Part 21 - Maaf (2)

23 4 3
                                    

Sepertinya, kekhawatiran Mocca benar-benar terjadi. Segerombolan manusia garang menatap sinis ke arahku. Aku yang merasa, pura-pura tidak tahu. Cuek aja. Lagian aku nggak salah, kenapa harus dibuat pusing.

Lagi. Kenapa saat aku berjalan, semua mata memandang ke arahku. Menelisik dari atas sampai bawah. Aahh, Kak Agam. Fansmu membuatku sangat-sangat tidak nyaman.

Kejadian di kantin kemarin, secepat kilat menyebar. Bahkan, sampai Mocca pun sudah tahu.

"Hey, lihat tu. Songong banget. Anak kelas 10 aja berani gangguin gebetan gue" bisik seorang cewek berambut panjang kepada teman yang ada di depannya. Meskipun berbisik, tapi tetap saja masuk ke telinga kananku.

"Cihh, cewek kaya gitu ga pantes buat Kak Agam. Pasti dia yang kecentilan, sampe-sampe Kak Agam kepincut sama dia" balas cewek yang di depannya.

Kupingku panas mendengar hal yang sama sekali bukan salahku. Aku yang awalnya tidak mau menanggapi, tapi sekarang aku menyerah untuk membiarkan namaku jelek. Baik, kalian mau bermain-main denganku.

Aku memutar tubuhku. Mendatangi dua cewek yang sedang asyik menggunjing orang yang sedang lewat di depannya.

"Pantesan ya, dari tadi kuping ku berdengung terus. Ternyata ini sumbernya" ucapku tanpa basa-basi.

"Oohhh, Lo merasa? Syukur deh. Jadi Lo tau letak kesalahan Lo!" Anak kelas 11 bername tag Viola Larasati itu menaikkan satu alisnya.

Aku menghela napas pelan. Sabar-sabar saja menghadapi mereka.

"Aku merasa nggak ngelakuin  kesalahan apapun. Jadi, stop! Ganggu, ataupun gunjingin aku di belakang."

"Ehh, Lo ngaca ya! Punya kaca nggak di rumah! Berani-beraninya Lo gangguin Agamnya gue. Lo nggak tau siapa gue? HAH!" ucapnya semakin nge-gas.

Aku tertawa pelan. Ternyata masih ada ya, kakak kelas yang begini. Aku kira, itu cuman ada di novel-novel ataupun di sinetron yang beribu-ribu episode.

"Kak, aku bilangin sekali lagi. Aku sama sekali nggak gangguin Kak Agam. Aku juga nggak kecentilan seperti yang kakak bilang."

"Jangan muna Lo! Lo pikir gue nggak tau."

"Astagfirullah. Susah ya ngomong sama orang ber-IQ rendah. Nggak nyambung. Buang-buang waktu aja" ucapku lalu melenggang pergi.

"APA LO BILANG!" teriaknya.

Rambutku serasa ada yang menarik. Refleks aku langsung menjerit dan balik menjambaknya. "Mamaaaaa" teriakku dalam hati.

"STOP" suara berat datang dari arah belakang.

"Ga mau? Gue panggil pak Midaf" ucapnya datar.

Aku langsung membelalakkan mata. Oh tidak. Jangan sampai aku berurusan dengan macan jantan itu. Begitupun dengan cewek yang terlebih dulu menjambakku.

"Kalian ngehalangi jalan gue."

Dari suaranya, aku yakin siapa pemiliknya.

Dareel Byantara.

Kenapa disaat seperti ini dia harus muncul? Rasanya, mau ku tenggelamkan wajahku sampai ke inti bumi.

Kak Viola terlihat kaget saat melihat siapa yang berbicara. Lalu melenggang begitu saja. Sambil merapikan rambut yang berantakan.

Aku masih mematung. Saat Dareel mendekat ke arahku. Lalu tangannya terulur ke arah kepalaku.

Merapikan rambut yang terlihat berantakan, lalu pergi tanpa mengeluarkan satu katapun.

Jantungku langsung berpacu. Dia loncat-loncat di tempatnya. Pipiku memanas. Sedangkan pelakunya, cuek-cuek aja dengan akibat dari ulahnya.

"Reel, kita ini apa?" ucapku lirih menatap punggungnya yang kian menjauh.

****

"Kak, Kakak tau? Akibat dari ulah kakak kemarin, hidupku sekarang bermasalah" teriakku pada seseorang yang berdiri tegap di depanku.

"Gue nggak ngerti maksud Lo apa. Harusnya  gue yang bilang itu, Ca! Gue korban disini. Hati gue hancur atas penolakan Lo tadi malem."

"Nggak. Gara-gara kakak, aku jadi kena bully-an fans-fans kakak yang ganas kayak harimau itu. Aku nggak nyaman Kak. Jadi pliss, tolong! Jauhinn aku sebelum semuanya bertambah parah."

"Siapa yang berani nyakitin elo, berurusan sama gue. Bilang sama gue! Gue nggak bisa jauhin Lo. Karena cuman elo Ca, yang bisa buat hati gue berdegup. Selain Lo, NGGAK ADA!!"

Bisa lebay juga ni orang.

"Kak, tolong! Ngertiin posisi aku. Semakin kakak deketin aku, semakin banyak pula fans kakak yang bakal gangguin aku. Lagian, ucapanku kemarin belum jelas? Aku nggak bisa nerima kakak. Aku nggak suka, kakk."

"Ohh, gara-gara Dareel, Ca?"

Aku membelalakkan mata. "Kakak nggak usah nyeret-nyeret orang masuk ke masalah kita. Sekarang, aku mohon Kak, aku mohon. Jangan pernah sekalipun ganggu aku lagi."

"Jawab gue dulu, ini gara-gara Dareel? Lo suka sama dia?" Kak Agam mengguncang bahu ku dengan keras.

"Ini nggak ada hubungannya dengan siapa pun," ucapku seraya melepaskan pundakku dari cengkeramannya.

"Setidaknya Lo kasih alasan yang logis, Ca. Kenapa elo nolak gue?"

"Kurang jelas Kak? Aku nggak suka sama Kakak, dan perasaan orang nggak bisa dipaksa. Hak orang untuk menyukai siapapun. Jadi, jika tidak terpilih, terima kenyataan."

Suara pintu rooftop terbuka dengan keras. Sepertinya seseorang menendangnya dengan kuat.

Dareel.

Kenapa dia bisa ada di mana-mana sekarang?

"Ikut gue" ucapnya menarik pergelangan tanganku.

"Berhenti" teriak Kak Agam.

Dareel menghentikan langkahnya.

"Lo bisa nggak, nggak usah gangguin urusan orang lain, HAHH!" suara Kak Agam mengeras. Kemudian berjalan mendekati Dareel dengan muka merahnya. Aku tau dia emosi sejak pertama menarikku ke roftoop sekolah.

"Sayangnya, Nggak. Jika itu berhubungan dengan cewek ini," ucapnya lempeng.

****

MICCA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang