Kabar menyedihkan sekaligus membahagiakan itu cepat sekali menyebar. Tidak diragukan lagi, betapa canggihnya kekuatan media sosial di zaman sekarang ini.
30 orang hebat dari seluruh SMA di Indonesia siap untuk menjadi perwakilan negara untuk belajar dan memperkenalkan budaya Indonesia ke negara asing. Dari sekolah Razarda, hanya ada 2 orang perwakilan. Dareel Byantara dan Kanaya Amelia dari IPS satu. Selamat! Kalian berhasil membuatku iri.
Acara pelepasan dari sekolah akan dilaksanakan pada hari pertama masuk di tahun ajaran baru. Baru pelepasan oleh negara, dan endingnya mereka ber-30 akan di lepas di bandara Internasional.
Aku sudah siap untuk patah kembali. Aku harus rela. Dua tahun untuk program ini. Artinya, akan tidak ada lagi seorang makhluk Uranus di sekolah ini. Akan tidak ada lagi hoodie pink yang sedingin di kutub Utara.
***
"Ca, besok bakal ada pelepasan di bandara Internasional. Gue harap, Lo dateng buat nganter Dareel" ucap seseorang yang tiba-tiba duduk di sampingku.
Sejak tahun ajaran dimulai, aku menghindar darinya. Hanya melihatnya dari kejauhan. Aku harus terbiasa dengan ketidakhadirannya mulai dari sekarang. Lagian, Dareel juga tidak ada niat untuk mendekati atau mencariku.
Mungkin, memang ini yang Dareel inginkan. Sesuai kesepakatan awal. Aku tidak lolos seleksi, dan aku juga harus berhenti mengganggunya.
Kamu menang, Reel. Sekali lagi selamat.
"Buat apa, An" ucapku lirih.
"Dareel nggak suka aku. Dia nggak mau aku ada" sambungku.
Moana berdecak. "Ca, Lo sama sekali nggak ngeh dengan sikapnya selama ini?" ucapnya sebal.
"An, Dareel seneng aku nggak lolos pertukaran pelajar itu. Bahkan Dareel berharap aku nggak ikut seleksi dari awal. Dan bodohnya aku, kekeuh mau ikut padahal otak kosong melompong. Nggak ada isinya!"
Moana menghela napas pelan, mengeluarkannya dengan kasar.
"Lo harus dateng, Ca. Kalo nggak, gue jamin Lo bakal nyesel seumur hidup. Karena, Dareel cerita sama gue, jika berkesempatan dia bakal ngelanjutin S1 nya di sana."
Jantungku berhenti berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya. Namun, aku berusaha bersikap se normal mungkin di hadapan Moana. Hal sepenting ini, Dareel tidak pernah cerita sama aku.
Aku tertawa sumbang. "Siapa aku yang harus tau segala tentangnya" ucapku dalam hati.
"Aku nggak perduli, An. Toh, siapa aku yang harus nyesel seumur hidup? Udah ahh, aku laper. Mau ke kantin. Ikut nggak?" tawarku.
Moana menggeleng-gelengkan kepalanya.
Aku berlalu dari hadapannya. Sebenarnya, aku tidak benar-benar ingin ke kantin. Mood makanku hilang dari entah kapan. Aku hanya ingin sendiri. Di mana aku bebas menumpahkan buliran bening yang tidak tahan untuk keluar. Untung saja, Moana menolak ajakanku.
Tujuan utamaku sekarang adalah rootop sekolah. Saksi bisu di mana aku menerima tawaran dari Dareel.
Sampai di rooftop, aku berjalan ke pojokan. Bersembunyi, berharap tidak ada orang yang akan memergokiku.
Aku meringkuk. Mulai terisak, meluapkan segalanya yang menyesakkan.
Dua tahun apa tidak cukup, Reel?
Kenapa harus lanjut di sana?
Meskipun nantinya, semesta tidak mengizinkan aku dan Dareel bersama, setidaknya aku bisa melihatnya jika dia di sini.
Jarak dua benua terlalu jauh untuk dijangkau.
"Bener dugaan gue" suara itu lagi. Kenapa Moana jadi se-care ini sama aku.
Jelas, aku kaget. Moana mengikutiku sampai sini.
"A-an" aku tergugup.
"Ngaku sama gue, Ca. Sekarang."
"Apalagi yang harus aku akuin, an?"
"Lo berat kan, dengan semua ini. Lo nggak mau kan, Dareel pergi jauh?" Moana mendesakku.
"An, kalaupun ini terasa berat untukku, apa Dareel mau membatalkan untuk keluar negeri? Apa Dareel bakal melepaskan kesempatan emas ini? NGGAK, AN" racauku.
Kenapa aku se hancur ini sekarang?
"Setidaknya, Lo jujur sama perasaan Lo, Ca. Jangan jadi pecundang. Gue udah lepasin Dareel buat Lo. Jangan ngebuat pengorbanan gue jadi sia-sia" ucapnya emosi seraya pergi meninggalkanku yang masih terisak.
Aku enggan untuk beranjak. Sekalipun lonceng sudah berbunyi, tidak ada niatan untuk kembali ke kelas. Biarlah, bolos untuk sekali ini.
Aku melanggar janjiku untuk tidak menangis lagi. Percayalah, ini di luar kendaliku.
Derap kaki kembali terdengar. Aku kira Moana balik lagi. Ternyata segerombolan cowok pembuat onar. Menurutku.
"Gam, Viola tu, urusin. Kalo Lo anggurin, gue embat" sayup-sayup terdengar suara yang ku kenal. Siapa lagi kalo bukan geng Alastor.Kak Agam tertawa. Entah apa maksud dari tawanya itu.
"Embat aje, Carl. Di hati gue masih ada dedek gemesh soalnya" terangnya.
Jantungku berpacu. Bekerja secara abnormal.
"Jiaahhh, udahlahh. Lupain. Viola nggak kalah cantiknya sama dedek gemesh Lo."
"Belom bisa move on gue, Carl. Udah deh, Lo diem atau mulut Lo gue bungkam pakek tangan bekas cebok eek" ucap Kak Agam enteng.
Aku berdiri, mengendap keluar dari sana. Telingaku panas mendengar ocehan mereka. Apalagi Kak Agam yang ngelanturnya kebangetan.
"Ca," panggilnya.
Aku mendesah pelan. Kenapa aku harus kepergok sama si sableng itu.
"Kalian pergi sana, gue mau berduaan sama dedek gemesh gue. Hushh, sana" usir Kak Agam ke teman-temannya. Aku memutar bola mata jengah. 'Dedek gemesh katanya?'
Kelima orang itu, langsung menurut. Satu persatu meninggalkan rooftop. Hanya tersisa Kak Agam dan aku.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
MICCA [END]
Teen FictionMicca Lotenna, Gadis mungil yang memiliki kepribadian yang luar biasa. periang, usil, dan ceroboh. Awal masuk SMA, wajar jika ia bertemu dengan teman baru. Yang menarik perhatiannya adalah pria yang selalu memakai hoodie berwarna pink. Dia pendiam...