin, selalu ada dia di pojokan kini sudah tidak ada lagi. Yang biasanya duduk sendirian di perpustakaan, kini sudah tidak ada lagi. Semua terasa berbeda, makhluk planet.

Aku melirik bangku tempat Dareel biasa menyantap makan siangnya. Kosong.

"Gue udah bilang kan, Ca. Lo bakal nyesel kalau sampe nggak ke bandara kemarin" ucap Moana menyantap baksonya. Dia pasti sudah tau. Ahh, enaknya jadi Moana. Tau segala tentang Dareel.

Aku nyengir. Memperlihatkan serentetan gigi putihku.

"Makasih, ya, An. Mungkin, kalo bukan karena kamu aku nggak akan tau tentang perasaan Dareel. Dan maaf a—"

"Udah, nggak udah dibahas. Gue udah ikhlas lahir batin" potong Moana cepat.

"WOY, TEGA KALIAN" teriak Jeje dari depan pintu kantin.

Aku terkekeh pelan, sambil melambaikan tanganku. Mengisyaratkan Jeje untuk segera ke tempat duduk.

"Is, tega ya Lo, Ca" kesalnya saat sudah sampai di depanku.

"Gue sahabat Lo, bukan sihhhhhh" racaunya semakin menjadi.

"Ssttt, duduk mangkannya. Biar emosinya ilang" ucapku tetap kalem. Meskipun cemas juga.

Moana geleng-geleng kepala melihat tingkahnya Jeje.

"Jelasin sekarang" ucapnya dingin sambil memperlihatkan timeline Instagramnya. Semalam, aku dengan sengaja meng-upload satu foto terbaikku dengan Dareel.

Dengan segera, aku menceritakan bagaimana kejadian kemarin di bandara. Sedetail mungkin. Senyumnya mengembang. Mungkin, ikut merasakan kebahagiaanku.

****

Aku berjalan menyusuri koridor. Hendak ke perpus. Mengembalikan buku yang kupinjam kemarin. Mataku menelisik seseorang yang berjalan di depanku. Ya! Aku harus menuntaskannya sekarang.

"Kak Agam!" pekikku memanggilnya.

Kak Agam yang sedang berjalan, langsung memutar tubuhnya menghadap ke arahku.

"Ehh, tumben manggil. Ada apa dedek?" godanya.

"Apaan sih, dedak-dedek" cetusku.

Kak Agam terkekeh. "Kenapa? Mau nangis lagi di dada bidangnya kakak ganteng ini?" ucapnya sok.

Aku bergidik membayangkan kejadian kemarin.

"GAK" tolakku cepat.

"Kak, tuntasin sekarang ya. Aku mau, kakak buka hati buat orang lain. Jangan terus mikirin orang yang sama sekali nggak ada perasaan sama kakak."

"Oke" ucapnya santai.

Aku membulatkan bola mata. Mendengar responnya yang hanya terdiri dari tiga huruf. Benar-benar si sableng, minta disleding emang.

"Seriusss, kakk" rengekku.

"Iya, Ca. Tapi jangan paksa gue buat lupain Lo. Karena nggak bakal semudah itu. Harus pelan-pelan. Meskipun begitu, kita bisa jadi teman kan? Lo jangan lari kalo misal ketemu gue."

Aku berpikir sejenak, "tapi janji ya kak, hapus perasaan kakak ke aku. Dan buka hati buat orang lain, emm.. misal, Kak Viola."

Kak Agam tersenyum miring. "Bakal gue coba, adik maniss" ucapnya mengacak-acak rambutku dan pergi begitu saja.

Aku menarik napas panjang-panjang,

"KAAAAKKK AGAAAMMMMM! RAMBUTTT AKKUUUUUU" teriakku lepas. Persetan dengan beberapa pasang mata yang secepat kilat menoleh ke arahku.

Sedangkan, Kak Agam mengangkat tangannya ke udara. Jarinya membentuk huruf V.

Aku tersenyum kecil. Urusanku dengannya sudah selesai. Semoga ke depannya, aku dan kak Agam bisa menjalin hubungan yang baik.

***

Drrtt...drrtttt..

Aku mengerjap. Menyambar ponsel yang berada di atas nakas.

"Siapa sih, yang nelfon jam 3 pagi? Kurang kerjaan banget" gerutuku.

Aku menekan tombol silent. Biar saja, salah siapa ganggu malam-malam. Sesaat kemudian, aku sudah berpetualang di alam mimpi.

***

Aku membulatkan bola mata. 5 panggilan tidak terjawab dari Dareel! Jadi, yang semalam itu, dia? Aku memukul kepalaku sendiri. Tapi salah dia juga, tidak memikirkan kalau perbedaan waktu.

Aku mengirimkan pesan. Meminta maaf karena tidak menjawab telfonnya.

"Ca, gue pinjem hair dryer" Mocca menyembulkan wajahnya di depan pintu.

"Ambi aja, Mo" ucapku tak mengalihkan pandangan.

"Kenapa manyun, gitu?" lirik Mocca sambil mengeringkan rambutnya.

Aku mendekat ke arahnya. Mengarahkan ponsel ke hadapannya dari belakang.

"5 PANGGILAN TIDAK TERJAWAB, MOO" pekikku. Sontak Mocca meletakkan benda yang dipegangnya, kemudian ia menutup kedua telinganya.

"Huaaa, gimana? Dareel nggak akan marah, kan, Moooo??" rengekku menarik-narik seragamnya yang sudah rapi.

Mocca berontak. Melepaskan tanganku dari seragamnya. Mukanya tampak kesal.

"Nggak akan, Ca. Emang Dareel nggak tau, kalok perbedaan jam di sana sama di sini itu 11 jam?"

Aku mengendikkan bahu. Sambil sesekali melirik ponsel, manatau makhluk planet itu segera membalas pesanku.

"Aisss, seragam gueeee" geram Mocca sembari merapikan seragamnya lagi.

Aku tersenyum jahil. Kemudian, memeluknya dari belakang. Eraaatt sekali.

"Maaf yaaa, Moo" ucapku lalu berlari ke kamar mandi. Saat Mocca sudah mau berangkat, aku baru beranjak ke kamar mandi. Aiiihh, bagai langit dan bumi, ya?

"MICCCAAA, AARRGHH" teriak Mocca geram. Aku tertawa puas melihatnya marah seperti itu.

***

Aku menatap ponselku miris. Sama sekali chat ku tidak dibacanya. Segitu sibukkah dia? Sampai tidak sempat membalas chatku sebentar saja. Aku mendengus pelan.

Jam terakhir kosong. Siswa tidak diberikan tugas sama sekali, asal tidak keluar kelas.

"Woyy, Ka" teriak Andi dari depan pintu. Sedangkan Geska sudah berada di dalam kelas. Tampaknya mereka berdua dari kantin. Sudah diperingatkan, tapi tetep aja ngeyel.

"Apaa?" balas Geska tidak kalah kerasnya.

"Ngaku Lo sama gue! Lo ngambil gorengan tadi lima kann?? Tapi bilang ke mbak Tita cuma tiga. Parah Lo,Ka."

Tawa Geska menggelegar. "Sekali-kali, Ndi" ucap Geska enteng.

Aku menatap Geska malas. Makin hari, kelakuan dua orang itu makin tidak jelas. Ada saja ulahnya.

Aku kembali menatap layar ponselku. Berharap ada notifikasi dari Dareel. Tapi nyatanya, tidak ada sama sekali.

****

MICCA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang