"Ca, gue suka sama Lo" tembak Kak Agam langsung.
Aku berusaha bersikap senormal mungkin. Walaupun kaget setengah mati.
"Lo denger nggak sih, Ca?" tanya Kak Agam.
"Nggak, aku nggak denger."
"Oke, gue ulangi" Kak Agam menatap lekat ke arahku.
"Gue serius, GUE SUKA SAMA ELO" ucapnya mengeraskan suara. Hal itu menyebabkan beberapa orang menoleh kearahku dan Kak Agam.
"Kak, jangan bercanda."
Ia mendesah. "Ca, gue harus gimana supaya elo bisa liat gue."
Sejak kapan seorang Agam Prasjaya berubah jadi seserius ini. Aku gugup, tidak tau harus gimana.
"Ikut gue."
Aku mendongak, melihat siapa yang barusan berbicara.
"D-dareel? K-kkamu?"
Bukannya Dareel sudah pergi dari tadi?
Tidak sempat bertanya, pergelangan tangan kiriku sudah ditariknya. Baru akan berdiri, Kak Agam menahan pergelangan tangan kananku. Ahh, drama apalagi ini?
"Lo bisa nggak ganggu kita sekali aja?! Gue udah cukup sabar ya dengan Lo yang selalu nongol di mana-mana!!" teriak Kak Agam menggebu.
Alhasil, semua orang yang di kantin memusatkan perhatiannya kepada kami.
"Gue ada perlu. Urusan gue sama Micca tadi belum kelar" ucapnya datar.
"Eloooo" geram Kak Agam.
Aku masih mematung. Mencoba untuk menormalkan jantungku yang bekerja secara abnormal. Pernyataan dari Kak Agam, dan kemunculan Dareel yang tiba-tiba.
"Stop."
" Kak Agam, Dareel. Lepasin tanganku dulu. Sakitt."
Mereka melepaskan tanganku. "Selesein dulu urusan kalian. Tapi ingat, jangan sampe baku hantam" ancamku.
"Aku mau ke kelas," ucapku sambil berlalu.
"Caa, jawab dulu" teriak Kak Agam.
Aku menulikan telinga. Bimbang. Kenapa harus Kak Agam? Kenapa bukan Dareel aja yang mengeluarkan kalimat itu?
****
"Ca, gue udah pernah bilang sama Lo. Jangan sekalipun berurusan dengan geng Alastor," tegas Mocca selesai makan malam.
"Aku ga ada urusan sama mereka, Mo."
"Di kelas Lo sama Agam rame jadi bahan pembicaraan."
"Kenapa bisa gitu?"
"Ca, Lo tau kan Alastor tu se terkenal apa?"
"Dari awal gue bilang, Ca. Jauhinn."
"Mo, aku juga ga tau bakal kayak gini lho. Aku nggak nyangka Kak Agam ngelakuin hal kayak gitu."
"Gue khawatir, Ca. Lo bakal diserang fans nya setelah ini."
"Kenapa diserang? Aku juga kan gak ngeladenin, Mooo."
"Tetep aja, Ca. Ishh, Lo kenapa nggak ngerti-ngerti siiihhh" geram Mocca.
"Aku ngerti Mo. Tapi bukan aku yang mulai. Dari awal emang Kak Agam yang ngedeketin. Aku udah berusaha menghindar dari dia, karena emang aku juga nggak suka. Aku juga risih dengan Kak Agam yang sok gombalin atau apalah. Salahkuu dimanaaa??"
"Bahkan, Kak Agam aku tolak pun itu masih salahku juga?" tanyaku ke Mocca.
"Bukan gitu, Ca. Gue takut Lo kenapa-kenapa. Gue khawatir. Gue ga bisa tenang kalo ini menyangkut Elo. Sedangkan gue, gak bisa selalu ada di dekat Elo. Gue nggak bisa ngelindungin, kalo sampe elo diapa-apain."
Baiklah, percakapan kali ini mengandung bawang. Aku terharu dengan kekhawatiran Moccacino.
"Aaa, tayangkuuuww. Tenang aja, adik kesayangan kamu ini gak bakal kenapa-napa. Calm down, Mo."
Mocca mendesah gelisah. Aku tahu betul, kekhawatiran Mocca tidak bakal hilang meskipun aku menenangkannya.
Meong.. meong..
Molly mengeong. Sambil mondar-mandir menggesekkan badannya ke kakiku. Seharian ini aku sama sekali tidak ada nggendong Molly.
"Uluuuuhhh, mollyy. Kangennn, seharian ini gaada gendong." Aku mengangkat tubuh Molly yang semakin berat.
Kalau aku, beban pikiran yang makin berat. Bayangkan saja, aku harus bisa menyelesaikan tantangan dari Dareel. Itu nggak mudah, dan hampir mustahil aku bisa lolos ke seleksi yang hanya mengambil 2 orang dari semua murid kelas 10.
Belum lagi, pengakuan dari Moana. Kalau dia suka dengan sahabatnya sedari kecil. Meskipun Dareel sudah bilang kalau dia hanya menganggap Moana sebatas adik, tapi bukan tidak mungkin jika perasaan itu tumbuh. Terlebih lagi, persahabatan cewek dan cowok tidak ada yang bener. Seperti yang Mocca bilang kemarin. Bagaimana jika Dareel juga menyukainya?
Terus, kejadian tadi siang. Kak Agam begitu frontal mengungkapkan kata-kata yang seharusnya tidak keluar. Kenapa harus manusia ceroboh seperti aku Kakk? Kamu berhak dapet yang lebih baik. Yang lebih mengerti kamu, dan bisa balas perasaanmu.
Suara ketukan pintu memecahkan lamunanku. Aku segera bergegas untuk melihat siapa yang bertamu malam-malam begini. Sebelumnya tidak pernah ada, selain pak RT yang minta data penduduk.
Aku mematung sebentar, melihat siapa yang berada di balik pintu. Pintu sudah terlanjur dibuka, tidak mungkin ku tutup kembali.
"Kaakk, ngapain kesini?" ucapku kesal.
"Sebelum marah-marah, nggak disuruh masuk dulu?"
"Nggakk, di luar aja."
"Kebangetan loo, gue jauh-jauh kesini padahal."
"Siapa suruh!"
"Caa, Lo belum jawab tadi siang, gue ga tenang sebelum semuanya jelas."
"Pliss, jangan gantungin gue kek gini" sambungnya.
"Kak, gini ya. Kalau aku suka sama kakak, pasti udah aku jawab waktu pertama kakak bilang suka sama aku. Tapi keadaan sebaliknya kak, aku ga suka kakak. Udah paham?"
Kak Agam tertawa getir. "Jadi gini ya, rasanya ditolak."
Aku tersenyum kikuk.
"Aku bukan tokoh utama di hidupmu kak, begitupun sebaliknya. Kakak bukan tokoh utama di hidupku. Jadi stop, paksa aku jadi tokoh utama itu. Karena aku nggak akan bisa. Cari dia yang bisa balas perasaanmu kak."
"Jadi ini gue ditolak beneran?" Kak Agam memastikan.
"Yap, nilai 100 buat Kak Agam. Sekarang pulang yaa, udah malam."
"Lo berani ngusir gue?" Sekarang Kak Agam melayangkan tatapan tajam ke arahku.
"IYAA, AKU NGUSIR KAK AGAM. SANAAA."
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
MICCA [END]
Teen FictionMicca Lotenna, Gadis mungil yang memiliki kepribadian yang luar biasa. periang, usil, dan ceroboh. Awal masuk SMA, wajar jika ia bertemu dengan teman baru. Yang menarik perhatiannya adalah pria yang selalu memakai hoodie berwarna pink. Dia pendiam...