Aku berjalan dengan menunduk. Buliran bening menetes langsung ke lantai.
"Lo telat" ucap seseorang berdiri di depanku. Menghalangi jalanku.
Aku mengenal suara ini.
Aku mendongak, berharap ini bukan ilusi. Benar saja, Dareel yang berdiri di sini.
"R-reel?" panggilku lirih.
"Kamu masih di sini? Nunggu aku?" sambungku.
"Lo nggak liat papan pengumuman status penerbangan?" tanyanya.
"Nggak, aku panik gara-gara telat. Jadi langsung ke boarding area."
"Pesawatnya delay. Ruang tunggu gue juga nggak di sini" terangnya.
Aku mematung. Menyadari kebodohan yang baru saja ku perbuat. Aku bersyukur, semesta masih mengizinkanku untuk bertemu dengannya.
Arah pandangan Dareel mengarah ke wajahku. Menatapku lekat-lekat. Seperti ada yang ingin disampaikan.
"Jadi, apa?" tanyaku.
Dareel pasti sudah tau akan jawaban dari pertanyaanku. Karena dia sendiri yang bilang kemarin.
"Gue nggak mau basa-basi" ucapnya.
Aku mengangkat satu alisku.
"Dulu, gue berharap, Lo nggak lolos karena gue nggak mau temenan sama siapapun. Tapi sekarang, gue seneng Lo beneran nggak lolos. Artinya gue nggak perlu jadi temen Lo."
"Terus?" Ucapku tidak bisa menyembunyikan kebingungan ku. Jujur, aku tidak mengerti.
"Lo suka sama gue?" tanya Dareel langsung dengan tatapan yang tidak bisa diartikan.
Sontak aku langsung membulatkan mata. Tubuhku menegang, jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya.
"A-aakuu—" aku tergagap. Rasanya ingin jujur, tapi lidahku sulit mengatakannya.
Sejurus kemudian, Dareel menarikku ke dalam pelukannya. Aku kaget setengah mati. Untuk pertama kalinya. Jantungku bekerja lima kali lebih cepat dari biasanya.
"Gue suka sama Lo" Dareel membisikkannya tepat di telinga kiriku.
Oh tidak!! Kali ini jantungku berdetak lebih cepat. Sepuluh kali lebih cepat dari biasanya. Hatiku berdesir, bulu kudukku meremang. Kakiku mulai melunak seperti jelly. Katakanlah aku lebay, tapi memang itu yang kurasakan.
"Lo ngerti sekarang? Alasan kenapa gue nggak mau jadi temen Lo?" ucapnya melepas pelukannya. Kini, tangannya beralih ke bahuku.
"Karena gue mau lebih. Bukan hanya sekedar temen" sambungnya.
Aku mengembangkan senyum. Rasanya aku ingin berteriak saat itu juga. Tapi aku masih punya malu. Mengurungkan niatku.
"Serius?" tanyaku excited.
Dareel menganggukan kepalanya.
Aku memeluknya kali ini. Erat, tak mau lepas. Kenapa baru sekarang, Reel? Kamu membuang-buang waktu. Coba dari kemarin-kemarin, aku tidak akan menghindar. Ahh! Aku menyesal sekarang, kenapa aku menghindar belakangan ini.
Dareel membalas pelukanku. Jantungku masih belum bisa berdetak normal.
"Jadi?"
"Apa?"
"Kita sekarang!" kesalku.
"Pasangan" ucapnya langsung.
Senyum kembali mengembang. Kali ini lebih lebar dari yang tadi. Apa? 'pasangan' katanya.
"Mau?" tanyanya meminta persetujuan.
"MAUUU" pekikku girang. Dareel mengulum senyumnya. Manis sekali, pacarku.
"Tapi kita LDR-an" ucapku kemudian.
"Percaya sama gue, dan gue bakal percaya sama Lo."
"Tunggu gue pulang" sambungnya.
"Sampai kapan?" tanyaku, aku rasa mataku memanas. Siap mengalirkan buliran bening. Baru saja, kebahagiaan hinggap.
Dareel menghela napas berat. "Tunggu aja, gue pasti pulang buat Lo."
"Janji?" Aku mengacungkan jari kelingking.
Ia berdecih, kemudian menautkan jari kelingkingnya.
"Gue pergi ya, jaga diri lo baik-baik. Inget, Lo sekarang milik gue" ucapnya kemudian berjalan menjauh. Kembali ke ruang boarding nya.
Aku mematung, aku miliknya sekarang? Aaahh, mimpiku kenyataan. Kenapa aku sebahagia ini sekarang. Padahal sebentar lagi, dia bakal pergi jauh.
"Reel, tunggu!" pekikku.
Ia menghentikan langkahnya dan berbalik arah. Aku berlari menuju nya.
Memeluknya untuk yang kesekian kali. Rasanya aku ingin dia tetap di sini. Sekolah di Razarda. Tidak mau dia pergi.
Dengan buru-buru, aku mengeluarkan ponsel di sling-bag. Aku tidak punya foto berdua dengannya. Yang ada hanya foto candidnya yang ku ambil diam-diam.
Aku mengarahkan ponsel ke depan. "Say bunciiisssss" ucapku. Dareel sepertinya tidak paham maksud dari 'say buncis'. Nyatanya, ekspresinya lempeng. Tidak ada senyum di sana.
Aku berdecak. "Senyum, Reel" kesalku.
"Ulang!"
Ia mengangguk. Aku kembali mengarahkan ponsel ke depan. Memasang senyum semanis mungkin.
Cekreekk.
"Nah, gini."
Dareel geleng-geleng kepala. Mengacak-acak puncak rambutku.
Aku menatapnya lekat-lekat. Akhirnya, Dareel mau meruntuhkan temboknya sendiri. Di saat aku sudah menyerah, dia datang. Memberi tahu bahwa temboknya sudah runtuh. Tidak ada alasan untuk menolak. Aku menatapnya lekat-lekat.
"Makasih, Reel. kamu udah suka sama aku. makasih juga, kamu udah mau ngeruntuhin tembok yang menghalangiku. Jaga diri baik-baik ya, pacar" ucapku frontal. 'pacar' berani sekali aku.
Dareel terkekeh pelan. "Iya, emm—" ia menggantungkan kalimatnya.
Aku mengerutkan dahi. Menatapnya bingung. Kata-katanya menggantung. Seperti ingin bilang sesuatu.
"Pacar" sambungnya.
Pipiku memanas. Aah, Dareel. Jantungku mau copot dari tempatnya. Sejak kapan dia jadi manis seperti ini?
Perlahan, dia menjauh. Menghilang di keramaian. Aku menatap punggungnya. Fokus. Pandanganku tidak lepas darinya. Sampai dia benar-benar masuk ke ruang boarding kembali.
Rasanya masih seperti mimpi. Dareel menyukaiku? Sejak kapan?
***
Aku merebahkan tubuhku ke kasur. Rasa bahagia itu ku bawa pulang. Tidak akan ku tinggalkan. Aku tidak tahu, harus bagaimana menyampaikan perasaanku sekarang ini. Yang pasti, aku bahagia. Perasaanku terbalas. Udah, itu saja.
Aku mengeluarkan ponselku kembali. Ku ketuk icon gallery. Memunculkan potretku dengan Dareel. Senyumku mengembang.
"Akan ku tunggu, Reel. Sampai saatnya kamu kembali" ucapku mengusap layar ponselku.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
MICCA [END]
Teen FictionMicca Lotenna, Gadis mungil yang memiliki kepribadian yang luar biasa. periang, usil, dan ceroboh. Awal masuk SMA, wajar jika ia bertemu dengan teman baru. Yang menarik perhatiannya adalah pria yang selalu memakai hoodie berwarna pink. Dia pendiam...