Part 12- Pertimbangan.

44 4 3
                                    


Jangan lupa tinggalkan jejak guyss!

"Mau ngumpul ini Kak" ucapku memberikan selembaran kertas yang sudah kucel. Semoga saja tidak ada sesi interview atau apalah namanya.

"Duduk" manik matanya mengarah ke kursi kosong di samping Kak Agam. Mengisyaratkan aku untuk duduk di sana.

"Di sini aja kak," tolak ku.

"Duduk" Mau tidak mau aku harus ikut perintahnya.

Pandanganku mengarah ke Kak Agam. Ia menganggukan kepala, sembari tersenyum. Aku mengerutkan alisku, maksudnya apa coba?

Kak Aldo terlihat membaca sekilas form pendaftaran ku sebelum ia membuka mulutnya.

"Lo yakin mau ikut ekskul jurnalistik?"

"Yakin Kak, di situ juga aku udah nulis alasannya kok."

"Oke, besok habis bel pulang sekolah, kumpul lagi di sini."

"Iya, kak."

Hening sejenak.

"Udah Kak?" Tanyaku kikuk.

"Udah. Lo boleh keluar."

Aku melongo, gitu aja? Kak Aldo rese banget deh. Keseel.

"Ehh, kok udah, Do. Gue belum puas mandangin wajah imutnya." Protes Kak Agam.

"Sumpah,  elo cantik banget kalo dilihat dari deket. Bidadari pembuat pelangi insekyur kalo disandingin Ama elu." Sambungnya.

Refleks, aku menginjak kakinya. Aku puter sekalian sekeras-kerasnya.

"Dek, sakiiitt" ucapnya mencoba melepaskan kakinya.

"Rasain, otak kakak kayaknya emang geser benerann" ucapku lalu pergi meninggalkan mereka. Terdengar samar gelak tawa Kak Aldo.

****

"Dareell" aku mendapatinya saat keluar dari ruang jurnalistik.

"Reel, tunggu ihh" aku memanggilnya. Emang tu anak, kalo dipanggil sekali, noleh aja nggak mau apalagi nyahut.

"Dari mana, Reel? Tadi aku ngintip kelasmu. Tapi kamunya ga ada" ucapku berusaha untuk menyamai langkahnya.

"Perpus" ucapnya singkat.

"Sekarang mau ke kelas?" Tanyaku.

Ia menganggukan kepalanya tanpa menoleh ke arahku.

"Reel," aku memanggilnya pelan.

Ia masih tidak bergeming. Pandangan matanya lurus ke depan.

"Reel, dengerin" rengekku padanya.

Dareel menggumam. "Apa?" Ucapnya singkat.

"Tantangannya ganti ya?" Kini aku berada di depannya. Memasang puppy eyesku yang mengemaskan. Otomatis Dareel berhenti.

"GAK" tegasnya.

"Dareel ihh, kamu kan tau aku nggak pinter."

"Kalo aku pinter udah sekelas sama kamu Reel," sambungku.

"Bodo."

"Minggir" timpal Dareel.

Aku yang tadi didepannya, Segera beranjak lagi ke sampingnya. Menyamai langkah.

"Ajarin tapi ya," pintaku.

"Gak."

"Iya, titik. Pokoknya ajarin." Ucapku kekeuh.

"Gue bilang enggak, ya enggak."

"Bodo, ga peduli. Yang penting kamu harus ngajarin aku biar pinterr." Ucapku berlalu.

"Untuk waktunya aku kabarinn yaa, daahhh" ucapku melambaikan tangan.

***

"Caaa, miccaaaa" teriak Jeje dari dalam kamar. Aku yang sedang di kamar mandi menghentikan aktivitasku. Sepulang sekolah, Jeje main kerumah. Sekalian mengerjakan tugas sekolah.

"Apa, Je?" Tanyaku dari dalam.

"Hp Lo bunyi terus dari tadi. Cepetan ngapa?"

"Siapa, Je?"

"Nomor tidak di kenal nihh."

"Nomor tidak di kenal? Siapa?" Ucapku lirih. Aku segera keluar dari kamar mandi.

"Tuhh, bunyi lagi."

Aku mengerutkan alis, siapa kira-kira. Ku usap layar ke atas. Lalu menempelkan benda pipih itu ke telinga.

"Hallooo dekkk, akhirnya loo angkat juga"  ucap seseorang dari seberang sana. Aiihh, si bule nyasar. Ngapain sih, telfon-telfon segala.

Aku sama sekali tidak berniat untuk meladeni cowok sableng itu. Langsung ku matikan telfon yang berujung dengan bunyi tuutt..

Baru akan meletakkan hp, benda pipih itu berbunyi lagi. Nomor yang sama. Aku memutar bola mata jengah.

"Ladeni aja Ca, dari pada berisik" celetuk Jeje yang sudah  fokus mengerjakan tugas.

Aku berdecak. Ganggu aja ni orang.

"Apa sih kakkk!!" Ucapku setelah menempelkan benda pipih itu ke telinga untuk yang kedua kalinya.

"Save nomor gue ya Adek maniss"

"Ogah bangeetttt, menuh-menuhin kontak tau nggak Kak."

"Jahat banget Lo dek" ucapnya diikuti dengan suara gelak tawa.

"Tuh, Gam, dengerin. Nyimpen nomor Lo aja die ogah. Apalagi nyimpen elo di hatinyaaa. Eaaaa" celetuk temennya yang lain.

"Mundur, Gam, munduuurr" sambungnya.

"Ohh tidak bisa yaa, gue bakal tetep maju. Walaupun dijutekin setengah mampus" timpalnya. Diikuti dengan gelak tawa dari seberang sana.

"Udah ya kakk, aku sibuk. Mau ngerjain tugas dulu, baay" ucapku langsung menutup telfonnya. Semoga Kak Agam tidak nelfon lagi.

Aku heran, Kak Agam dapet nomorku dari mana coba? Apa Mocca?

Aku beranjak dari tempatku berdiri, lalu menghampiri Mocca di kamarnya. Mocca terlihat sedang bergulat dengan Molly.

"Moo, Kamu ngasih nomorku ke Kak Agam?" Tanyaku padanya.

Ia menghentikan aktivitasnya. "Enggak, kenapa emang?"

"Tadi nelfon Mooo, ishhh.. gak sukaaaa" aku merengek sambil berfikir.

"MOOOO, OOHHH YAAA, AKU INGEETT" ucapku agak lantang.

"Apaaaa?"

"Di form pendaftaran eskul Moo."

"Kan di situ lengkap data diri termasuk nomor telfon. Naaahh, tadi aku ngasih ke Kak Aldo. Daaannn Kak Agam tadi bareng sama kak Aldoo."

"Teruuss??"

"Mo, pliss. Jangan lemot kayak aku."

"Pastinya Kak Agam dengan gampangnya liat formnya dong Moo" sambungku.

"Aiss, bete dehh. Coba aja kalo ini Dareel. Dengan sukarela aku langgatin sampe ke ujung dunia pun" ucapku seraya keluar dari kamar Mocca.

Sedangkan Mocca, ia melanjutkan aktivitas yang sempat tertunda tadi dengan Molly.

****

MICCA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang