07: Ekskul

295 45 9
                                    

Weekend begini harusnya Namarra santai-santai dirumah. Cewek itu seharusnya bangun lebih siang dari biasanya. Tapi kenyataannya sama sekali tidak!

Meskipun hari Sabtu tidak ada kegiatan pembelajaran di sekolah. Tetapi ada beberapa kegiatan ekskul. Ekskul di SMA ROGERDO memang mempunyai jadwal. Ada yang sepulang sekolah dan ada juga yang lebih memilih di hari Sabtu.

Karena Namarra ekskul Jurnalistik maka ia di haruskan datang ke sekolah. Ia dan anak-anak ekskul Jurnalistik lainnya bertugas untuk mengganti tampilan Mading ROGERDO. Setiap Minggu memang harus diganti dengan yang baru. Entah itu informasi, cerpen, atau hal lainnya.

Apalagi kalau ada kegiatan disekolah, mereka akan super sibuk meliput, mewawancarai, dan menulis artikel yang nantinya akan ditempel di mading sekolah.

Tapi mau se-ribet dan se-melelahkan apapun itu, Namarra sejauh ini tidak pernah mengeluh. Karena memang ini yang ia suka. Walau kenyataannya ia pernah beberapa kali tidak hadir karena kesiangan dan mager kalau harus kesekolah.

"Ra, jangan nguap mulu dong," tegur Erwin, ketua ekskulnya. Sudah teguran yang ketiga kalinya untuk Namarra di pagi hari ini.

"Ya maap gue abis begadang nonton drakor," jawab Namarra.

"Cuci muka sana," kata Erwin.

Namarra beranjak malas. "Iya-iya."

Namarra berjalan menuju kamar mandi. Ia menguncir rambutnya yang sedari tadi tergerai. Harusnya Namarra masih tidur nyenyak, tapi Erwin menelpon Namarra dan menyuruhnya cepat-cepat datang ke sekolah.

Ya jadi beginilah. Namarra datang dengan muka bantal, dan berkali-kali menguap. Bahkan diajak bicarapun cewek itu melengos malas.

Selesai cuci muka, Namarra hendak kembali ke ruang ekskulnya tapi pandangannya tertuju ke segerombolan murid yang sedang latihan karate.

Diantara gerombolan itu ada Geraldy. Cowok itu dan sahabatnya—Reza—sedang duduk di bawah pohon. Sementara murid lain masih sibuk latihan.

"Lo nggak capek apa udah ekskul sinematografi, ikut radio sekolah, terus Sabtu nya karate," tanya Namarra yang menghampiri Geraldy sembari membawa minuman yang sebelumnya ia beli dari kantin.

Geraldy meraih minuman Namarra, meminumnya hingga setengah botol. "Enggak. Gue seneng kalo ikut kegiatan sekolah. Nggak kayak lo mageran jadi orang."

"Siapa yang mageran?!" tanya Namarra dengan nada sewot. Tangannya merampas minuman dari tangan Geraldy.

"Ya elo lah. Ekskul cuma jurnalistik doang. Kadang suka bolos pula," cibir Geraldy.

"Namarra!"

Namarra tersentak kaget karena tiba-tiba saja Reza—sahabat Geraldy—memanggil namanya dengan lantang.

"Sini, Ra!" Reza memberi isyarat agar Namarra menghampirinya.

Namarra melengos malas. Tidak sudi menghampiri Reza. Apalagi disana ada Geraldy yang terang-terangan menatap Namarra.

Namarra melangkah dengan langkah buru-buru menjauhi mereka. Membuat Reza yang memperhatikan cewek itu langsung terbahak.

Geraldy melirik sinis. "Kenapa lo?"

"Lo tuh sama Namarra ada masalah apaan sih?" Tanya Reza masih dengan sisa-sisa tawanya.

"Nggak ada masalah apa-apa," jawab Geraldy.

"Lo putus sama dia baik-baik aja kan? Kok dia mukanya jutek banget sih anjir. Nggak kayak mantan lo tuh si Vallencia yang masih akur-akur aja sama lo, Dy," kata Reza.

Geraldy menghela nafas panjang. "Gue juga nggak tau. Gue pikir setelah gue sama dia putus, kita bakal jadi temen. Tapi ternyata enggak. Dia bener-bener jaga jarak sama gue."

Reza memperhatikan Geraldy. "Sampe sekarang gue nggak tau apa alasan lo mutusin Namarra. Cewek cantik, pinter kayak gitu lo putusin! Ya ... meskipun kelakuannya suka nggak jelas. Tapi seenggaknya dia nggak macem-macem, kenapa lo putusin sih?"

Pandangan Geraldy kini tertuju pada Raihan yang sedang berjalan bersama temannya. Raihan si murid unggulan kebanggaan guru-guru.

"Alasan gue mutusin Namarra?" Gumam Geraldy dengan pandangan fokus pada Raihan.

Reza mengangguk. "Iya. Apaan?"

"Kak Raihan," jawab Geraldy.

Reza mengangkat alis. Dan ia segera mengikuti pandangan Geraldy. "Kak Raihan? Kenapa sama dia?"

"Pas pacaran sama gue, Namarra selalu aja bilang kalo dia suka sama Kak Raihan," kata Geraldy yang tanpa sadar ekspresinya berubah.

"Ya wajar lah Namarra suka sama Kak Raihan. Itu cowok emang perfect banget sih," sahut Reza, santai.

"Iya gue tau semua cewek suka sama dia, siapa sih yang nggak suka sama dia? Si murid unggulan dari 12 IPA 1. Gue juga udah biasa denger cewek-cewek pada histeris kalo ngeliat cowok satu itu. Tapi lo pernah nggak sih, Za, denger pacar lo sendiri malah ngomongin cowok lain? Bilang suka dan segala macem nya?"

Reza tersentak mendengar ucapan Geraldy. Cowok itu memang tidak pernah curhat tentang hubungannya dengan Namarra dulu. Reza hanya tau kalau Geraldy suka pada Namarra, mereka jadian, dan kemudian putus.

Geraldy tidak pernah bercerita apapun pada Reza. Meskipun keduanya adalah sahabat akrab sejak SMP, tapi untuk urusan percintaan, keduanya memang sama-sama memilih untuk memendamnya sendiri.

Reza menoleh pada Geraldy. "Dy...,"

"Bukannya kalo Namarra berkali-kali bilang suka ke Kak Raihan itu artinya dia emang suka beneran sama cowok itu? Jadi daripada dia pacaran sama orang yang nggak dia suka, ya gue putusin." Lanjut Geraldy.

"Selain itu?" Tanya Reza.

Geraldy mengernyit. "Selain itu apaan? Gue nggak ada alasan apa-apa lagi."

"Kenapa lo yakin kalo Namarra emang beneran suka sama Kak Raihan? Padahal kan tuh cewek emang suka becanda. Bukan cuma Kak Raihan yang digituin, tiap ada cowok ganteng si Namarra emang suka ngeliatin,"

"Sebelum putus, dia emang cuek banget ke gue. Beberapa hari setelah gue ulang tahun dia bener-bener berubah, Za. Ya kan gue pikir dia udah bosen dan mau deketin Kak Raihan. Oiya, yang bikin gue bingung tuh dia nyindir-nyindir gue segala."

Reza kelihatan tertarik. "Nyindir apaan?"

Geraldy menghela nafas. "Nyindir gue ... sama cewek lain."

Namarra [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang