22 : Berakhir

188 24 0
                                    


Geraldy menarik nafas dalam, cowok itu melangkah dengan tenang memasuki area cafe. Matanya melirik sekitar, mencari keberadaan seseorang yang sudah menunggunya.

Saat matanya memandang kearah pojok, ia menemukan cewek cantik yang sedang duduk sendiri. Cewek itu Liana. Ia sudah menunggu Geraldy dari tadi.

Geraldy berjalan menghampirinya. Duduk di depan Liana yang langsung menatapnya dengan tatapan tidak terbaca.

Geraldy tersenyum tipis. "Maaf lama, gu—ehm, aku—"

"Iya. Aku udah tau. Kamu sibuk latihan buat drama kan?"

Geraldy mengangguk pelan. "Iya."

"Aku udah pesenin minuman buat kamu. Minuman kayak biasa," kata Liana dengan senyuman yang masih terlihat di wajahnya.

"Makasih," kata Geraldy.

Meskipun Liana terlihat tersenyum dan bersikap seperti biasanya, tapi Geraldy merasa kalau Liana justru berbeda. Apalagi Liana tidak biasanya mengajak Geraldy bertemu di sebuah cafe begini.

"Kamu satu kelompok sama...," Liana terlihat ragu menyebutkan nama cewek itu. Ia membasahi bibir bawahnya. Matanya menatap Geraldy yang terlihat menunggu ia melanjutkan kata-katanya. "... Namarra?"

Geraldy menipiskan bibir. Ia mengangguk. "Iya."

"Tapi kamu nggak pasangan sama dia kan? Maksud aku di setiap drama kan ada pemeran utama, dan itu pasti berpasangan. Kamu nggak gitu kan sama dia? Kamu nggak dipasangin sama Namarra kan?"

'anjrit mampus gue jawab apaan nih?!' umpat Geraldy dalam hati.

"Dy?"

Geraldy mengerjap. Ia meringis. "Aku sama Namarra jadi pemeran utama. Dan kita jadi pasangan di drama itu."

Liana yang mendengar jawaban yang tidak sesuai dengan harapannya itu langsung merapatkan bibir. Cewek itu terdiam dengan pandangan lurus menatap Geraldy.

"Tadinya emang bukan sama Namarra. Dia juga nggak mau jadi pemeran utama, apalagi harus berpasangan sama aku. Aku sama Rika, awalnya."

"Terus?"

"Rika ngerasa nggak cocok adu akting sama aku. Anak-anak yang lain jadi milih Namarra. Aku yakin kalo Namarra pasti terpaksa jadi pemeran utama."

"Oh ya?"

"Iya. Aku yakin banget. Dia tuh emang dari awal nggak mau jadi pemeran utama. Apalagi pas tau kalo aku jadi pemeran utama laki-lakinya. Dia tambah nggak mau meskipun dia yang bikin ceritanya."

"Hm."

"Ya cuma terpaksa aja soalnya anak-anak tuh pada maksa dia buat jadi pemeran utama, gantiin Rika yang sebelumnya berpasangan sama aku. Mukanya aja keliatan kesel banget pas adu akting sama aku."

"Iya."

"Li, kamu nggak marah kan?" tanya Geraldy mengamati raut wajah Liana yang perlahan berubah ketika ia bercerita kalau ia berpasangan dengan Namarra dalam drama Bahasa Inggris.

"Nggak marah. Cuma ... kesel aja. Dikit," jawab Liana.

"Kenapa? Aku sama dia—"

"Cuma masa lalu?" Liana memotong ucapan Geraldy. "Iya aku juga tau. Temen-temen kamu juga tau kalo kamu sama Namarra itu emang cuma mantan yang kebetulan satu kelas lagi sekarang."

"Ya makanya kamu nggak usah kesel gitu," kata Geraldy mencoba menenangkan Liana.

"Siapa sih yang nggak kesel, yang nggak cemburu liat pacarnya satu kelompok sama mantannya? Jadi pemeran utama pula."

"Itu cuma drama. Lagian aku sama dia tuh ya emang biasa aja sekarang."

"Kamu nggak bisa bohong, Dy. Aku tau kalo kamu masih sayang sama Namarra kan?"

Geraldy tersentak. Namun hanya sesaat karena setelah itu Geraldy tertawa pelan. Tawa yang berusaha ia buat senatural mungkin supaya tidak terlihat palsu didepan Liana.

"Apaan sih, Li? Kamu ngomong apa?"

Liana menarik nafas dalam. "Nggak usah bohong lagi. Aku tau kamu masih sayang sama dia."

"Li—"

"Dari awal kamu emang belum bisa ngelupain Namarra kan?"

Geraldy diam. Bingung harus jawab apa. Karena sejujurnya pun ia bingung dengan perasaannya sendiri.

Setiap kali melihat Namarra, ia selalu merasa berdebar. Bukan karena visual Namarra yang cantik. Tapi jantungnya memang selalu berdebar setiap melihat Namarra sejak pertama kali Geraldy melihat cewek itu.

"Kamu mau bohong pun percuma, Dy, aku udah tau. Aku tau kalo kamu emang belum bisa lupain mantan kamu itu. Padahal kamu yang mutusin dia."

Geraldy menunduk. "Gu—maksudnya aku—"

Liana tersenyum miris. "Bahkan kamu nggak bisa ngomong aku-kamu setiap ngobrol sama aku."

Geraldy meringis, merasa tidak enak. "Aku belum terbiasa."

"Beda ya kalo ke Namarra. Pas pacaran, kamu pengen banget ngomong nya aku-kamu. Malah Namarra yang ngomong nya gue-lo sama kamu."

Geraldy meneguk ludah. "Kamu tau darimana?

"Dari Sekar. Dia yang cerita semuanya. Kebetulan dia juga satu kelas sama kamu kan waktu kelas 10. Dia cerita semuanya yang dia tau ke aku," jawab Liana. Tatapannya berubah sayu ketika menatap Geraldy. "Kenapa sih kamu bisa segitu posesifnya sama Namarra, sementara ke aku malah biasa aja?"

Geraldy diam saja. Bingung harus menjawab apa.

Melihat Geraldy yang diam saja. Liana tiba-tiba tertawa pelan. "Harusnya aku nggak usah nanya lagi. Udah pasti karena kamu sayang sama Namarra, makanya kamu posesif ke dia. Sementara ke aku ... enggak kan?"

"Li, nggak usah muter-muter gini ya. Nggak usah bawa-bawa Namarra juga. Sekarang gini, kamu ngajak aku ketemuan disini itu mau ngapain? Apa yang mau kamu omongin?" tanya Geraldy, tidak tahan lagi dengan obrolan kali ini. Apalagi nama Namarra harus dibawa-bawa.

"Aku mau kita udahan."

Geraldy menatap Liana dengan alis terangkat. "Maksudnya?"

"Aku nggak bisa pacaran sama orang yang belum bisa lupain mantannya."

"Li..."

"Kamu selalu banding-bandingin aku dan cewek-cewek lain itu sama Namarra. Ya mungkin kamu nggak sadar, tapi aku ngerasa gitu. Aku ngerasa kamu selalu banding-bandingin aku sama Namarra. Dan Namarra tetep jadi yang terbaik di mata kamu sampe sekarang."

"Maaf..."

"Gapapa. Aku cuma menyayangkan sikap pengecut kamu selama ini. Kalo kamu sayang sama Namarra, harusnya kamu deketin dia lagi."

"Dia udah benci sama gue. Bahkan dia terang-terangan nunjukin sikap nggak sukanya ke gue," kata Geraldy, yang tanpa sadar menggunakan kata gue-lo saat berbicara dengan Liana.

"Ya coba aja deketin dulu. Biasanya cewek tuh lain di mulut, lain di hati."

"Kenapa lo malah nyuruh gue buat balikan sama Namarra?" tanya Geraldy, bingung.

"Ya buat apa juga kamu pacaran sama aku tapi sayang nya malah sama Namarra. Lagipula alasan putus kalian itu masih nggak jelas. Mending kamu selesaiin dulu urusan kamu sama Namarra ... ya, aku berharap sih kalian berdua balikan."

Geraldy tersenyum. Entah kenapa ia sudah menemukan jawaban yang ia cari selama ini. Ia selalu bertanya-tanya apakah ia masih menyayangi Namarra atau tidak. Dan berkali-kali pula ia selalu mengelak kalau dirinya masih menyayangi cewek cantik itu.

Tapi semua orang juga tau, kalau Geraldy memang belum bisa melupakan Namarra.

Namarra [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang